Fiction
Masa yang Hilang [5]

27 May 2012

<< cerita sebelumnya

“Gila kamu, Young. Tapi, aku jadi ingin lihat, semanis apa, sih, dia? tanya Sisi, teman SMA yang masih sering kutemui, seusai pulang kerja.

“Dia sering di gerbong 6,” jawabku.

Kami berdua memutuskan masuk ke gerbong 6. Tidak seperti biasa, kali ini aku menuruti keinginan Sisi, tanpa sadar bahwa mungkin aku akan bertemu Jonathan. Gerbong itu gelap, dan memaksa kami untuk mendekap erat tas dan bawaan lain, agar tak ada tangan jail yang mengambil kesempatan dalam keadaan tak menguntungkan. Bersyukur, sedikit demi sedikit jumlah penumpang kereta berkurang di setiap stasiun. Ketika hampir tiba di stasiun tujuan, aku menangkap siluet wajah Jonathan, yang terkena sinar lampu di gerbong 7. Ia tampak sedang mencari-cari seseorang di gerbong 7. Kalau boleh kutebak, ia pasti mencariku.

“Young, Young, kamu mau ke mana? Orang sibuk berebut bangku, dia malah pergi,” komentar Sisi pada Fina, temanku yang lain.

Tapi, aku terus saja berjalan menghampiri Jonathan, yang sedang duduk di sandaran tangan. Mungkin, ia merasa pegal setelah sekian lama berdiri.

“Hei!” sapaku.

“Kok, ada di sini? Mencari aku, ya?” tanya Jonathan dengan wajah yang tiba-tiba ceria.

“Aku bareng teman-temanku,” jawabku.

Kutangkap raut wajah kurang nyaman, ketika ia kuperkenalkan dengan 2 temanku, yang sangat aktif menggoda kami. Heran, mereka tidak suka dengan hubungan ‘aneh’ yang kumiliki dengan Jonathan. Tapi, mereka tampak senang menggoda kami. Jonathan tampak canggung. Entah bagaimana, secara refleks aku berusaha tak jauh-jauh darinya, hanya untuk memberikan sedikit suasana nyaman dan ‘melindungi’.

“Young, dia manis juga. Tapi, agak pendiam, ya?” bisik Sisi.

“Soalnya, kamu rese, sih!” jawabku.

Entah kenapa, Sisi yakin bahwa aku memiliki perasaan khusus terhadap anak SMA itu. Seriuskah?

Malam Jumat ini aku duduk seperti biasa di peron stasiun kereta. Sesuai perjanjian, aku dan Jonathan akan bertemu di Stasiun Kalibata, agar aku tak perlu susah-susah pergi ke Stasiun Cawang. Baru 10 menit menunggu, aku melihat Sisi berjalan melewatiku, lalu memanggil namaku. Ia lalu mengajakku duduk bersama dengan teman-teman keretanya.

Aku menolak, seperti biasa. Karena, aku tak terlalu menyukai teman-teman baru Sisi. Untuk sedikit menghargai Sisi, aku hanya pindah beberapa meter, namun masih agak jauh dari Sisi dan teman-temannya. Aku sempat bercerita bahwa aku sudah menghentikan pertemuanku dengan Jonathan. Hubungan apa pun yang kumiliki dengannya, kurasa itu tidak sehat. Aku sendiri tahu itu. Tapi, jujur saja, aku masih ingin sedikit menikmatinya.

Lima menit kemudian, dari arah utara datang kereta menuju Bogor. Tampak penuh, tapi tidak sampai bersesakan. Aku melihat sosok Jonathan di dalam kereta itu. Ia juga melihatku, lalu mulai melangkahkan kaki keluar dari kereta. Tapi, sebelum ia sempat keluar, aku segera mendorongnya untuk kembali masuk ke dalam kereta.

Sisi berteriak memanggil namaku. Aku hanya melambaikan tangan, tanda ingin pergi terlebih dahulu. Tapi, aku memasang wajah kesal. Karena, aku terganggu jika Sisi sering meneriakkan namaku. Mengapa tak sekalian saja ia menyebutkan nama lengkapku?

