Fiction
Masa yang Hilang [6]

27 May 2012

<< cerita sebelumnya

“Kalau aku memperkenalkan kalian, nanti kamu akan lupa padaku, katanya dengan wajah polos, sambil tertawa kecil.

Entah bercanda atau tidak, tapi terus terang, kata-katanya itu sedikit membuatku merasa lega.

Kuputuskan untuk tidak membahas masalah Deni ini lagi. Kami hanya makan mi ayam dengan sangat lahap dan aku bersikeras untuk membayarinya, mengingat bahwa aku yang lebih dewasa dan telah berpenghasilan. Tapi, aku tak mengerti mengapa wajah Jonathan tampak sedikit kesal, ketika kami meninggalkan kedai mi itu.

“Lain kali, aku yang bayar, ya.”

Oh, ternyata, aku telah menyinggung ego seorang pria.

Aku kembali berjalan dengan senyum mengembang. Jika kelak aku memiliki pria yang tepat untuk kucintai, mungkin aku akan sangat dibutakan oleh cinta dan bersedia memberikan segala yang kumiliki, tanpa berpikir banyak. Menyeramkan, tapi aku mulai berpikir, mungkin aku berpotensi menjadi wanita seperti itu.

Sita, kakak keduaku, hanya tertawa mendengar cerita tentang Jonathan. Kejadian aneh yang baru dialami salah satu anggota keluarga, yang selama ini selalu menjalani kehidupan secara baik dan lurus. Kakak pertamaku, Rena, pada awalnya ikut tertawa. Namun, ketika tahu bahwa selama 30 menit terakhir aku sibuk berkirim SMS dengan Jonathan, ia agak kesal dan terang-terangan memintaku mengusir pikiran aneh yang sedang menghinggapi kepalaku.

Tanpa memedulikan sarannya, aku dan Sita kembali tertawa membahas isi SMS Jonathan yang terdengar sangat kekanakan, tapi tidak gombal yang menyedihkan. Lalu, kami juga membahas tentang pasangan selebriti yang usianya terpaut jauh.

“Tidak apa-apa. Siapa tahu berhasil,” kata Sita. Komentar nye­leneh yang sesungguhnya tak kuharapkan dari seorang kakak, yang seharusnya memiliki opini dan jawaban yang lebih bijak dan tak mendukung sikapku. Dalam hal ini aku justru senang dengan sikap kontra yang ditunjukkan Rena. Hanya, ia terlalu serius menanggapinya, membuatku merasa tersinggung.

Lain lagi komentar Mira. “Kamu gila. Kita mesti serius menghadapi hidup. Itu semua kesenangan semu. Lebih baik cari yang mau melamar kamu. Jangan cari masalah.”

Di satu sisi, aku merasa, perkataan Mira sangat masuk akal dan benar. Tapi, tahu apa ia akan masalah? Aku tahu, banyak sekali masalah yang datang padanya silih berganti. Tapi, tak pernah ada yang tahu apa masalah yang kuhadapi. Haruskah aku seperti Mira, yang bisa dengan mudah menceritakan masalahku pada banyak orang? Menggelikan.

Jonathan memang benar. Bogor begitu padat. Aku sendiri terjebak kemacetan selama 20 menit dalam angkutan kota. Aku bukan hanya mempertimbangkan dan memikirkan janji untuk bertemu dengan Jonathan, tapi bahkan bersemangat untuk pergi berdua dengannya.

Awalnya, aku merasa bosan selalu berdiam diri, tanpa memiliki kegiatan apa pun di rumah dan hanya menghabiskan persediaan kue. Aku mulai merindukan toko buku, mencari buku yang baru beredar. Ya, aku beralasan.

“Sudah dari tadi?” tanyaku, sambil tersenyum.

“Baru 20 menit menunggu,” kata Jonathan.

Kami sama-sama memperhatikan penampilan yang baru kami lihat dalam pakaian santai, bukan kemeja, blazer, dan tas kerja seperti biasa. Jonathan kali ini menggunakan kacamata, kaus, dan sepatu olahraga.

“Kita mau ke mana dulu?” tanya Jonathan.

“Aku, sih, ingin ke toko buku dulu.”

“Sesudah itu, kita nonton, ya?”

Aku mengangguk. Setelah aku menemukan buku yang kucari, kami pergi ke bioskop terdekat. Secara tak sengaja kami bertemu kakak perempuan Jonathan, Maria. Aku hanya tersenyum pada Maria dari kejauhan. Ia bahkan tampak lebih muda dariku.

“Tidak ada film yang bagus. Masih mau nonton?” tanyaku.

Jonathan mengangguk. Kami lalu menuju tempat penjualan tiket. Tiba-tiba Jonathan mengeluarkan lembaran seratus ribu, melarangku untuk membayar. Aku hanya tertawa, menyadari bahwa ia baru menerima gaji setelah kerja praktiknya di Jakarta. Momen ini dijadikan kesempatan untuk mentraktirku. Aku benar-benar merasa tak enak. Tapi, karena ia begitu memaksa, akhirnya aku menerima tawarannya.

