Fiction
Mengarak Purnama [6]

6 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Oh, Mami yang malang. Sampai kapan kau akan selemah ini? Virlie membatin, sambil berjongkok tepat di depan Mami, menatap sepasang mata tuanya yang layu dan seolah menyimpan banyak cerita sedih. Pada mata itu Virlie menyadari dirinya tak dapat berbohong. Pada mata itu pula Virlie sering melempar api benci dan amarah saat menemukan fakta bahwa Mami tak pernah melakukan apa-apa untuk membela atau membebaskannya dari tekanan Papi. Tapi, di saat tertentu, se¬perti sekarang ketika seluruh dunia seolah tengah berkomplot menentangnya, Virlie berharap bisa menemukan kekuatan di dalam sana. Itulah yang kemudian mendorongnya mencoba meyakinkan Mami.

“Percayalah, Mi. Aku merasa senang bekerja untuk orang yang betul-betul membutuhkanku di luar sana. Aku merasa punya banyak rasa bahagia yang bisa dibagi pada mereka; rasa bahagia pemberian Papi dan Mami yang kukumpulkan sejak lahir. Di tengah-tengah mereka, aku merasa lebih berguna daripada di samping Papi. Sebagai anak, aku hanya minta diberi kesempatan mengusahakan kebahagiaanku sendiri. Tolong mengertilah, Mi. Aku mungkin tidak bisa memenuhi keinginan Papi untuk menjadi orang berhasil. Tapi, setidaknya aku mungkin bisa menjadi orang yang berharga bagi orang lain.”

Virlie merasakan semburan hangat menjalari hati dan sudut matanya, ketika Mami memeluknya. Pelukan itu begitu erat, bagai menahan tangis yang tak terucap. Sejenak kebisuan menyela, sebelum kemudian Mami bersuara.

“Untuk bertahan hidup, kita memang harus selalu berjuang, Nak. Dengan cara berbeda, kau telah memilih bentuk perjuanganmu, begitu pun Mami.”

“Maksud Mami?”

“Mami tahu kau ingin bebas menikmati hidup seperti yang kau inginkan di luar sana, bukannya terkurung dalam sangkar. Sejak awal, Mami sadar bahwa kau berbeda dari ketiga saudaramu. Tidak hanya karena kau anak perempuan, tapi kau juga tidak takut bermimpi dan menentang arus. Kau seperti layang-layang kecilku yang terlihat rapuh, tapi sebenarnya punya kekuatan untuk terbang jauh dan tinggi melebihi yang siapa pun kira. Kau hanya butuh kemauan untuk melakukan itu, Virlie. Jangan meniru Mami yang sampai tua tak pernah bisa merasa bebas, hanya karena tidak berani mengambil kesempatan itu selagi ada. Jangan juga seperti Mami, yang hanya bisa bermimpi tanpa mau mewujudkan. Hanya bisa memendam, tapi tidak mau menyuarakan. Jadi, jika kau sudah begitu yakin dengan langkahmu, jalani dan ikuti saja. Anggaplah ancaman Papi sebagai cobaan untuk membuktikan kebulatan hatimu, bukan tantangan untuk menunjukkan kehebatanmu atas dirinya.”

Sejenak Mami berhenti, menyapu sudut mata yang mulai basah. Ditahannya tangis sekuat tenaga hingga bahunya tampak menggeletar.

“Ingatlah, Virlie, Ketika seseorang meragukan kesanggupanmu melakukan sesuatu, namun kau berhasil melakukannya, saat itulah kau menunjukkan kemenanganmu padanya. Mami bersyukur kau tumbuh menjadi wanita yang bisa menentukan apa yang kau inginkan, tak semata bisa melakukan keinginan itu. Mami yakin, suatu saat Papi akan mengerti pilihan hidupmu.”

Baru kali ini Virlie melihat Mami memandangnya begitu rupa. Serupa pijar lampu yang kesepian, Virlie seolah menemukan tujuannya kembali.

“Maafkan Mami, jika selama ini Mami tidak bisa membelamu di depan Papi. Sekarang Mami ingin menebus semuanya dengan memberimu kesempatan itu. Jadilah yang terbaik yang kau bisa, Nak, jangan menjadi yang terbaik yang orang lain bisa. Jangan pula kau mencari penerimaan orang lain karena kau tidak akan menjadi siapa pun, kecuali dirimu sendiri.”

Percakapan yang memantapkan langkahnya menuju Papua.

