Fiction
MENJELANG HARI PERNIKAHAN TIUR [3]

2 Sep 2012


<<<<  Cerita Sebelumnya

Kisah sebelumnya:
Lamaran Parlindungan sangat membahagiakan orang tua Tiur yang mendambakan putrinya mendapatkan jodoh orang satu suku. Apalagi setelah Nauli, kakak perempuan Tiur, memilih pergi dari rumah untuk menikah dengan pria pilihannya. Menjelang pernikahannya, justru terjadi  banyak ‘drama’ karena Nauli yang dimusuhi keluarga itu ingin membiayai pernikahan mewah Tiur.  

Tiur merasa tenang saat melihat Saut ada di rumah. Kalau tadi Saut pergi atau mengikutinya, tidak mungkin dia terlebih dahulu pulang ke rumah, analisis Tiur. Tiur lalu bergegas ke kamar. Tidak lama kemudian, terdengar pintu kamar diketuk. Suara Saut terdengar. Ada apa ini, jangan-jangan…. Pikiran Tiur galau. Ia pun membuka pintu.
           “Ada apa?” tanya Tiur, tidak bersahabat.
            Saut masuk begitu saja, Tiur membiarkannya.
            “Tutup pintunya, kalau tidak ingin Papa dan Mama mendengar semua ini….”
            Seperti dihipnotis, Tiur mengikuti perintah Saut. Saut lalu merogoh kantong kemejanya, lalu memberikan beberapa lembar foto .
         Tiur segera menyadari itu adalah foto dirinya. Lokasinya seperti diambil di parkiran  kantor Nauli. Jadi benar dia diikuti…. Mata  itu pun benar milik Saut. Tiur memandang Saut dengan tajam. Dia  yang sekarang jadi objek berita Saut.
           “Apa maksud  Abang?“ Mata Tiur menatap tajam.
            “Satu kejujuran. Apa maksudmu berada di tempat ini? Jangan katakan kamu hanya kebetulan lewat  atau memberi alasan lain yang tidak masuk akal….”
            Pertanyaan Saut  seperti ujung mata pisau, hulunya seakan menancap pada jantungnya. Tiur tertohok dengan pertanyaan itu. Agak lama dia mengumpulkan kekuatan agar tak terlihat gamang.
          “Ini tempat umum, Bang. Siapa saja bisa masuk ke sana.”
           “Ya, aku tahu… ini memang tempat umum. Dan satu hal lagi, ini pun tempat Nauli bekerja. Lalu ada alasan yang lebih kuat, Butet?” pertanyaan Saut seperti sedang mengejeknya. Tiur mulai merasa tersinggung.
           “Sebaiknya kau jujur saja, apa kau ke sana untuk bertemu Nauli?”
          Pertanyaan itu cukup memerahkan pipinya. Tuhan, tolong aku… Tolong aku!!!!
            “OK, aku sederhanakan pertanyaanku. Apa Nauli ada di balik rencana pernikahan mewahmu?!”
           “Tidak ada, Bang!!” sergah Tiur dengan gusar.
         Saut tersenyum sinis. Tiur sedang mencoba mengelabui seorang wartawan senior, pikirnya sebal. Tiur seperti seorang narasumber yang bermasalah, yang mencoba berkelit ketika diwawancara. Menggelikan!
          Saut tahu, Tiur tampaknya tersinggung dengan analisis yang diberikannya. Tapi, Tiur tetap bertahan. Saut terus memutar otak agar Tiur mau mengatakan semuanya. Anggap saja, pesta pernikahan Tiur adalah fokus berita, untuk itu dia akan berusaha untuk mengungkapkan segala hal di balik fakta yang ada.
           Tiur tahu, dia tersudut. Tapi, sekuat hati dia tidak ingin mengendurkan janjinya untuk tidak mengatakan bahwa Nauli memang ada di balik rencana besarnya.  Maka, dikumpulkannya kekuatan untuk menentang mata Saut. Dia tahu, kakaknya yang 18 tahun lebih tua itu tidak pantas diperlakukan seperti itu. Tetapi sebenarnya, sejak tiga tahun terakhir ini, rasa hormatnya pada Saut mulai berkurang.  Banyak rahasia  Saut yang memerahkan telinga, didengarnya. Baginya, perbuatan Saut malah lebih memalukan dari  dirinya maupun Nauli.
          Ini saatnya Tiur mengungkapkan rahasia besar Saut. Dia memutuskan untuk balik menyerang Saut. Dengan suara bergetar, dia melemparkan pertanyaan kepada Saut.
          Tiur justru mempertanyakan mengapa dia tak juga menikah setelah berumur 42 tahun. Tiga calon  menantu yang pernah diperkenalkan  secara berkala  oleh papanya,  ditolaknya. Dia sama sekali tidak tertarik, meski ketiganya wanita yang menarik.  Dan, pertanyaan yang paling pungkas adalah tentang banyaknya lelaki yang sering bersama Saut….              
          “Hei…!” Bentakan Saut mengagetkannya. Wajahnya yang berahang besar memerah.  “Jangan coba-coba kau urusi urusanku, ya?!!
         “Bukan aku yang memulai, Bang.” Tiur berkata tidak kalah kerasnya.
        Tiur betul-betul menutup rasa takutnya.  Gadis berambut panjang itu keluar dari aturan budaya tentang sikap adik terhadap kakaknya.
        Selama ini, orang selalu mendikte kemauannya terhadap dirinya.  Sebagai anak bungsu, Tiur tahu, posisinya akan mudah ditekan oleh kakak-kakaknya  dan dia pun tidak pernah protes. Semua aturan di keluarga  yang bersifat menekannya   dijalaninya dengan baik. Tapi, untuk saat ini, Tiur memutuskan untuk keluar dari tekanan itu.
         Pintu kamar diketuk. Tiur baru sadar, pertengkarannya dengan Saut tidak hanya bisa terdengar di sekitar kamar, tapi akan terdengar sampai ke luar kamar, bahkan sampai ke luar rumah.