Kami masuk studio 3 yang sangat sepi. Hanya 6 pasangan yang kulihat di dalam ruang gelap ini. Jonathan memilih tempat duduk di samping dekat tembok. Hah, hanya 12 orang dalam sebuah ruangan besar gelap di siang bolong? Tidak lucu.

Mungkin, ini karena film yang akan diputar memang tidak terlalu bagus. Sebuah film sekuel horor Asia yang tak kusuka sama sekali. Jonathan pun tak begitu menyukainya. Hanya, kami tak mau menyia-nyiakan waktu yang telah sengaja kami sediakan untuk menonton.

Film sudah berjalan 15 menit. Kami agak terlambat. Tapi, begitu buruknya film itu, sehingga aku tak merasa ada bagian yang terlewat. Hanya sebuah film remaja berbalut cerita hantu, setan, buto ijo, dan arwah-arwah buruk rupa sejenisnya. Tapi, di saat tak terduga, aku kaget melihat munculnya hantu Asia berwajah pias. Spontan aku menjerit dan menutup mata.

Jonathan tertawa keras. Ia senang melihat tingkah bodohku.

Aku bersungut-sungut kesal. Tapi, sampai beberapa menit, aku tetap tak berani membuka mata. Dan, Jonathan makin gencar menggodaku. Tiba-tiba, aku benar-benar tak ingin ini berakhir, sampai kapan pun.

Tapi, film buruk tadi telah usai. Dua jam yang sangat singkat. Kami tak tahu hendak melakukan apa lagi. Jonathan juga belum berniat pulang. Ia mengajakku ke bagian pakaian untuk sekadar cuci mata, lalu melihat-lihat sepatu basket yang mahalnya luar biasa, dan mencari kado ulang tahun untuk sepupu perempuannya yang masih berusia 8 tahun.

Aku agak kecewa. Di mataku ia terlihat agak konsumtif. Mungkin, aku terlalu banyak berharap bahwa suatu saat akan melihat sosok pria dewasa yang dapat kuandalkan dalam diri Jonathan. Atau, mungkin juga aku terlalu iri pada banyak pasangan dewasa yang terlihat ‘normal’ di mataku. Aku pamit pada Jonathan untuk menunggu di luar toko, dengan alasan harus menelepon seseorang di kantor.

Ternyata, John memang tidak dewasa. Setelah ini, aku nggak mau ketemu dia lagi. Ini yang terakhir kali.
SMS ini kutulis untuk Sisi. Beberapa detik kemudian, aku menerima SMS report, yang menunjukkan bahwa SMS itu terkirim pada Jonathan, bukan Sisi!

Aku terkejut bukan main. Mati aku. Kulihat dari jauh, Jonathan sedang melihat-lihat baju. Karena panik, aku cepat-cepat menghubungi Jonathan.

“Jon, aku salah kirim SMS. Maaf.”

Napasku masih tersengal-sengal. Setelah sedikit tenang, aku memikirkan alasan yang akan kuberikan pada Jonathan mengenai SMS tadi.

Ini bukan kejadian bodoh yang pertama kali. Pada Sisi, aku mengirim SMS yang menyatakan rasa tidak sukaku pada Ade. Aku kecewa melihat tipikal teman-temannya yang akan ia jodohkan untukku. Orang-orang yang masih berpikir lokal, sederhana, dan kurang open minded. Ade pikir, yang kuinginkan dari seorang pria adalah pintar secara akademik.

Sebuah salah pengertian yang luar biasa menakutkan. Aku berniat mengirimkan SMS itu pada Sisi, tapi terkirim pada Ade. Karena, berhari-hari aku menghabiskan pulsa hanya untuk berkirim SMS dengan Ade.

Sekarang hal itu terulang lagi. Benar-benar bodoh!

“Ada apa, sih, Young?” Jonathan keluar dari toko pakaian dengan tergesa-gesa.

“Nggak ada apa-apa. Cuma salah kirim SMS,” jawabku.

Sudah. Jonathan hanya mengangguk. Tidak bertanya apa-apa lagi. Tapi, aku justru penasaran, kenapa dia tidak bertanya lebih lanjut. Lalu, aku memancing, “Kalau seseorang sudah berumur lebih dari 30 tahun, tapi bersikap seperti masih 16 tahun, menyedihkan, ‘kan?”

“Kamu sedang membicarakan siapa?”

“Ah, tidak usah diceritakan. Ini masalah orang dewasa,” jawabku, datar.

“Aku tidak boleh tahu?”

“Bukannya tidak boleh tahu. Tapi, kamu mungkin akan sulit mengerti apa yang dirasakan oleh orang seumurku. Nanti kamu bisa pusing,” jawabku, sok tua.

Jonathan tetap memaksa, bahkan sampai kami akhirnya tiba di salah satu tempat makan di mal itu, dia masih tetap memaksaku untuk bicara. Bukannya aku tak ingin. Tapi, aku masih pusing memikirkan sebuah cerita tragis fiktif, yang bisa menutupi kesalahan SMS tadi.


Penulis: Marisa Agustina


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?