Fiction
Merindu Hujan [1]

28 Jan 2013



Masih ada 35 menit untuk mengatur perasaannya yang mulai berantakan.
Sebelum Martin datang. Sebelum semuanya hilang.

Dewinta melirik jam tangan. Ia datang 40 menit lebih awal. Kalaupun Martin tepat waktu, ia harus tetap menunggu. Memang ia sengaja datang lebih awal. Dewinta harus mengatur napasnya, mempersiapkan hatinya, menjernihkan akalnya. Semua untuk kemungkinan terburuk.

Di luar sedang hujan, tidak deras, tidak pula ringan. Tergopoh-gopoh ia keluar dari taksi menuju beranda kafe. Apa yang dihindarinya? Hujan? Atau kerumunan bocah-bocah yang menghampirinya sambil berkata, “Payung, Kak?”

            Kenangan itu terlalu menyakitkan.
“Selamat siang, Mbak. Mau pesan apa? Hari ini kita ada spesial menu,…”
            Dewinta melirik sekilas dan membiarkan pramusaji itu terus berbicara. Ia kembali melihat anak-anak penjaja jasa payung yang berkerumun di pinggir jalan di dekat kafe.

Payung-payung terkembang. Merah. Biru. Kembang-kembang. Hitam. Semuanya terekam dalam gerak lambat. Titik-titik air yang terpantul di permukaan payung. Perciknya membias warna-warni. Tangan-tangan kecil yang gemetaran menahan dingin dan beratnya payung yang digelantungi air.

Bibir mereka membeku kebiruan, tapi masih sanggup menawarkan jasa. Semuanya menggumpal memadat menjadi kenangan.
“Hot latte,” ujar Dewinta pendek. Pelayan itu pun pergi, setengah merasa terusir.

    Baru lima menit, tapi sudah ada kenangan yang mencacah.
Hujan itu kenangan. Kenangan yang bertahan di zaman yang berputar sampai habis kefanaan.
Di luar hujan terus menitik. Dewinta mulai berusaha menahan air matanya jatuh.  Sekali lagi ia melirik jam tangan. Masih ada 35 menit untuk mengatur perasaannya yang mulai berantakan. Sebelum Martin datang. Sebelum semuanya hilang.

***

Yang bisa ia dengar hanya deru AC mobil dan detak jantungnya sendiri. Ia meringkuk seperti pengecut yang mundur, bahkan sebelum berperang menghunus pedang. Apa yang ia takuti? Bukankah selama ini ia pun tak takut mati?
Matanya menatap lekat menembus kaca mobil. Ada wanita itu di sana, duduk di meja di batas dinding kaca. Ia terlihat cantik. Rambutnya terurai jatuh menutupi bahu. Sedikit lebih kurus, tapi tetap menawan. Tetap menjadi kesayangannya.

Mata wanita itu menatap jauh, tapi Martin tahu apa yang sedang wanita itu lihat. Anak kecil pengojek payung. Rintik hujan artinya harapan berupa lembaran ribuan untuk ibu. Martin tertawa kecil. Pasti Dewinta teringat anak kecil berlari riang di tengah hujan sambil menggenggam payung mengembang. Mengenang masa kecilnyakah?

Martin harusnya turun dan menghampiri Dewinta. Mereka harus bertemu, karena memang sudah merindu. Tapi, hujan datang seperti ada pertanda. Asa, duka, air mata, dan luka bercampur jadi satu. Martin malah bergeming di dalam mobil sambil menatap bidadarinya itu.

Hujan juga pertanda. Ada rindu yang terlalu kuat di antara mereka. Membubung tinggi, lalu terkondensasi. Tak kuat lagi menahan serta terdesak perih, lalu semburat di angkasa. Dan tiada yang tahu ada konsentrat pekat aroma rindu di tiap tetes hujannya.
Dewinta gelisah menanti hujan reda, sekaligus menunggu Martin datang. Tapi, pria itu, masih duduk di mobil, tanpa sanggup bergerak, bahkan bola matanya sekalipun. Tertuju pada Dewinta.

***
Hujan menderas di tiap detiknya. Anak perempuan kecil itu mendongak karena penasaran. Ada lubang besarkah di langit sana, sampai hujan tak lelah-lelahnya berjatuhan. Saat kepalanya menengadah, mata membelalak, tetes-tetes hujan terasa tajam menusuk mata.

