Fiction
Molek dari Tepian Sungai Musi [11]

3 Apr 2012

<< Cerita Sebelumnya

Air mata Abah menitik membasahi pipi keriputnya. Dia bicara sangat perlahan, hingga hanya Molek yang bisa mendengarnya. “Dari dulu Abah sudah memaafkanmu, Nak. Tapi, kau juga harus memaafkan Abah. Karena meskipun aku memaafkanmu, kau tetap tak bisa kembali bersama kami.”

Abah berjalan pergi meninggalkan Molek yang terduduk di tanah. Mbuk mengusap air mata, berjalan mengikuti suaminya, tidak mengucapkan apa pun. Dia sebenarnya ingin memeluk, mencium, membayar semua kerinduan pada anaknya yang selama ini tertahan. Dia ingin berteriak, memarahi suaminya, karena sifat keras kepalanya membuat derita baginya. Tapi, sampai kapan pun, dia tetap istri yang baik, seperti yang selalu diajarkan orang tuanya. Istri yang berdiri di belakang suami, mengikuti suami tanpa pertanyaan, tanpa sanggahan, meskipun hati terkadang memberontak.

Tahun 1967

Sungai Musi masih tetap mengalir ke laut, meski zaman telah berganti. Tapi, di sekitar sungai banyak yang berubah. Rumah-rumah makin bertambah. Sebuah jembatan besar berdiri megah menghubungkan hulu dan hilir. Jembatan itu seolah mengumumkan pada semua mata bahwa tujuan perjuangan telah tercapai, negara sudah merdeka. Ini adalah salah satu bukti kedaulatannya.

Molek berdiri di tepian, memandangi ombak-ombak yang dibuat angin dan perahu. Puluhan burung layang-layang asyik terbang tinggi di atas sungai yang membiaskan warna merah langit di tempat matahari terbenam. Dia mengeratkan selendang yang dipermainkan angin, menyipitkan mata, berusaha mengenali orang yang sedari tadi ditunggunya.

Seminggu yang lalu, tanpa diduga-duga Yusuf datang membawa kabar. Dia tak bisa berlama-lama, namun membuat janji bertemu Molek minggu berikutnya. Kini Molek menunggu perahu yang ditumpangi Yusuf mendekati dermaga. Dia melihat Yusuf naik ke daratan saat perahu menyandar ke tepian.

“Kau tampak letih,” kata Molek mengamati.

“Memang aku sangat capek, kemarin sibuk sekali. Rentetan acara setelah pemakaman itu begitu menyita waktu. Tapi, semua telah selesai.”

Yusuf merogoh sakunya, mengulurkan ponjen (tas kecil) tua yang terbuat dari kain biru. “Sebelum sakit, Abah menitipkan ini untuk diberikan padamu.”

Molek menarik tali pengikat ponjen, lalu mengeluarkan sebuah kotak yang sama lusuh dengan ponjen yang membungkusnya. Di dalam kotak terdapat seuntai kalung anak-anak ayam yang segera dikenalinya. Kalung itu masih sama seperti dulu, emas dan butiran intan yang menghiasi burung-burungan berkilat-kilat menyilaukan mata. Liontin berada di atasnya, terpisah dari kalung. Di tempat liontin itu seharusnya berada, digantikan sebuah bintang tanda penghargaan yang cemerlang ditimpa sinar matahari senja.

“Ini…,” Molek tak bisa meneruskan kata-katanya.

“Kata Abah, ini kalungmu. Bintang itu penghargaan yang diterimanya. Abah ingin semua menjadi milikmu.”

Sinar bintang itu seakan menusuk hatinya, luka lama terkoyak kembali. Molek tak ingin kalung ini, apalagi tanda jasanya. Dia tak ingin apa pun dari masa lalu, yang bisa mengingatkannya pada bencana yang telah dibuatnya. Dia ingat, setelah semua kejadian itu, dia tak pernah bertemu lagi dengan Zein. Molek selalu meng­hindari Zein yang jadi terkenal karena telah meng­habisi pasukan Belanda. Nama Zein begitu harum di seluruh pelosok negeri.

Sekarang, karena seuntai kalung ini, dia diingatkan pada mimpi buruknya, pada Abah yang tak sanggup hidup menanggung kesulitan bertubi-tubi, lalu menjadi gila, sakit, dan meninggal beberapa bulan setelahnya, pada Denti yang kehilangan anak satu-satunya, karena terpisah dari keluarga.

Molek sekarang seakan bisa melihat seluruh keluarganya pergi dari kampung halaman, mencari kehidupan baru, melupakan semua hal yang mengingatkan mereka pada malapetaka menyedihkan, meninggalkannya dalam hidup yang tak tertanggungkan oleh kebencian akan diri sendiri.

Hatinya sakit, mengingat Nyai yang dalam usia senjanya harus melakukan perjalanan panjang dan meninggal karena kelelahan. Itu kabar terakhir yang didengarnya. Sejak itu dia tak pernah mendengar apa pun. Dia kehilangan segala yang berarti, yang baru disadari setelah semua pergi.

Molek menggenggam kalung itu, seakan ingin meremasnya menjadi debu, dan berkata penuh emosi, “Jika hidup bisa diulang kembali, aku lebih memilih untuk menjadi istrimu.”

Yusuf merenungi ombak yang makin tinggi. Langit merah tempat matahari terbenam kini perlahan berwarna kelabu. Burung layang-layang makin berkurang. Satu per satu kembali ke sarangnya.

“Kau tak seharusnya tenggelam dalam penyesalan. Meski kejadian ini kau hindari, pasti tetap terjadi. Ini adalah cerita hidup yang sudah digariskan untukmu. Semuanya sudah ditentukan lama sekali. Meskipun hidupmu adalah pilihanmu, tapi takdirmu sudah ditentukan bagimu. Masa depanlah yang harus kau perjuangkan untuk orang yang menggantungkan hidupnya padamu. Karena sekarang, itulah alasan hidupmu.”

Molek dengan kasar menghapus air mata. Dia menyadari kebenaran kata-kata itu, namun marah karena harus mendengarnya dari Yusuf. Yusuf yang baik, Yusuf yang selalu baik. Tanpa pamit dia berbalik dan meninggalkannya.

Seorang gadis cantik, berambut kecokelatan, berkulit putih, yang sedari tadi berdiri di samping Molek dan mendengarkan pembicaraan mereka, mengikuti langkahnya. Tiba-tiba gadis itu berhenti, berpaling memandang Yusuf. Matanya yang cerdas berwarna kelabu kebiruan menyorotkan sinar bimbang. Tapi, sedetik kemudian kembali berjalan mengikuti langkah ibunya. (Tamat)

Penulis: Lisa Andriy


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?