Fiction
Matahari Matahari [6]

1 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Ketika mereka makan hidangan utama, Bayu mengungkapkan bahwa ia sangat merindukan masakan rumah yang sehat dan bersih. Setelah Sofie dan bundanya meninggal, tak seorang pun bisa memasak nasi bebek hainan, selain chef resto Holiday.

“Kau tak menemukan wanita lain setelah Sofie meninggal?” Ati bertanya, tidak serius, hanya berusaha menanggapi problem nasi bebek hainan favorit Bayu. Ia merasa kondisi hubungan mereka sudah jauh lebih baik. Matahari kecil sungguh membantu proses perbaikan yang tampak mustahil itu, sehingga hampir semua masalah yang terpendam di masa lalu bisa terbahas dengan leluasa.

Bayu terdiam dan Ati merasa dia telah bertanya terlalu serius, sehingga ia harus meminta maaf.

“Tidak. Tidak...,” jawab Bayu. “Aku tidak pernah harus menemukan siapa pun, Ti. Dari dulu hingga sekarang, hanya ada satu wanita yang pernah kutemukan dan aku tak mungkin menemukan yang lain.”

Ati bukan wanita bodoh, dia mengerti benar arah pernyataan Bayu. Hanya, bukan karena masa lalu. Sekali lagi, mengapa ia sedikit pun tak berniat kembali melabuhkan cintanya pada pria tersebut.

“Apa kau benar-benar sudah memaafkan kami berdua?”

Ati mengangguk lemah. Ada desir-desir aneh mengaliri hatinya, rasa bahagia yang ia tahu berbahaya. Rasa bahagia yang tidak diinginkannya. Ia merasa lemah sebagai wanita, kelemahan yang tak tersentuh olehnya, seberapa pun keras kehidupan sendirinya di Jakarta.

“Bay, antarkan aku pulang.”

Ati melempar pandangannya ke luar jendela, ruang tamu rumahnya masih menyala. Jelas Bunda masih terjaga untuk menunggunya pulang. Tebersit di kepalanya, bagaimana marahnya Bunda nanti, jika dia tahu mobil siapa yang mengantarnya pulang.

Namanya dipanggil sekali lagi dan ia sedang akan membuka mulutnya untuk menanggapi permintaan maaf Bayu, ketika suatu benda keras terdengar menghantam benda keras pula.

Serentak mereka mencari arah datangnya suara dan menemukan wanita tua dalam daster batik cokelat berjalan tergopoh-gopoh keluar dari rumahnya, dikejar oleh seorang pria yang sama tua dan seorang pria yang jauh lebih muda. Ati langsung tahu siapa mereka.

“Ya, Tuhan...!” pekiknya.

Bunda mengacung-acungkan sebongkah batu bata besar, siap meluncurkan lemparan kedua tanpa memedulikan teriakan pencegahan suami dan anak laki-lakinya.

“Pergi, Yu!” perintah Ati, bersiap-siap melompat keluar dari mobil.

“Tidak, Ti!” Bayu mencegahnya. “Aku akan menjelaskan pada Bunda mengenai semuanya. Tunggu!”

“Jangan bodoh! Itu bukan Bunda! Itu induk burung nasar yang mencoba membela telurnya yang kau rusak! Pergi. Aku tak mau kamu mati konyol atau sekadar masuk UGD!”

Ati melompat turun dari mobil, yang kemudian melaju meninggalkannya. Meski begitu, lemparan batu Bunda sempat mengenai kaca belakang mobil.

“Bunda!” Ati mendelik marah.

“Bunda...,” Ayah berhenti dengan napas hampir putus. Begitu langkahnya terhenti, tubuh rapuhnya justru roboh kehabisan tenaga.

“Bapak!” Mas Bintang buru-buru melompat menangkap.

“Bunda, apa-apaan, sih?!” Ati benar-benar marah. Kali ini tindakan Bundanya sudah menjurus pada tindakan membabi buta. “Bunda... Bunda bisa dituntut, karena berbuat kriminal!”

“Biar!” jerit Bunda. “Coba lihat, apa pengecut itu berani nuntut!”

“Bunda tak akan bisa ngomong begitu, kalau sudah benar-benar dituntut! Bunda sadar tidak, Bunda bakal mempermalukan keluarga besar! Bayangin, apa yang Eyang Putri bilang nanti....”

Barulah, setelah Ati membawa nama Eyang Putri, emosi Bunda agak teredam dan nyalinya menciut. Tak sepatah kata pun terucapkan, hanya kedua tangannya yang masih mengepalkan tinju.