Agenda Andreas Leo (Merauke, minggu kedua Maret)
Pagi

Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Biasanya, hampir semua tamu yayasan yang pernah kudampingi selalu mendengar saranku agar menjauhi masalah selama berada di kota ini. Maklum, mereka itu pendatang. Jika salah bersikap, bisa saja dianggap melecehkan adat. Jika menyinggung perasaan seorang penduduk asli, bisa-bisa nyawa diancam panah. Tapi, kali ini, salah satu tamuku benar-benar membuatku panas-dingin. Bukan karena dia wanita, tapi sikapnya yang terlalu menaruh perhatian pada seorang ibu Komen.

Bayangkan saja, setelah kunjungan pertama kami ke rumah ibu itu untuk melihat keadaannya setelah dipukul suaminya, Virlie kembali memintaku mengantarnya ke sana setiap kali ada kesempatan. Misalnya, ketika kami kebetulan berada di distrik dekat situ untuk suatu keperluan.

Meski hanya singgah sebentar dan mengobrol pendek, aku takut kalau ada yang terganggu oleh kedatangan kami yang cukup sering. Selain itu, aku juga takut jika sikap peduli Virlie disalahartikan oleh suami ibu itu yang terkenal pemabuk dan ringan tangan.

Dibandingkan Anggi, kulihat Virlie lebih perhatian pada orang-orang daerahku. Meski belum lama kenal, aku merasakan ketulusan dalam setiap tindakannya. Tak tampak sedikit pun sikap canggung, ketika ia berada di tengah sekumpulan anak kecil tak berbaju atau segerombolan ibu berpakaian lusuh. Ia mencoba berbaur dan merangkul mereka dalam senyum dan sapa hangatnya. Jika saja rambut Virlie keriting dan kulitnya hitam, pastilah ia sudah dianggap penduduk asli oleh siapa pun yang melihat keakrabannya. Tapi, hal itu tidak mungkin, sebab nasib wanita Komen sangat sedikit yang seberuntung Virlie.

Aku tak bisa memungkiri fakta banyak dari wanita kami masih terjerat kebodohan dan kemiskinan. Sejak kecil mereka telah dididik menjadi pekerja sekaligus pengurus rumah tangga. Kalau ada yang sempat mengenyam pendidikan dan menjadi pintar, jalan mereka akan berakhir juga di rumah. Ah, sungguh malang nasib rakyatku.

Siang

Hari ini, langit terus mendung. Kata Anggi, mungkin hujan akan turun sebentar lagi. Namun, aku punya pendapat sendiri. Langit menjadi mendung, karena Tete Manis di atas sana sedang murung. Hanya Dia yang paling tahu apa yang sedang terjadi di bawah sini, dan hujan adalah pesan duka cita-Nya untuk kami. Mengapa manusia yang diciptakan sama malah sengaja membuat perbedaan? Mengapa pula manusia yang dilahirkan dalam suka cita tidak mau saling bantu saat berada dalam kesulitan?

Kupercepat laju mobil menuju tempat selanjutnya. Virlie ingin bertemu ibu itu lagi, dan kebetulan kami akan melewati jalan pintas dekat rumahnya.

Elen

Malam sudah mencapai ubun-ubunnya. Di sudut rumah, tampak sesosok tubuh duduk dalam geming. Sesekali, terdengar rintihnya yang tertahan menyela hening. Dalam selimut gelap, Elen mencoba menanggung deritanya sendiri.

Tidak ada yang bisa menyelamatkan Elen malam itu. Beberapa jam yang lalu, Yonas, suaminya, pulang dalam keadaan mabuk berat. Belum lagi memasuki rumah, Elen sudah bisa mendengar rentetan makian suaminya memenuhi udara. Makian seorang pemabuk yang sangat marah. Seketika itu juga, Elen tahu apa yang bakal terjadi.

Dengan menyeret sepasang kakinya yang bengkak, Elen bergegas memindahkan bayi Elias yang selalu tidur bersamanya ke kamar Lius dan Eva di bagian belakang rumah, sebelum kemudian menutup rapat-rapat tirai kamar tak berpintu itu. Selanjutnya, ia berusaha membawa tubuhnya masuk ke kamarnya sendiri, tapi terlambat. Sebuah entakan keras membawa kepala Elen jauh ke belakang, lalu menyusul pukulan dan tendangan bertubi-tubi yang dihantamkan ke seluruh tubuhnya. Sontak, Elen menjerit. Di sisa kesadarannya yang masih melekat, Elen mencoba melindungi perutnya.

“Kakak, pukul saya saja. Saya saja! Jangan pukul torang pu anak dalam perut. Jangan!”


Penulis: Anindita Siswanto T.




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?