Trending Topic
Menghantui, Menginfeksi

2 Jul 2013


Mengungkit pengalaman pahit di masa lalu memang bukan hal mudah. Tak ada yang mau menggali lagi kenangan buruk yang sudah lama terkubur dalam ingatan. Kenyataannya, memori ini tak pernah hilang dan dapat terus menghantui, hingga memengaruhi psikologi dan fungsi sosial seseorang. Ibaratnya luka yang diperban lalu dilupakan, lama-kelamaan akan timbul nanah yang menginfeksi bagian tubuh lain.
    
Dalam hal pelecehan seksual dan pemerkosaan, ‘infeksi’ atau dampak yang terjadi bukan hanya fisik, tapi juga psikologis. Dr. Kristi Poerwandari, pendiri Yayasan Pulih, Kepala Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia bertutur, memahami dampak ini bisa dimulai dengan melihat dua model pelecehan seksual, khususnya yang terjadi pada anak di bawah umur.

Model pertama adalah serangan seksual langsung yang brutal. Model kedua yang juga sering terjadi adalah grooming, di mana anak dirayu perlahan-lahan terlebih dahulu. Rayuan ini biasanya ditambahkan pesan-pesan. “Jangan bilang-bilang Mama, ya.” Atau, “Kalau kamu bilang-bilang, pasti enggak ada yang percaya.”
Kristi menuturkan, pelecehan model grooming bisa menimbulkan kebingungan dalam diri korban, terutama mereka yang masih di bawah umur. Sebab, perlakuan yang diterima tidak agresif atau terang-terangan menyakiti. Terlebih lagi, bila yang melakukan adalah orang terdekat, biasanya korban tidak langsung berpikir bahwa pelaku akan menyakitinya. Berbeda jika pelaku adalah orang asing. Biasanya niat jahat akan tercium lebih cepat.
   
Ada atau tidaknya unsur kekerasan fisik ataupun mental, pelecehan seksual yang dilakukan secara brutal maupun perlahan-lahan, membuat anak terpapar seks dengan cara yang salah dan terlalu dini. Hal ini mengakibatkan dorongan seksual datang terlalu cepat. Dengan kata lain, anak itu berkembang sebelum waktunya. Misalnya saja, Kristi memberi contoh seorang perempuan remaja yang mengalami pelecehan seksual sewaktu kecil, ibunya bisa selalu menemukan lendir di celana dalam putrinya itu.

Secara psikologis, paparan terhadap seks yang terlalu dini akan membuat seks jadi mendominasi dalam hidup. “Ketika dorongan atau pemuasan seksual terjadi pada usia dini, aspek kehidupan lain, seperti sekolah, keluarga, teman-teman, jadi nomor belakang. Ia jadi kurang bisa menjalani peran sosial yang lain secara bertanggung jawab,” jelas Kristi. Sedihnya, hal ini juga bisa berujung pada pemuasan dorongan seks yang berlebihan di usia dewasa.

Pelecehan seksual juga menjadi area abu-abu ketika terjadi secara perlahan-lahan, atau terselubung oleh tindakan-tindakan yang seakan penuh kasih sayang, seperti membelai atau meraba. “Bisa jadi anak merasakan kenikmatan tertentu, meskipun dia tahu hal itu salah. Bisa dibayangkan kebingungan fisik dan psikologis yang dialami anak ini,” ungkap Kristi.
   
Dampak psikologis yang juga besar adalah mengalami trauma secara seksual, yang bisa terjadi hingga usia dewasa. Di sini pengalaman seks yang buruk dapat membuat seseorang mengalami inhibisi atau hambatan seksual, misalnya vaginismus atau merapatnya lubang vagina. Atau, ia justru menjauhi seks sama sekali. Padahal, dorongan seksual itu tetap ada.
   
Dalam beberapa kasus ada pula yang menjadikan seks sebagai ‘alat’ atau malah ‘senjata’. “Seks menjadi alat untuk menyenangkan orang lain. Bukan karena ia menikmatinya, tapi hanya cara itu yang ia tahu,” kata Kristi. Ia menambahkan, terkadang perilaku seperti ini sering disalahartikan orang lain. “Mereka yang terlalu mencari seks dikira pasti menikmatinya. Padahal, belum tentu,” ujarnya.

Sementara itu, karena ada terlalu banyak stigma dan nilai negatif tentang seks yang melekat pada wanita pada umumnya, sehingga kemungkinan korban untuk melaporkan kejadian itu saat mereka sudah dewasa pun tetap tipis. “Buat wanita pada umumnya, kenikmatan atau ketidaknikmatan hanya aspek kecil dari seks. Aspek yang lebih besar, seperti keperawanan, kesucian, dan kehamilan akan membuat mereka enggan bicara tentang aib itu.”
   
Stigma inilah yang juga membuat banyak korban pelecehan yang justru menyalahkan dan membenci dirinya sendiri. Di sini, kemarahan yang ia rasakan lebih banyak ditujukan ke dalam dirinya, daripada ke luar. “Mungkin saja ia menyalahkan diri sendiri karena dulu tidak kabur atau lapor. Yang lebih parah, ia bisa menganggap dirinya tak lagi suci. Sehingga, ketika ia masuk ke hubungan yang tidak baik dengan pria, ‘radarnya’ tidak bekerja. Pikirnya, ‘siapa lagi yang mau dengan wanita ‘kotor’ seperti saya?’” tutur Kristi.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?