Ah, kapan hujan berhenti. Ia benci hujan. Gara-gara hujan, ia tak bisa pulang. Sebentar lagi kartun kesayangannya diputar, dan ia masih terjebak di beranda ruko tempatnya belajar balet.

Tiba-tiba titik air tak lagi mengetuk-ngetuk kepalanya. Ia menoleh. Ada payung besar hitam tepat di atas dua kucir kudanya. Ia menoleh lagi, ada bocah laki-laki memegangi payung itu. Senyumnya lebar sekali sampai deretan giginya tampak. Ada dua gigi atas yang tanggal. Anak perempuan itu hampir tertawa. Lucu.

“Mana payungmu?”
“Aku tidak bawa payung,”
“Pakai saja punyaku.”
“Aku tidak punya uang,”
“Yang bayar payungku cuma orang besar saja.”
“Kata Mami, aku juga sudah besar.”
“Kamu masih kecil. Buktinya kalah tinggi sama aku. Kuantar pulang, ya?”
Ia kembali tersenyum.
“Nggak usah. Bentar lagi dijemput Bibi.”
“Ikut aku aja. Main hujan-hujanan. Kamu pasti bosan, ‘kan?”
“Iya, sih, tapi kata Mama, kalau kehujanan, aku nanti sakit.”
“Aku setiap hari main hujan malah kuat. Yuk!”  Anak lelaki itu mengulurkan tangan.
“Si bibi gimana?”
“Nanti kita kembali lagi sebelum bibimu datang.”
Senyum tak bergigi itu berdaya pikat. Tulus. Jujur. Pun jenaka. Dan, untuk pertama kalinya mereka bergenggaman tangan.

***
           Genap semenit Dewinta mengaduk isi cangkirnya. Matanya tertuju pada pusaran kecokelatan di dalamnya. Seakan dari sana ia bisa menziarahi kenangan yang rapi tersimpan di hati. Dulu sekali ia bertemu Martin di tengah hujan seperti ini. Ia punya senyum tak bergigi yang manis dan tulus. Tangannya mungil, tapi kokoh. Satu memegang payung besar, yang satu lagi menggenggam tangannya. Mereka berlari di tengah hujan. Tepatnya menari seirama rintik hujan.

Dewinta dulu membenci hujan. Basah. Dingin. Sepi. Tapi, sejak bertemu dengan Martin, hujan menjadi ramai, tawa, dan indah.
“Kamu nggak pernah sakit gara-gara kehujanan? Nggak dimarahi mamamu?”
“Nggak. Kan aku pulang bawa uang buat beli buku dan bayar sekolah.”
“Kalau gitu, hari ini aku bantu kamu cari uang, ya?”
“Eh, nanti kamu sakit kalau hujan-hujanan.”
“Kan ada kamu yang payungin aku.”

Martin kecil pun menggenggam tangan Dewinta yang jauh lebih mungil. Kecipak-kecipuk kaki mereka bertalu di atas genangan lumpur. Dewinta tak peduli kalau pulang nanti mamanya murka setengah mati. Ia juga tak peduli kalau nanti demam membelenggunya di ranjang sambil terbatuk-batuk.

Martin, si anak senyum tulus tanpa dua gigi depan, telah membuatnya bahagia.
Dulu mereka sering bersama-sama menawarkan jasa payung. Tiap lembar atau koin yang basah, terjejal lusuh di saku Martin. Dewinta selalu menunggu saat menghitung hasil yang mereka terima di penghujung hari. Itulah saat di mana senyum Martin menjadi penutup dongeng hariannya. Tersenyum kecil saat rupiah tak seberapa, tersenyum lebar saat hasilnya luar biasa.

“Payung, Kak!” tanpa sengaja Dewinta menggumamkan kata-kata itu.
Sejak itu, Dewinta mulai jatuh cinta pada hujan. Ia merindu hujan. Juga pada pria yang telah membuatnya merindu hujan.