****
        Tiur mencoba memperbaiki volume suaranya, tapi terlambat. Pintu sudah diketuk. Makin lama dibiarkan tertutup,  makin keras ketukan.
        Pintu kamar terbuka. Tiur merasa terjebak di kubangan penuh kotoran, yang akan membuatnya bau dan akan dijauhi.
       Bagaimana akan menjawab semua pertanyaan ini, pikirnya gundah, ketika serentet  pertanyaan diarahkan kepadanya dan juga Saut.
        Tuhan, tolong aku….  Jangan biarkan aku hancur hari ini….
        “Mama tanya saja pada Tiur tentang foto-foto ini. Kapan diambil dan di mana tempatnya.” Saut mengarahkan persoalannya secara halus.
        Tiur tahu, tatapan mata semua orang tengah mengarah kepadanya. Mereka menanti kejujuran darinya.
        “Tiur…,“ panggil mamanya, ketika Tiur tak juga bicara. “Ada apa dengan foto-foto ini?”  
       Ya, Tuhan. Bagaimana ini? Tiur menyandarkan diri, mencari-cari pegangan yang tepat bila nanti dia pingsan.
       “Tiur!” bentak papanya.
        Tiur  makin merasa dia tak akan dapat bertahan lama. Cepat atau lambat, semua akan terungkap. Dia tidak mau menjadi pecundang dengan membiarkan Saut yang membuka rahasianya.
          “Foto itu diambil tadi pagi, di kantor … Kak Nauli.”  Tiur tidak tahu, dari mana dia punya kekuatan untuk mengakuinya.
          “Untuk apa ke sana?” sergah papanya. Tiur mendengar ada getaran hebat pada suara itu.
          “Saya… saya….”
          “Jangan katakan kalau kau masih berhubungan dengan anak pemberontak itu, Tiur…,” suara papanya terdengar seperti permohonan.
           Tiur  makin tertunduk. Rambut panjangnya menutupi sebagian besar wajah cantiknya yang sedikit tirus itu.
          “Tiur! Jangan diam begitu, Nak. Jelaskan saja agar semuanya jelas,” nada suara mamanya naik satu tingkat dari yang tadi.   
           Ingin rasanya Tiur berlari, menembus kepungan orang-orang tercinta itu daripada harus menjelaskan semuanya. Tapi, kakinya seperti dirantai, tidak dapat bergerak. Tidak ada jalan keluar, selain menghadapi semuanya.
           Tiur menarik napas panjang dan dalam sebelum bicara. Wajahnya terangkat perlahan. Saat bertatapan mata dengan mamanya, wajahnya tertunduk lagi. Tapi hatinya sudah dipenuhi kekuatan untuk bicara.
          Kata pertama yang diucapkannya setelah jeda begitu lama adalah kata ‘maaf’. Tapi, dia tidak tahu harus kepada siapa kata pertama itu ditujukan. Dia berharap papa dan mamanya menyadari kata itu diperuntukkan buat mereka.  
          “Sebenarnya…  perubahan rencana itu memang atas kemauan Kak Nauli. Dia yang akan membiayai….”  
         Belum habis Tiur bicara, dia mendengar suara berdebam. Tiur terkejut. Ternyata, papanya terjatuh di lantai dan tak sadarkan diri. Saut dan ibunya bergerak cepat, membaringkannya di ranjang, sementara Tiur hanya terpana.
        “Kau…!” Geraman suara Saut menyadarkan Tiur bahwa dirinya sedang dalam ancaman. Tiur berlari sekuatnya.  Tiba-tiba saja dia sudah berada di dalam taksi dan sesenggukan tak henti.

