Trending Topic
Mencari Benang Merah

18 Sep 2013


Nasib cerita rakyat yang merupakan bagian dari kekayaan folklor Indonesia, sayangnya kekayaan ini makin terpuruk dari waktu ke waktu. Banyak yang tidak sadar bahwa selain kuliner, tarian, dan kain tradisional, cerita rakyat juga bagian dari kekayaan intelektual tanah air.

Dengan 13.000 pulau dan 1.340 suku bangsa (sensus BPS 2010) yang menetap di atasnya, harusnya rak-rak buku di perpustakaan dan pertokoan akan penuh sesak dengan koleksi cerita rakyat Nusantara. Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Tidak hanya jumlahnya   yang sedikit, tapi tampilannya pun tidak menarik.

“Ketika kita berkunjung ke toko buku, cerita-cerita rakyat itu tidak berwarna, dan ilustrasinya buruk. Sementara itu, ada banyak pilihan buku anak terbitan luar negeri, seperti Tintin, atau komik superhero keluaran Marvel, seperti Batman dan Superman, yang jelas menarik dari sisi kemasan,” keluh Rama Soeprapto, sutradara drama musikal Padusi.

Padahal, melalui cerita atau legenda Nusantara inilah kita dapat menemukan jati diri bangsa Indonesia yang sesungguhnya. “Di dalam cerita rakyat terkandung nilai-nilai moral dan kearifan lokal tentang hubungan manusia dengan sang pencipta, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam,” ungkap Lilie Suraminto, pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Namun demikian, menarik sesuatu yang berasal dari akar tradisi ke dalam dunia kekinian, bukan hal yang mudah. Terutama dalam hal adaptasi jalan cerita. Setidaknya, mereka harus menemukan benang merah yang membuat para penikmatnya merasa terhubung.

Demi mewujudkan relasi ini, Rama menggandeng wanita sutradara, Nia Dinata, untuk menulis naskah Padusi, yang diambil dari cerita tradisional Minang. ”Karena yang bikin Nia, dia bicara tentang kekinian, yaitu tentang poligami dan kawin paksa. Dua fenomena yang hingga kini masih sangat relevan dengan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan wanita di Indonesia,” ungkap Rama.

Fenomena saling tuding di antara para pejabat pemerintah atau petinggi politik dalam berbagai kasus korupsi dan perebutan kekuasaan juga tidak luput dari sasaran sindiran. Sang Kuriang versi abad ke-21, misalnya, tidak lagi mengekspos tentang sindrom oedipus complex yang dialami oleh jawara asal tanah Sunda itu.

”Sebagai gantinya, saya mengangkat sisi filosofi tiga kebenaran yang diwakili oleh Sangkuriang, Dayang Sumbi, dan Tumang (anjing yang merupakan ayah dari Sangkuriang). Sisi ini sangat relevan dengan kenyataan di tengah masyarakat. Seperti yang sering kita saksikan di televisi, semua orang menganggap dirinya yang paling benar,” jelas Wawan, yang tengah menyiapkan pementasan baru yang mengangkat cerita tentang tokoh Dewi Drupadi.

Begitu juga dengan Mirwan. Kisah kelahiran Hanoman tidak melulu bicara tentang perang perebutan kekuasaan, tapi lebih kepada sisi personal dari kera sakti itu. Dalam kisah pewayangan tidak pernah dibahas krisis identitas seorang Hanoman.
”Padahal, secara logika, sebagai kesatria yang sakti, tapi buruk rupa, Hanoman pasti memiliki banyak konflik internal,” ungkap Mirwan. Menurut Mirwan, konflik yang berpusat pada pencarian identitas ini merupakan tema sepanjang masa dan bisa diterima oleh siapa pun yang pernah menjadi remaja.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?