***
“Aku paling suka hujan,” ujar Martin tiba-tiba. Tangannya dingin seperti es. Matanya menatap lekat ke hujan yang berurai. Dewinta menatap ujung rok abu-abunya yang lembap oleh cipratan air. Mereka berdiri bersisian di halte yang penuh grafiti usang. Tak ada yang berteduh lagi selain mereka.
“Masih ingat pertama kali kita ketemu?”
“Masih. Gigimu bolong dua di depan kan waktu itu?”
Martin tertawa kecil. Tangannya masih tetap dingin.
“Masih ingat rupanya.”
“Menurutmu kalau hari itu tidak hujan, apa kita akan bertemu?” tanya Dewinta menunduk lagi. Ujung-ujung sepatunya sedikit berlumpur.
“Kalau hari itu tidak hujan, pasti kita akan bertemu di hari hujan lainnya.”
“Makanya, aku selalu menunggu hujan. Malah, kalau perlu, hujan tak perlu berhenti.”
“Tapi, sebesar apa pun hujannya, pasti nanti juga berhenti.”
“Kalau hujan berhenti, kita tidak akan bertemu lagi?”
“Menurutmu, di Houston nanti ada hujan?”
“Tentu saja nanti akan ada hujan, sekecil apa pun. Tapi, aku tak bisa datang kalau di Houston hujan. Dan kau pun tak bisa datang ketika di Jakarta hujan.”
“Menurutmu, apa aku harus pergi?”
“Harus. Kamu sudah berjuang seumur hidup untuk beasiswa ke Houston ini.”
“Lalu kita?”
“Sampai kapan pun hujan akan tetap ada. Kita hanya perlu menunggunya turun. Nanti kalau di Houston kau lihat ada hujan turun, anggap saja aku ada di sampingmu.”
“Ya. Kamu juga. Anggap saja aku menemanimu saat hujan turun di Jakarta.”
Martin menggenggam jemari Dewinta yang gemetar. Entah karena hujan atau karena gugupnya perasaan. Tapi, ia tak peduli. Toh, Dewinta takkan mendengar riuh gemuruh dentuman di hatinya.
***
          Di hari yang lain dengan rinai hujan yang sama, kenangan kembali mencipta bentuknya. Saat Dewinta memperkenalkannya kepada pria itu, Martin seperti paham. Tahu apa di balik uluran tangan itu. Tahu ada kisah apa yang membentang selanjutnya.
“Surya.”
“Martin.”

Dewinta tertunduk, tak sanggup menatap keduanya. Martin hanya berdiri di depannya berusaha tersenyum, walau Dewinta tahu betul apa yang ada di pikirannya.
Perlahan ia mengangkat kepala. Mata sayu Martin menghujam tepat bagai lubang hitam besar yang mengisap seluruh kekuatannya. Mereka saling bertatapan dan dalam diam mereka berbicara.
Jadi ini lelaki itu?
Iya
Ini lelaki yang menurut papa mamamu terbaik?
Iya.
Menurutmu, apakah ia yang terbaik untukmu?
Tidak.
Lalu mengapa kau tak bicara pada orang tuamu?
Aku tidak bisa.
Apa aku perlu bicara pada orang tuamu?
Jangan. Lagi pula, itu tidak akan mengubah apa-apa.
Tapi, bukankah cinta harus diperjuangkan?

“Hei,” Surya tersenyum menatap mereka berdua. Membuyarkan semua percakapan hening yang mereka lakukan. “Mengapa kalian diam saja? Kudengar kau sahabat Dewinta sejak kecil.”
“Dewinta bilang begitu?”
“Kalau begitu, pasti kau bisa datang ke pernikahan kami dua bulan lagi?”
Hanya ada petir yang menggelegar menjawab pertanyaan Surya. Seperti itulah jawaban yang ada di hati Martin. Rasanya ia ingin berlari mengejar petir yang telah merobek wajah langit. Berlari sejauh mungkin. Seperti ada yang akan menderas keluar dari pedih yang baru ia rasakan. Biar air matanya menyatu dengan hujan, agar tak ada yang tahu. Biar ia dirajam hujan agar sakit yang mencacah-cacah hatinya tidak terasa. Tapi, Martin tetap berdiri di sana. Berusaha tersenyum. Berusaha kuat.
“Tentu, jika Dewinta mengundang.”
Dan di luar sana, hujan mulai mereda. Kelabunya telah dibawa oleh kekarnya suara petir. Tapi tidak hati keduanya. Kelabunya perlahan mulai menjadi pekat.