*****
         “Kita mau ke mana, Mbak…,” sopir taksi yang membawa Tiur memberanikan diri untuk bertanya. “Sudah lima belas menit kita putar-putar nggak jelas….”
         Tiur baru menyadari perjalanannya hari ini  harus ada tujuannya. Dia memutuskan untuk pergi ke rumah Parlindungan.
          Tiur  masuk ke rumah Parlindungan  dengan tergopoh-gopoh. Sepanjang perjalanan dia tertunduk, menutupi matanya yang basah dan sembap.
        Tiur dalam tekanan besar. Padahal, pernikahannya tinggal satu bulan lagi. Persoalannya bergulir seperti bola salju, membesar dari waktu ke waktu.
         “Ada apa, Tiur?” Parlindungan yang sudah beberapa waktu menunggunya tampak terkejut melihat keadaan Tiur.
        Tiur memeluk Parlindungan dan menangis beberapa saat.  Pertemuannya dengan Parlindungan melemahkan batinnya. Makin lama, Tiur makin terisak. Dia sama sekali tidak memedulikan keadaan  sekelilingnya  yang tertegun melihat mereka.
          “Tentang rencana pesta pernikahan kita, Bang…,”  Tiur akhirnya mampu bersuara lagi.
          “Maksudnya?”
          “Kak Nauli…,” Tiur hanya mampu mengucapkan kata sepotong-sepotong. Dia membiarkan Parlindungan merangkai sendiri segala ucapannya.
           “Papa akhirnya tahu bahwa Kak Nauli yang membiayai pesta pernikahan kita nanti?” tanya Parlindungan.
           Tiur mengangguk. Perlahan-lahan dia melepaskan pelukannya, lalu duduk dengan gelisah. Sedikit demi sedikit, dia mulai bisa mengontrol emosinya. Dadanya tidak lagi terasa penuh. Napasnya mulai mengalir teratur, tak saling berdesakan.
           “Bang Saut yang  membongkar semuanya. Aku terdesak, tidak kuat berbohong lagi. Semua  akhirnya terpaksa kuakui.  Aku tidak mau pulang malam ini. Suasana rumah masih kacau waktu kutinggalkan…,” ucap Tiur, sorot matanya menyedihkan.
         Tiur ingin Parlindungan meresponsnya dengan cepat, tapi Parlindungan justru tidak memberikan reaksi apa-apa. Dia seperti terpaku, sibuk dengan pikirannya. Tiur kecewa.
        “Jadi semua orang sudah tahu siapa yang membiayai rencana pesta pernikahan kita?” Parlindungan mengulang kembali ucapan Tiur. Wajahnya pucat.
         Tiur kembali mengangguk pelan. “Maafkan aku, Bang. Aku terdesak dan terpaksa mengakuinya. Pernikahan kita terancam batal, Bang.”
        “Jangan mengambil keputusan yang terburu-buru. Kita pikirkan dengan tenang…,” ucap Parlindungan. “Lagi pula, bagaimana mungkin rencana pernikahan kita batal begitu saja. Waktunya tinggal  dua  bulan lagi, Tiur….”
        Tiur menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia merasa Parlindungan tak mengerti masalah yang dihadapinya.
         “Bisa saja, Bang.  Papa mungkin tidak mau  memberi restu lagi  kepada kita. Dia marah besar padaku, Bang. Berarti pasti rencana pernikahan kita tidak akan terwujud dalam waktu dekat. Jadi lebih baik  kita putuskan waktunya untuk dimundurkan sementara….”
       Wajah Parlindungan memerah. Lelaki terkasih itu diam seperti patung.
        Bagaimana, Bang. Putuskan sekarang. Abang setuju kalau pernikahan kita diundur?“
        “Sampai kapan?”
        “Sampai Papa, Mama, dan abang-abangku tenang.“
        “Berapa lama….”
         “Aku tidak dapat menentukan. Tapi, aku janji tidak akan lama. Aku akan terus berusaha….”
        
