Fiction
Mengarak Purnama [4]

6 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Elen


Sungguh ia tak menyangka bahwa orang-orang yang dikenalnya dengan sebutan ‘tamu dari Jakarta’ itu datang lagi. Dua orang wanita ditemani seorang pemuda Komen. Pada kedatangan pertama, mereka berkata hanya ingin melihat keadaannya yang kebetulan memang berhalangan hadir di pertemuan hari itu. Tapi, pada kesempatan selanjutnya, orang-orang itu masih tetap berkunjung ke rumahnya. Kira-kira, apa mau mereka?

Dari pengalaman, Elen belajar untuk selalu mencurigai setiap orang asing atau pendatang yang mencarinya. Jika bukan karena ia telah berbuat salah, mereka mungkin hanya ingin mengambil sesuatu yang berharga darinya.

Tapi, Elen merasa tidak pernah berbuat salah, apalagi menyimpan sesuatu yang bernilai tinggi, kecuali anak-anak. Ya, mereka adalah harta terbesar Elen. Karena, pada merekalah ia menyimpan separuh jiwa dan nyawanya. Namun, wanita yang dikenalnya bernama Virlie berkata bahwa kedatangan mereka sekadar untuk melihat keadaan Elen dan anak-anak. Benarkah begitu?

Jujur saja, Elen sempat menyangsikan kata-kata tersebut. Ia tetap waspada setiap kali orang-orang itu datang. Tidak membiarkan mereka masuk ke dalam rumah atau terlalu dekat dengan Lius, Eva dan Elias. Tapi, pada kunjungan yang kesekian kali, Elen mulai bisa merasakan niat baik mereka, terutama Virlie. Entah mengapa, Elen merasa, perbedaan mencolok yang ditampilkan fisik Virlie sama sekali tidak tercermin pada sikapnya.

Kulit wanita itu begitu putih dan wangi. Sangat berbeda dari kulit Elen yang hitam kusam. Rambutnya sangat lurus seperti kain yang baru disetrika, tidak bergerombol kusut seperti rambut ketiga anaknya. Namun, jika Elen mengira bahwa hal tersebut membuat Virlie enggan berdekatan atau menyentuh mereka, ia sungguh salah.

Wanita bermata garis itu sama sekali tidak menunjukkan sesuatu yang berjarak. Ia begitu perhatian dan peduli layaknya seorang teman. Tanpa sungkan ia menyentuh bahu Elen saat berbicara, atau mencubit pipi Elias yang kotor sesekali. Ia juga dengan senang hati mencicipi sepotong sagu bakar pemberian Lius dan tidak risi memeluk tubuh Eva saat mencoba menghentikan tangis bocah itu yang terjatuh saat sedang bermain. Elen mulai menyukai wanita itu, meski belum bisa terlalu terbuka.

Virlie selalu bertanya padanya tentang bagaimana sikap Yonas, sang suami, tapi Elen memilih bungkam. Virlie pun tidak memaksa. Anehnya, pada suatu kesempatan, Elen merasakan dorongan itu begitu keras hingga akhirnya ia pun tak tahan untuk bercerita.

Dengan kata-kata penuh air mata, semua keluhan hidupnya ia tumpahkan pada Virlie: sikap kasar Yonas, ketidakadilan hidup, dan penindasan yang menderanya selama ini. Namun, ketika sampai di akhir cerita, Elen dikejutkan oleh satu nasehat Virlie. Wanita itu menyuruhnya melaporkan tindakan sewenang-wenang Yonas pada kepala kampung atau polisi, untuk nantinya suaminya itu akan ditangkap dan dipenjara, karena dianggap bersalah telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga.

Tak akan pernah, ya, Tuhan! Tak akan pernah ia melakukan hal semacam itu. Hati Elen langsung menjerit.

Sekali pun Elen tidak pernah bermimpi akan membuat suaminya menderita. Apalagi, sampai dikurung dalam penjara. Melupakan perlakuan kasar yang diterimanya di sepanjang usia perkawinan mereka, Elen merasa Yonas tidak pantas diperlakukan layaknya hewan buruan.

Sebagai wanita Komen, ia selalu diajarkan untuk merawat dan menyenangkan sang paitua (suami), berusaha membahagiakannya dengan cara apa pun, bukan sebaliknya. Selain itu, sebagai seorang wanita, ia pun terbiasa menekan perasaannya sendiri.