“Kenapa? Bukannya kita mau naik kereta yang berikutnya saja?” kata Jonathan, yang tampak bingung.

“Aku nggak mau kamu berlama-lama di stasiun tadi. Ada teman-teman baru Sisi di sana.”

“Lalu, apa hubungannya dengan aku?”

“Yang wanita, suka merokok. Yang pria, terkesan sok jago. Ada juga yang sudah berkeluarga, tapi berselingkuh dengan teman kereta. Bukan lingkungan pergaulan yang bagus untuk kamu,” kataku.

Jonathan mengangguk perlahan. Lalu, ia mulai memerhatikan pakaianku hari ini.

“Kamu tampak cantik kalau pakai rok. Jadi tampak seperti wanita sejati,” kata Jonathan, bercanda.

Dalam beberapa menit kami sudah bercanda dan bicara banyak hal tidak penting. Entah mengapa, aku merasakan kesenangan lain, jika berbicara dengannya. Mungkin, karena aku merasa tak terbebani sama sekali. Tak seserius ketika dulu aku bicara dengan pria-pria teman kuliah, yang hampir seluruhnya berpikiran idealis. Bahkan, Mira sudah tertular oleh mereka. Ia selalu membicarakan keberhasilan teman-teman kami yang sudah jadi orang penting di berbagai perusahaan asing dan mengambil program master di luar negeri. Menjemukan jika mendengarkan keseriusan beberapa rekan kerja yang sering membicarakan pihak lain, tentang suami dan anak-anak mereka, atau mengenai PHK yang sedang gencar dilakukan perusahaan.

Jonathan hanya seorang pria muda dengan cara berpikir yang sangat sederhana. Ia tidak begitu suka belajar, lebih suka makan, dan bermain basket. Segalanya dilakukan tanpa target hidup yang membebani.
Ia tak memberi tahuku nama keluarganya, alamat, nomor telepon rumah, masa lalu, sejarah keluarga, keinginan, dan cita-citanya. Ia hanya bercerita bahwa ia adalah anak bungsu, yang akrab dengan sepupu perempuan yang masih berusia 8 tahun, dan memiliki keinginan jangka pendek untuk melanjutkan sekolah desain grafis di Bandung, mengikuti jejak kakak perempuannya.

Aku pun tak memberi tahu nama keluargaku. Bahkan, aku tak pernah memberi tahu nama asliku, kenangan akan masa SMA yang kusesali, pendidikan di tingkat univeristas, tak pernah membeberkan apa-apa yang terjadi dalam perusahaanku, keinginan melanjutkan S-2, atau yang lebih ekstrem lagi, keinginanku untuk menikah.

Kami hanya dua orang yang bertemu dalam kereta dan saling membicarakan hal-hal konyol yang sangat menghibur. Aku membahas kejadian-kejadian lucu yang kutemui saat harus menunggu di Stasiun Cawang. Ia hanya tertawa tergelak tanpa memedulikan orang-orang sekitar, yang sejak tadi memerhatikan kami. Kalau sekarang masih ada dalam masa kerusuhan tahun 1998, mungkin kami sudah dibakar sejak tadi. Itulah yang kukatakan pada Jonathan, dan ia kembali terbahak-bahak sesuka hati. Tak menjaga image, tak takut kuprotes. Hanya tertawa.

“Jadi, Young, hari Minggu kita bertemu di depan toko Matahari depan stasiun, ya. Sekitar pukul 11? Jangan terlalu siang, nanti macet.”

“Kenapa pukul 11? Tidak terlalu siang? Pukul 9 saja.”

“Pukul 11 saja, ya….”

“Mau ke gereja dulu, ya?”

“Ya,” Jonathan menjawab dengan suara pelan dan wajah serius.

“Tumben! Katanya, kamu ke gereja hanya setahun sekali. Hanya saat Natal. Ada apa, nih?” aku bertanya, sangat penasaran akan kebiasaan barunya.

“Tidak ada apa-apa,” kata Jonathan, enggan menjawab pertanyaanku.

“Okay, kita bertemu pukul 11, lalu ke toko buku, lalu ke bioskop. Tapi, aku benar-benar ingin tahu tentang perubahan yang terjadi pada seseorang. Apa, sih, yang membuat kamu berubah?”