                                             ******
                                                                                      
        Nauli kehilangan kata-kata. sepanjang Parlindungan menceritakan pertengkaran Tiur dengan papa dan mamanya. Dia hanya terdiam. Tiur itu terkesan  lemah, tapi untuknya, Tiur mau memberontak. Nauli terharu dengan perjuangannya.
        Jadi sekarang bagaimana? Nauli mengetuk-ngetukkan penanya di meja kerjanya. Parlindungan sendiri sudah pergi sejam yang lalu dari kantornya untuk mencari Tiur.
        Pernikahan Tiur harus dilaksanakan, apa pun masalahnya. Kalau tidak, ini kembali akan menjadi mimpi buruk yang berkepanjangan, episode kedua bagi papa dan mamanya, tepatnya, setelah pernikahannya.
         Nauli sadar, dia penyebab utama kekacauan ini. Penawarannya terhadap Tiur menggoyahkan rancangaan awal yang  telah terpola dengan begitu sederhana.
          “Tiur lari dari rumah, Mas,” lapor Nauli pada Rizal. Dia berharap kali ini respons Rizal lebih terlihat nyata. Tidak mengambang. Terkesan tak peduli, tapi sebenarnya dia sangat peduli.
         “Lho, pernikahannya sebentar lagi, ‘kan?”
         “Itulah masalahnya. Tiur bertengkar dengan Papa dan Mama, lalu dia minggat, bahkan mengancam akan membatalkan pernikahannya.”
         “Kamu sudah bicara dengan Tiur?” Respons Rizal seperti yang diharapkan Nauli. Kepeduliannya terhadap masalah keluarganya  mulai terlihat jelas.
         “Ponselnya tidak aktif.”
         “Hubungi Parlindungan.”
         “Parlindungan baru saja dari kantorku. Dia juga terlihat kebingungan. Tiur sepertinya tidak mau dihubungi siapa pun….”
        Rizal menghela napas panjang. Tampak jelas dia ingin terlibat sepenuhnya pada persoalan yang dialami Tiur. Diam-diam, sikap Rizal  sedikit melegakan Nauli.
         “Sebenarnya, persoalannya apa?”
         Kali ini, Nauli yang menghela napas. Dia tampak ragu untuk mengatakan masalah yang sebenarnya. Dia takut Rizal tersinggung. Memang tidak mudah baginya untuk menceritakan hal-hal yang  bersinggungan dengan hati, rasa, jiwa…. Antara mereka berdua dengan keluarga besarnya.   
         “Katakan saja, Uli,” pinta Rizal. Suara tenangnya menyudutkan Nauli.
         “Papa tiba-tiba pingsan mendengar pengakuan Tiur tentang rencana pesta pernikahannya itu. Papa tidak mau menerima bantuanku untuk pernikahan  Tiur.“
         “Sudah kuduga…,” sela Rizal, pelan. Raut wajahnya menunjukkan kekecewaan. Nauli merasa dugaannya benar, Rizal tersinggung.
         “Tapi, semua sudah telanjur, Mas. Persiapannya sudah sekitar delapan puluh lima persen….”
          “Kemarahan tak pernah menghitung untung-rugi, Uli….”
          “Ya. Aku tahu….”
          “Jadi, apa rencanamu?“
          “Aku harus menemukan Tiur dulu….”
             Nauli lalu menghubungi Parlindungan kembali.  Ternyata Parlindungan baru saja akan menghubungi Nauli untuk memberitahukan bahwa Tiur ada di rumah  Sondang, teman kuliahnya.
          Sorenya, bertiga Rizal dan Parlindungan, mereka ke rumah Sondang. Tiur tengah berada di ruang tamu bersama  Sondang. Dia tidak dapat mengelak lagi.
          “Kak…,” Tiur terkejut melihat kedatangan Nauli, Rizal, dan Parlindungan.
          Nauli lega melihat Tiur tidak kekurangan suatu apa pun. “Pulang, Ur. Orang di rumah pasti kebingungan.”
          Tiur terdiam, lalu memeluk Nauli. Tangisnya pecah di bahu Nauli.
          “Maafkan aku, Kak. Aku sudah mengacaukan semuanya….” Seperti anak kecil, Tiur meringkuk di pelukan Nauli. Kehadiran Parlindungan di tempat yang sama tidak begitu dipedulikannya.
          “Sudah… sudah.” Nauli mengusap punggung Tiur. “Kita bicara di rumah Kakak saja.“
        Parlindungan tiba-tiba membisikkan sesuatu di telinganya, yang membuat Nauli  makin prihatin.
        “Kapan?” tanyanya. Pandangan mata semua orang tertuju kepada mereka berdua.
         “Baru saja….”
         Nauli beradu pandang dengan Rizal, lalu  menatap Tiur.
         “Mama menelepon Parlindungan, Ur, katanya Papa masuk rumah sakit….”
         Tiur terduduk lemas.         
         Nauli menepi sesaat di sudut ruang tamu itu. Rasa bersalahnya menyeruak. Dia merasa, dirinyalah sumber kekacauan ini.
        “Ayo, kita selesaikan masalah ini di rumah.”  Nauli merasakan tangan lembut Rizal di pundaknya.
         Nauli segera beranjak, sementara Tiur berkeras untuk tetap tinggal di rumah  Sondang, teman kuliahnya dulu. .
         Tetapi, tidak sampai setengah jam, Tiur akhirnya mau dibujuk pulang. Rizal  yang banyak berperan  saat membujuk Tiur. Sementara Nauli,  tak mampu lagi berkata-kata.

