Trending Topic
Mengembalikan Fokus

22 Oct 2013


Pernahkah Anda bertemu seseorang yang gaya dandanannya mirip etalase berjalan? Berbagai logo brand terkenal mencuat dari ujung rambut hingga ke ujung kaki, berlomba-lomba menarik perhatian. Sayangnya, bukan pujian yang dipanen, tapi cibiran. Karena semua yang dikenakannya terlihat salah!

”Style itu tidak ada hubungannya dengan  merek mewah. Tidak masalah merek apa yang kita pakai, tapi yang penting adalah bagaimana kita mengkreasikan atau memadukan semuanya itu hingga terlihat cantik dan sesuai dengan kepribadian kita,” jelas Khairiyyah Sari, style consultant dan fashion blogger yang jasanya sering diminta untuk menciptakan image tertentu dari sebuah perusahaan melalui penampilan.

Barang luxury brand dibuat dengan kreasi cita rasa (rancang) serta kualitas yang tinggi. Para pembeli luxury brand seharusnya membeli barang mewah itu berdasar desain dan kualitas yang akan didapat semata. Karena kuat dan tahan lama, atau mungkin karena mengerti filosofi dan sejarah di balik pembuatan sebuah item lux tersebut.

”Tidak salah juga jika seiring tingginya jabatan seseorang, maka  makin 'tinggi' pula anggaran untuk belanja tas. Menjaga penampilan merupakan bagian penting dari profesionalisme. Sebab, bagaimana seseorang berpenampilan ikut membawa citra dari perusahaan tempat ia bekerja,” ungkap Sari.

Persis seperti yang dilakukan oleh Dea Ananda. Sebagai seorang selebritas, suka tidak suka perhatian publik akan tertuju kepadanya. Menjaga penampilan, menjadi urusan profesional. ”Sebagai artis, ada tuntutan untuk selalu terlihat gaya,” ungkap penyanyi yang mengaku suka pada benda-benda bermerek sejak mendapat ‘warisan’ tas dan kacamata dari ibu dan neneknya. 

Dea juga mengaku tidak pernah belanja dengan kartu kredit, takut kebablasan. “Saya punya tabungan khusus, yang saya juluki tabungan ‘guilty pleasure’ untuk membeli barang-barang branded. Dengan tabungan ini, saya bisa membeli tiga tas atau sepatu bermerek tiap tahunnya,” jelas wanita yang selalu menjaga dengan apik koleksi barang-barang bermereknya. “Kalau kondisinya terawat, bisa dijual lagi dengan harga yang bagus. Hasil jualan bisa dibelikan barang branded baru,” ujar Dea, tanpa gengsi.
 
Gengsi memang menjadi salah satu alasan utama melatari perilaku konsumen. Sebagai seorang ethnographer, Amalia mengamati, masih banyak segmen konsumen yang menginginkan branded good orisinal, tapi tidak cukup modal untuk mendapatkannya. Kondisi inilah yang membuat pasar barang tiruan atau yang lazim disebut KW, makin marak di Indonesia.

”Bagi segmen ini, membeli barang ’asli tapi palsu’ tetap memberikan nilai baginya. Karena, dalam lingkungannya, barang tersebut masih dianggap ’sesuatu’ yang bisa meningkatkan gengsinya. Tetapi, begitu status ekonomi mereka naik, maka mereka akan berpindah ke segmen peduli image yang hanya membeli barang-barang orisinal,” jelas Amalia.

Apa yang dikatakan Amalia ini pernah dialami sendiri oleh Christine. ”Dari dulu saya suka memperhatikan tas-tas bermerek, tapi baru dua tahun ini mampu membeli yang asli,” tutur Christine, yang pernah berbelanja tas Dior, Chanel, dan Bottega Veneta ‘tembakan’ alias ‘KW’ hingga ke negeri Cina. Ia sengaja memilih KW original, istilah untuk barang KW yang sangat mirip dengan aslinya. Harganya sekitar tiga jutaan rupiah.

Harga yang cukup mahal untuk sebuah barang yang ’asli tapi palsu’. Namun, buatannya memang halus, sehingga sangat sulit dibedakan dengan aslinya. Saking miripnya, Christine menyebutnya sebagai replika. “Sekarang saya lebih suka membeli yang asli,” lanjut Christine, yang sesekali masih memakai tas KW koleksinya ke acara-acara yang lebih low profile.

Terbatasnya sumber pendanaan tidak membuat Christine kehilangan akal untuk mendapatkan koleksi orisinal barang branded incarannya. "Saya bisa membeli barang second dari merek itu dengan harga yang terkadang bisa sampai separuh lebih dari harga aslinya," ungkap Christine, yang berbelanja pada salah satu situs barang bermerek mewah second.

Bayangkan saja, tas Birkin Ostrich keluaran Hermes yang harga barunya mencapai Rp250 juta, bisa turun harga hingga Rp145 juta. Tas Balenciaga yang harga aslinya sekitar Rp16 juta, bisa dibeli dengan harga Rp10 juta. “Kondisi fisiknya masih sangat bagus dan terawat, jadi rasanya seperti punya barang baru. Kalau belinya dengan teman sendiri, bayarnya bisa dicicil. Enak, ‘kan?” ungkap Christine, tertawa.

Senangnya lagi, di situs pembelian ini Christine bisa banyak tahu tentang sejarah di balik barang branded yang dibelinya, termasuk tip padu-padan, sampai siapa pemilik terdahulunya,” cerita Christine. Rupanya, tidak sedikit dari barang second tersebut yang tadinya adalah milik selebritas terkenal, seperti Kris Dayanti, Sandra Dewi, dan Dewi Rezer. 

Hingga sekarang ini, baru dua tas branded baru yang dibelinya di butik resmi. Meski sudah hati-hati saat berbelanja, tetap saja ia merasa kecolongan. Tas merek Louis Vuitton yang dibelinya di Surabaya seharga Rp30 juta, ternyata untuk jenis yang sama dijual dengan harga Rp7 juta lebih murah di Singapura. ”Di Indonesia, barang-barang luxury brand pajaknya memang mahal, tapi masa iya perbedaannya sampai Rp7 juta. Itu kan keterlaluan!” ujarnya, kesal.
Sama seperti Christine, Lenny juga mengaku tidak risi berbelanja barang second. "Lebih baik begitu daripada memaksakan diri untuk membeli barang ‘KW’. Takut ketahuan. Malunya itu, lho...,"  kata Lenny.  Ia memang suka barang-barang branded, tapi juga mengaku tidak mau memaksakan diri untuk beli jika modalnya memang belum cukup.

"Saya memakai barang branded bukan supaya dilihat orang atau dapat pengakuan. Saya suka barang branded karena modelnya yang eksklusif dan kualitas bahannya yang kuat," tutur Lenny. Ia percaya, punya barang-barang branded tidak bisa menutupi kepribadian seseorang yang sebenarnya.
“Daripada memaksakan diri berutang untuk membeli barang branded, lebih baik saya meng-upgrade diri dengan banyak membaca dan berjejaring. Dengan begitu, bisa masuk ke semua kalangan dan nyambung saat ngobrol dengan siapa pun itu,” tambah Christine, tersenyum.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?