“Tapi, kalau Ibu Elen dipukul terus, sampai kapan Ibu bisa bertahan? Kalau akhirnya Ibu Elen jatuh sakit gara-gara penganiayaan itu, siapa yang akan merawat anak-anak? Apakah bapaknya? Memangnya dia sanggup menghadapi kerewelan Elias, kenakalan Lius, dan kemanjaan Eva dengan kasih sayang, bukannya kekerasan? Pernahkah Ibu Elen berpikir bahwa pada suatu saat nanti giliran anak-anak Ibu, bahkan mungkin si kecil yang belum lahir, yang akan men¬derita dan menjadi korban bapaknya?”

Elen terdiam mendengar cecaran pertanyaan Virlie. Semula ia mencoba tak ingin mengambil hati, sebab rasanya tak mungkin Yonas tega menyakiti darah dagingnya sendiri.

“Tidak mungkin! Saya punya paitua tidak begitu,” bantah Elen, mencoba yakin dengan kata-katanya sendiri.

“Tapi, bukankah mabuk bisa membuat orang lupa diri?” cetus Virlie, mengingatkan. “Jika sudah begitu, bisa saja suami Ibu menyakiti siapa pun, termasuk anak-anak, bukan? Lalu apa yang Bu Elen akan lakukan kalau semuanya sudah terjadi? Ke mana Bu Elen akan lari meminta tolong?”

Ah, itu dia. Elen tidak lagi mendengar kalimat Virlie selanjutnya, karena ia sudah mulai merasakan ketakutan itu. Sebuah ketakutan yang selama ini terlupa, namun kini menyusup begitu cepat ke dalam hatinya dan berdiam lama di sana.

Sungguh Elen sangat takut tidak bisa menemukan tempat melarikan diri dari hal-hal buruk dalam kehidupan ini, apalagi jika keburukan itu berasal dari rumahnya dan sang pelaku adalah suaminya sendiri. Seorang jodoh yang ia percaya telah dipilihkan Tuhan untuknya.
Virlie

Tanpa suara, ia mengamati malam yang merangkak tua lewat jendela. Menatap lekat pekatnya sembari merenungi apa yang telah dilaluinya selama dua minggu berada di kota paling timur Papua itu.

Sebagai warga keturunan, Virlie sudah terbiasa disebut pendatang. Karenanya, begitu sampai di Merauke, ia merasa daerah itu sama saja dengan kota lain yang pernah dikunjunginya.

Tatapan tajam dan sikap yang berjarak adalah hal wajar yang sering ditujukan padanya. Namun, bedanya baru kali ini Virlie menemukan pesan lain di balik semua itu. Ia tak menemukan rasa sirik atau iri hati di sana, pun benci atau dendam seperti yang sering kali ia rasakan dari orang-orang di sekitarnya, melainkan ketakutan yang terselubung dan keluguan yang menyentuh hati. Dan semua itu menjadi fakta yang sangat menganggu perasaan Virlie, karena ia tahu apa yang menjadi penyebab dari ketakutan dan keluguan mereka.

Dalam terik matahari Merauke yang menyengat, Virlie melihat betapa jurang sosial di tempat itu sangat lebar. Bertebaran di bawah kaki-kaki menara operator telepon seluler yang menjulang tinggi, ia melihat penduduk asli masih tinggal di rumah mereka yang sederhana, beberapa masih beratap rumbia.

Terselip di antara deretan rumah toko yang modern, tampak para mama berjuang mengais rejeki dengan berjualan sirih-pinang sambil berjongkok. Sementara di antara tebaran debu-debu jalanan, ibu-ibu muda mencoba menjunjung beban hidup di atas kepala mereka dalam noken yang penuh berisi barang, babi dan bayi. Serupa pemandangan Merauke yang datar, wajah-wajah wanita itu menampakkan fakta kehidupan yang serupa garis lurus: tanpa perubahan, tanpa kemajuan.

Pemandangan yang sama mengenaskan disaksikan Virlie saat sinar bulan berpendar pucat di langit malam Merauke. Di hampir setiap sudut jalan, ia melihat para paitua asyik menenggelamkan diri dalam kenikmatan mabuk minuman keras bersama teman-teman mereka.

Di beberapa tempat remang-remang, sederet bar dan klub malam dipenuhi pengunjung pria yang berlomba-lomba menyerahkan diri pada jeratan nafsu sesaat yang ditawarkan para wanita penghibur. Serupa hawa Merauke yang panas dan gersang, wajah-wajah pria itu menampakkan nafsu yang membara, tapi kering dari harapan.


Penulis: Anindita Siswanto T.
 




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?