***
Maaf Win, aku minta maaf. Aku tahu hari ini kita harus ketemu. Tapi, aku tidak sanggup ketemu, kalau hanya untuk menerima undangan pernikahan kamu.
Sebuah pesan pendek masuk. Hati Dewinta seperti dirobek-robek kecil dan serpihannya membentuk mosaik wajah Martin. Dengan gemetar ia menekan tombol di ponselnya. Satu kali nada sambung. Dua kali. Lima kali. Ayo, angkat, Martin!
“Halo.”
“Halo? Martin? Kamu di mana?”
“Kamu sudah baca pesanku, ‘kan?”
“Tapi, kamu kan janji tiap hujan kamu akan datang menemui aku.”
“Dua puluh tahun lalu, kita pertama ketemu. Itu kenangan yang indah. Sepuluh tahun lalu, aku pergi karena beasiswa ke Houston, memang sakit, tetapi tetap indah. Tapi sekarang, Win? Kita ketemu untuk berpisah selamanya. Itu sama sekali bukan kenangan yang mau aku simpan selamanya.”
“Tapi….”
“Kita lebih baik nggak ketemu. Akan lebih mudah,…”
“Tapi, hujan akan terus ada.”
“Tapi, sebesar apa pun hujan itu turun, pasti akan reda dan digantikan matahari.”
“Aku nggak mau matahari, aku mau hujan. Aku mau kamu.”
“Menurutmu aku tidak?” Tenggorokannya tercekat.
“Sebentar lagi hujannya reda. Maafkan aku.”
Tut tut tut…. Martin melemparkan ponselnya ke jok kursi di samping. Kesal. Benci. Rindu. Semuanya menggumpal begitu besar sampai rasanya susah bernapas. Dari mobil, ia melihat Dewinta membenamkan wajah ke dalam telapak tangan. Pasti itu tangisan yang menyakitkan. Rasanya ingin lari ke sana dan menyeka air mata itu dengan senyuman. Menepuk lembut kepala Dewinta dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Bahwa ia akan masih tetap di sana. Tapi, jika begitu, selamanya kenangan hujan di antara mereka takkan mereda.
“Siaaal!” genggaman tangan Martin menghantam kemudi beberapa kali.
“Maafkan aku, Win.”
Terdengar deru mobil keluar dari parkiran kafe. Ia sekuat tenaga tidak melihat ke arah Dewinta. Tepat saat gadis itu memandang ke luar, mobil Martin sudah menghilang ditelan jalanan ibu kota.
***
           Dewinta menatap ke luar jendela. Hujan sedikit mereda, tapi gerimisnya masih berirama satu-satu turun ke bumi. Maskaranya mulai luntur oleh bulir air matanya. Seperti tanpa dikomando, badannya bergerak melayang ringan. Lunglai dan hampa, ia berjalan keluar dari kafe menembus rintik hujan.
“Payung, Kak?”
“Kakak, pakai payung aku aja.”
“Kak, aku aja. Tiga ribu aja.”
Dewinta berhenti melangkah. Anak-anak basah kuyup dengan kepak payung bersesakan mengelilinginya. Merah, biru, kembang-kembang, hitam, semuanya berebut menaunginya. Ia menatap pasang-pasang mata bening yang menyunggingkan senyum. Dicarinya senyum dengan dua gigi depan yang hilang. Lalu semua mengabur dan wajah-wajah menghilang, digantikan oleh wajah Martin kecil di mana-mana. Di anak berpayung merah, biru, kembang-kembang, juga hitam.

Hujan tiba-tiba kembali deras. Hujan datang. Maka, sebentar lagi Martin akan menghampirinya dengan senyum dan payung besarnya. Ia hanya perlu menunggunya.
“Aku mau payung Martin,” bisik Dewinta di antara rintik yang makin pekat.
Anak-anak itu bertatapan. Setengah tak mengerti, setengah tak mendengar. Dewinta terus melangkah. Dingin. Badannya menggigil. Air mata pecah satu-satu berbaur dengan titik-titik hujan.
Ia merindu hujan.
Ia merindu pria yang mengenalkannya pada hujan.
Ia merindu pria yang tak lagi menemaninya menari di tengah hujan.

***
Anggun Prameswari



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?