Fiction
Mimpi Retak [6]

17 May 2012


Berawal dari sesuatu yang sangat biasa pada sebuah pagi yang sederhana. Pada mulanya aku hanya ingin mengucapkan salam. Bagaimanapun, dia telah menjadi penolongku. Tentu tidak pantas jika kuabaikan begitu saja. Betapapun aku layak membina hubungan baik. Tapi, ketika salam pagiku mendapatkan balasan, entah kenapa yang muncul adalah debar menggetarkan. Getaran yang membuatku ingin melakukan sesuatu yang lain.


Paket sarapan itu adalah pilihan yang asal saja, karena aku tak punya ide yang lebih baik lagi. Tapi, ketika melintas di toko bunga, anyelir merah magenta sungguh menghentikan langkahku. Helai kelopaknya yang berembun bening meneteskan bayangnya di relung benakku. Bening matanya seakan menjaga setiap langkahku untuk terus mengikutinya.

Dan tidak kuperlukan lagi segala alat bantu untuk membangunkanku di pagi hari. Bahkan, sesungguhnya, aku ingin segera pagi datang, hingga dapat dengan segera kukirim salam pagiku.

Hingga suatu pagi aku berhasil membujuknya untuk makan pagi. Pilihan menunya sungguh sangat sehat: jus buah dan salad sayuran.

”Sorry, apakah kau seorang yang khawatir soal berat badan?” tanyaku sekilas, meneliti proporsi tubuhnya. Ukuran yang proporsional kurasa.

”Begitulah,” ia mengangguk, tersipu.

”Lupakan soal diet dan kalori. Ada banyak hal lain yang lebih layak dipertimbangkan,” kataku.

”Ini jauh lebih baik daripada yang diperoleh sebagian orang,” kilahnya, bernada diplomatis.

”Maksudnya?”

”Ada banyak orang di dunia ini yang kehilangan hak mereka untuk makan dengan layak, karena tekanan kemiskinan. Sebagian lain lebih beruntung, meski tidak bisa memilih makanan yang mereka inginkan, karena tergantung ransum.” Dia menjelaskan dengan sungguh.

”Jadi, meskipun cuma ini menu sarapan pilihanku, aku layak bersyukur, karena masih bisa memilih apa yang ingin kumakan.”

Aku terkejut. Sebuah jawaban yang bagiku sangat tidak biasa.

”Kau mengingatkanku pada sesuatu. Ingat tentang paket sarapan yang kukirim dulu itu?” kutatap gadis itu dalam-dalam.

Ia mengangguk.

”Kau katakan, ada yang lebih membutuhkan?”

”Ya, dan kau berjanji akan melakukannya suatu hari nanti.”

”Dan kau berjanji akan menemaniku?”

Orien mengangguk. Matanya menyiratkan sesuatu.

”Bagaimana kalau kita melakukannya hari ini?” tantangku.

”Aku tahu sebuah tempat yang tepat.” Orien langsung setuju.

Dan, terwujudlah hari itu. Orien membawaku pada sebuah tempat. Ada banyak orang tinggal di rumah kardus di sepanjang bantaran sungai. Orien terus membawaku berjalan menyusuri jalan sempit yang makin berliku, hingga kami sampai pada sebuah pohon besar di lokasi perkuburan Cina. Begitu besar pohon itu, dengan daun rimbunnya yang memberikan keteduhan bak atap, sementara akar-akarnya menjulur ke segala arah dan menjadikan diri sebagai tempat duduk yang nyaman.

Sekelompok anak duduk pada akar pohon, tampak tekun mende­ngar­kan seseorang yang menceritakan sesuatu dengan alat peraga sederhana.

”Temanku, Bagas,” Orien menjelaskan, membaca pertanyaan yang melintas di benakku, tentang seseorang yang sedang bercerita itu.

”Bersama beberapa teman, kami membuat sebuah pendidikan alternatif di sini. Muridnya adalah penduduk sekitar, yang tidak mendapatkan kesempatan untuk bersekolah formal yang lebih baik.”