*****
        Rizal sudah menunjukkan ‘kekuatan’-nya.   Langkah yang ditempuhnya seakan ingin menyiratkan bahwa  sudah seharusnya dia patut diperhitungkan  untuk menjadi bagian dari keluarga besarnya. Hanya, jalannya terlalu mendaki, terjal dan berliku. Nauli tidak ingin terlalu banyak luka dalam ‘pendakian’ itu.  
         “Kalau begitu, kau kawini laki-laki itu, lalu angkat kaki dari rumah ini.!!! Ingat, jangan pernah kembali!!!”  Lalu gelegar kalimat ayahnya yang terakhir itu diiringi sebuah tamparan  di pipi kirinya, membuat Nauli benar-benar menjejakkan kakinya yang terakhir di rumah itu.  
           Nauli selalu ingat hari itu dan kata-kata itu.   Ada tangisan kecil milik ibunya dan Tiur, adiknya, yang mengiringi kepergiannya, tapi tidak ada kalimat pencegahan apa pun. Semua itu  makin menguatkan Nauli untuk melangkah pergi, menjemput masa depannya dengan Rizal, dengan ataupun tanpa restu dari orang tuanya.      
         Dia yakin, lelaki pilihannya akan menukar pengorbanannya dengan kebahagiaan. Dan Rizal pun sepertinya menasbihkan kepercayaan Nauli kepadanya.  Selama lima tahun berselang, tidak ada  perubahan yang berarti pada diri Rizal. Dia tetap menjadi sang pencinta sejati, pelabuhan terakhir dan kekasih terbaik.
          Tadinya, Nauli sempat yakin bahwa waktu akan menyembuhkan luka. Apalagi kata orang, kelahiran seorang cucu akan meluruhkan kemarahan, mengikis kebencian,
menghapus dendam.  Tapi ternyata, perhitungan Nauli salah besar. Kelahiran Nayla tiga tahun yang lalu tidak membawa perubahan apa pun juga.  Padang rumput itu telah telanjur mengering. Waktu yang berlalu dengan lambat tak juga dapat menyembuhkan luka.
       Nauli tidak dapat berbuat banyak. Memilih Rizal menjadi suami dan mengikuti beberapa prinsip hidup Rizal adalah kesalahan terbesar yang dibuatnya untuk keluarganya. Pernikahannya dengan Rizal telah menyakiti  hati Papa, Mama, kedua abangnya, dan segala rentetan keluarga besar  yang mencintainya.  Tak ada lagi tempat untuknya.
       Mungkin,  masih ada tempat yang tersedia untuknya, kalau saja dia tidak membawa Rizal dan Nayla.  Tapi, rasanya tidak mungkin itu dilakukannya. Sekarang ini, dia butuh tempat untuk bertiga.     
        “Majalah, Bu?” penjaja koran dan majalah mendekati mobilnya di lampu merah.  Dari balik kaca mobil, Nauli memperhatikan beberapa majalah yang ditawarkannya. Nauli  tertarik pada sampul majalah yang modelnya mengenakan kebaya. Lama diperhatikannya cover majalah itu.
         Cantik sekali kebayanya, pikir Nauli.  Tubuh rampingnya pasti akan    makin indah dilihat bila dia memakai kebaya itu. Kalau saja dia bisa hadir dalam pesta pernikahan Tiur, dia ingin sekali memakai kebaya itu, dengan  desainer yang sama tentu saja.
        Tapi, tiba-tiba keinginan itu memudar dengan cepat. Kehadirannya pasti tidak dikehendaki di pesta itu. Hardikan keras papanya tiga tahun lalu saat dia dan Nayla datang ke pesta Natal keluarganya, masih membekas dalam. Martabatnya terinjak-injak..
           “Maaf. Nggak jadi,” dia melambaikan tangannya pada penjualnya. Penjual koran dan majalah itu berlalu sambil cemberut.  


Penulis: ANDRY ISKANDAR



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?