Ia diam saja.

“Hei, aku bertanya, apa yang membuatmu berubah?”

“Kamu,” jawab Jonathan, akhirnya.

“Aku? Apa yang sudah aku lakukan?”

“Memang tidak ada. Tapi, lihat saja, aku punya banyak teman muslim, tapi jarang ada yang salat.”

“Lalu?”

“Aku melihat kamu sangat beriman. Tak pernah lupa salat.”

Aku hanya tersenyum. Kalau aku dan beberapa teman wanita seusiaku berdiri berjejer dan ada satu orang yang menilai kadar keimanan kami, pasti aku berada di urutan paling akhir. Kini, tiba-tiba saja, ada seseorang, yang tidak tahu apa-apa tentang diriku, secara tak langsung mengatakan bahwa aku memberi inspirasi untuk bertobat.

Aku tak pernah menduga, dari dalam diriku ada sedikit kekuatan untuk mengubah seseorang. Aku merasa terharu, setidaknya untuk sementara, sampai waktu 2 minggu akan berakhir esok hari. Ya, esok Jonathan sudah tak akan lagi bangun pukul 5 pagi untuk pergi ke Jakarta dengan kereta pagi.

Hari ini adalah hari terakhir aku dan Jonathan bisa bertemu. Entah kapan lagi kami akan bertemu. Tapi, jika menuruti keinginan Jonathan, ia ingin kami bertemu seminggu sekali. Aku hanya mengiyakan ajakannya. Tapi, aku belum mempertimbangkannya matang-matang. Mungkin, setiap hari aku akan menjawab SMS-nya, yang melaporkan segala kegiatan yang ia lakukan, termasuk masalah tidur siang yang tak nyenyak. Tapi, untuk tampak berduaan di depan umum, rasanya itu tidak mungkin.

“Itu Deni. Dia kakak kelas, yang jauh berada di atasku. Tapi, mungkin, dia tetap lebih muda daripada kamu. Kamu mau berkenalan dengannya?” bisik Jonathan sekilas, lalu menyapa pria yang dipanggilnya Deni itu.

Aku sungguh tak mengerti. Oke, dia berusaha memperkenalkan aku pada seniornya, yang berwajah manis dan sedang duduk tepat di hadapan kami. Apakah Jonathan tidak menyukaiku? Tapi, tak apa. Aku pun tak berharap banyak darinya.

Jonathan dan seniornya itu kemudian bercakap-cakap. Dengan wajah terus memerhatikan Deni, Jonathan terus menyikut lenganku, ingin tahu apakah aku mau berkenalan dengannya. Sungguh tak kumengerti, apakah aku harus menawarkan diri untuk berkenalan dengan Deni? Aku hanya diam dan berusaha memejamkan mata karena terlalu lelah menatap layar komputer seharian penuh.

Kereta telah memasuki Stasiun Bogor. Aku merasa heran karena Deni pergi begitu saja meninggalkan kami, tanpa permisi atau tersenyum padaku. Tidak sopan? Atau apakah ia begitu pemalu?

“Kenapa dia pergi begitu saja? Tidak bareng kamu?” aku masih bingung.

“Jalan ke rumahnya tidak searah. Kenapa? Tadi kalian akan kuperkenalkan, tapi kamu diam saja,” kata Jonathan.

“Bukan begitu. Kok, dia pergi tanpa permisi?” jawabku, santai.

Jonathan hanya mengangkat bahu.

Lalu, kami turun dari kereta dan berjalan menikmati malam dengan perut kosong. Aku berniat makan bakmi di tempat terdekat, di mana pun itu.

“Waktu kamu tidur, dia tadi sempat menanyakan kamu,” kata Jonathan.

“Lalu, kenapa kamu tidak mengenalkan dia padaku?” tanyaku, bercanda.

Aku mengerti bahwa ia tak bisa diandalkan sebagai makcomblang, tidak di usia seperti itu. Tak apalah. Toh, aku tak pernah serius menanggapi permasalahan tadi.


Penulis: Marisa Agustina



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?