”Kau juga terlibat mengajar?” aku terkejut.

”Semampuku, di sini murid dan guru sama-sama dalam proses belajar untuk menemukan metode lebih baik. Tidak banyak yang bisa kami lakukan, kemampuan kami serba terbatas. Kami hanya punya energi untuk terus mempertahankan semua ini untuk jangka waktu yang entah sampai kapan.”

Aku tercenung. Aku teringat idealisme yang pernah kutanam pada masa mahasiswaku dulu, pemahaman tentang kemiskinan. Sebagai mahasiswa senior kami berusaha menanamkan empati pada para mahasiswa yunior untuk memahami kemiskinan dengan lebih baik, supaya di kemudian hari mereka bisa menerapkan kemampuan mereka mengolah kemiskinan itu. Tapi, apa yang terjadi setelah itu? Nol besar. Aku kini bahkan tidak melakukan apa pun. Aku bahkan seperti tidak pernah memiliki benih dari sesuatu yang pernah kutanamkan pada orang lain.

”Mengapa tidak kau katakan sejak awal? Mungkin, lebih berguna bila kita membawa buku bacaan atau alat tulis daripada makan­an ini,” kataku, menepis rasa bersalah sekaligus rasa malu yang mengepung benakku.

”Tidak,” Orien menggeleng menepis keraguanku. ”Kau tidak tahu, banyak di antara mereka yang mungkin tidak makan sejak semalam. Yakinlah, apa yang kau bawa untuk mereka sungguh sangat diperlukan.”

Benar. Makanan yang kami bawa, mereka terima dengan penuh suka cita. Hidangan itu mereka nikmati hingga tandas tak tersisa nasi sebutir pun. Cara mereka menikmati makanan fast food itu memunculkan rasa haru di seluruh rongga dadaku. Kucari jemari Orien.

”Ini sangat menggugah emosi,” tangannya bergerak lembut dalam genggamanku. Gerak lembut yang menjalarkan getaran aneh di sekujur benakku. Memunculkan debaran jantung yang berdentam riuh. Dengan terkejut kusadari bahwa sudah sedemikian lama tidak pernah lagi kualami debaran yang sedemikian ini. Lama sekali. 

Hidupku sedemikian nyaman, segala sesuatu berjalan sesuai arah, masing-masing terletak pada tempat yang tepat, segala rencana terwujud sesuai harapan. Maka, tidak ada gejolak yang tak perlu. Alur hidup sedemikian mulus. Seharusnya, itu semua akan membuat hidupku nyaman. Seharusnya. Setidaknya, itulah yang terjadi hingga hari ini. Tapi, sekarang? Baru kusadari sekarang, ternyata itu bukanlah rasa nyaman, melainkan datar. Ya, hidupku ternyata sangat datar, bergeming, mirip sebuah garis lurus.

Lebih dari itu, hidupku ternyata serupa telaga. Tenang, diam tanpa riak, tapi menyimpan kedalaman tak terduga. Agaknya, seseorang akan terbawa oleh kedalaman tak terduga itu. Orien.

”Ingin kulakukan sesuatu untruk mereka,” kataku kemudian.

”Kau sudah mengenyangkan mereka,” bisik Orien antusias, menyiratkan kegembiraan yang tak tersembunyikan.

”Aku tidak berbakat mengajar, tapi bisa kulakukan sesuatu yang lain.”

”Apakah itu?”

”Menggembirakan mereka.”

”Oke, lakukanlah.” 

Aku beranjak menghampiri Bagas, yang lalu membantuku menemukan sesuatu yang kuperlukan. Aku mencari alat musik. Yang tersedia adalah sebuah ketipung usang yang begitu dekil.

Kuamati ketipung dengan seksama. Mungkinkah alat sederhana ini masih mampu memunculkan suara yang layak dengar? Kusentuh selaput gendangnya dengan ragu, kuketuk pelan.

Sebuah suara muncul, perlahan, tapi membawa gema yang menyiratkan sesuatu. Aku tertegun. Gema itu tidak sempurna, tapi di antara segala keterbatasan yang ada, suara itu sangat berharga. Modal yang cukup bagiku.