Aku hanya mau menegaskan bahwa aku nggak main-main kemarin, Ti. Kenapa kamu nggak mau angkat teleponnya?
May 2, 2008
Sender: Bayu

Ati bangun dengan sesak di dada.

Mungkin saja Bunda ada benarnya juga. Bayu memang agak tak tahu diri. Padahal, beberapa saat lalu, Ati merasa yakin bahwa ia sedang menghadapi pria yang sama sekali baru. Pria yang sudah ditempa pil pahit atas sebuah kesalahan, sehingga membawa pendewasaan pikiran dan ketinggian tingkat kesabaran diri.

Akhirnya Ati menyingkap selimut, mengambil handuk dan mandi. Sekadar untuk menyenangkan hati Bunda, yang menangis semalaman karena Bapak pingsan, selain untuk menyegarkan kepalanya.

Di bawah, meja sudah tersulap menjadi meja sesajen dan raut muka Bunda tak menyisakan kesedihan. Mas Bintang jelas dipaksa mandi jauh lebih pagi. Bapak juga kelihatan sehat dengan cangklong, koran pagi, dan kopi panas. Nyaris lenyap tanpa sisa insiden semalam, kecuali tingkah Bunda yang kelewat ceria.

“Siapa?” bisik Ati pada kakaknya, sewaktu Bunda mengambil sesuatu di dapur, entah mau diletakkan di mana lagi. Maksudnya, tentu saja menanyakan, siapa lagi yang sedang akan disambut Bunda.

Mas Bintang tak perlu menjawab. Pintu depan menjeblak terbuka disertai sebuah suara lantang yang terdengar membahana, “Selamat pagi!”

Ati nyaris melompat. Agung!

“Aik!” Bayu nyaris melompat untuk menangkap tubuh putrinya yang terhuyung hingga nyaris terjerembab ke depan. Pengasuhnya lari tergopoh-gopoh di belakang, mukanya pucat ketakutan.

Dari kejauhan, Agung memperhatikan pemandangan yang tidak sengaja tertangkap olehnya. Dia baru saja selesai makan siang bersama adik perempuannya, ketika melihat Bayu di depan sebuah game centre. Setelah menyuruh sang adik pulang lebih dulu, ia mengambil sebuah tempat duduk di sebuah kafe untuk mengamati lebih lanjut.

Bayu Laksmana bertubuh tinggi besar. Jambang dan ikal rambutnya mengingatkan Agung pada Surya Saputra, hanya tak ada kacamata kotak mungil duduk di batang hidungnya. Siang itu ia mengenakan kemeja santai yang dipadu dengan celana jins dan sneaker putih. Penampilannya membuat hari Selasa yang berjalan lambat terasa seperti hari Minggu.

Agung menyedot ice blended mocca yang ia pesan.

Lagi pula, kombinasi kawanan Bayu yang unik juga membuatnya tidak sulit mengenali kembali. Berapa banyak pria tampan yang menggendong gadis kecil buta dan diikuti seorang wanita berkulit gelap dengan kelebihan berat badan?

Sejurus kemudian, mereka meninggalkan game centre, dengan Bayu masih sibuk memohon agar putrinya berhenti menangis. Agung menyelinap keluar dari kedai mengikuti kawanan mereka, sampai ke tempat parkir. Di balik pintu sedan hijau toska keluaran tahun ‘90-an, mereka menghilang.

Agung melarikan mobil mengilatnya membelah jalanan, mengikuti mereka sampai berhenti di depan rumah dengan nomor 108. Rumah dengan dua lantai berwarna kuning gading dengan pagar setinggi pengasuh si gadis buta.

Seorang pria seusia Bayu berlari tergopoh-gopoh dari dalam untuk membukakan pagar, supaya sedan itu bisa masuk ke garasi.

Bayu baru saja menyerahkan si gadis buta pada pengasuhnya dan memberi pesan tegas agar ia jauh lebih hati-hati, ketika Agung memanggil namanya. Ia mendekat dan mengisyaratkan pada pria yang menutup pagar supaya menahan pagar untuk sang tamu.

“Apa kita saling mengenal? tanya Bayu, ramah. Ia bahkan menjabat tangan Agung dengan hangat.

“Jujur saja, aku ngikutin mobil kamu dari mal. Agung Surya Laksana, ujar Agung, lugas memperkenalkan diri. Dia memang tidak berniat menyembunyikan identitasnya. Karena, dia tahu, cepat atau lambat mereka akan saling mengenal.

“Apa aku meninggalkan sesuatu? tanya Bayu, tanpa prasangka.


Penulis: Ratih Tri Widowati



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?