Lalu, kumainkan jemariku, memukul ketipung dengan ketuk­an berirama, mengalirkan nada-nada yang tersusun membentuk sebuah harmoni. Lalu, begitu saja harmoni nada itu mengalun, mengikat perhatian anak-anak yang mendengarnya. Ketika Bagas melengkapi irama ketipung dengan tepuk tangan yang seirama, serentak anak-anak itu mengungkapkan antusiasmenya. 

Tidak cuma bertepuk tangan, lebih dari itu, mereka juga bergo­yang, bersiul, berputar-putar, dan berbagai gerakan ekspresif lainnya. Ekspresi yang menyiratkan kegembiraan. Kami semua larut dalam suka cita itu. Sesaat melepaskan diri dari segala keterbatasan. Sesaat melepaskan semua beban yang tak pernah selesai.

Dulu aku adalah pemusik amatir. Menjadi pemain band kampus memberikan kebanggaan khusus. Kami dianggap memiliki nilai lebih daripada mahasiswa lain yang tidak jadi ’apa-apa’. Itu nilai lebih yang kuperoleh dari musik di masa lalu.

Tapi, sekarang? Baru kusadari bahwa musik memiliki nilai yang lebih daripada itu. Musik membawa sesuatu yang universal. Meniadakan kelas-kelas, strata, bahasa, ataupun perbedaan lain. Pada musik yang ada hanyalah irama, yang dinikmati bersama dan menyatukan siapa pun pendengar itu. Aku, Orien, Bagas, dan anak-anak itu, bersama larut dalam satu irama gendang suka cita.

Apa yang kulakukan untuk anak-anak itu sesungguhnya sesuatu yang sangat kecil, tidak akan berarti apa pun terhadap struktur kemiskinan di negeri ini. Tapi, bagaimanapun, bagiku ini adalah sebuah langkah awal yang layak dilanjutkan. Orien telah meng­antarkanku pada sebuah kehidupan yang telah kulupakan sekian lama. Orien membawa kesadaran baru bagiku, mengalirkan energi baru untuk mencapai sesuatu yang lebih baik, tidak hanya untuk kebaikanku semata, tapi lebih pada sesuatu yang ada di lingkaran luar hidupku, yang telah lama kuabaikan.

Sesungguhnya, aku merasa tidak sia-sia dengan apa yang kulakukan hari ini. Meski sangat sederhana, itu adalah sebuah langkah awal.

ORIEN
Kusadari ada sebuah garis batas yang menghadangku sejak awal. Ke­tika hari itu dia mencari jemariku dan mengalirkan keharuannya, kusentuh sebuah cincin dalam genggaman itu. Sebuah cincin yang menandakan ikatan suci pemakainya dengan seseorang pemilik cincin yang sama.

Tapi, apalah artinya sebuah kesadaran awal, ketika kemudian hadir kesadaran-kesadaran selanjutnya yang menenggelamkan kesadar­an awalku? Kesadaran selanjutnya itu adalah ketidakmampuanku mengingkari keinginan untuk menyandarkan diri pada punggungnya. Aku selalu merindukan punggung itu, selalu ingin bersandar di sana. Selalu. Bidang datar punggung itu memberikan banyak hal bagiku. Serupa sandaran yang memberiku kesempatan melepaskan kelelahan. Serupa benteng yang memberiku perlindungan, serupa selimut yang membungkus kedinginanku. 

Sungguh tidak pernah kulupa bahwa dia adalah seorang suami yang selalu akan pulang ke rumah, tempat keluarganya menunggu. Tapi, ketika merebahkan diri di punggung itu, tak mampu kuingat apa pun, kulupakan segala batas-batas yang seharusnya mengikat langkahku. Selalu kulepaskan diri dari ikatan-ikatan yang meng­hadangku itu. Selalu kusingkirkan aral yang menghalang arahku untuk menuju punggung itu. Selalu.


                                                             cerita selanjutnya >>


Penulis: Sanie B. Kuncoro


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?