Fiction
Masa yang Hilang [2]

27 May 2012

<< cerita sebelumnya

Aku ingin sekali dapat kembali ke masa SMA untuk mengulangi sejarah dan memperbaiki apa yang menjadi penyesalanku saat itu. Teman-teman yang setia dan tulus, tanpa melihat siapa dan bagaimana sikapku. Teman-teman pria yang berpotensi menyukaiku, andai aku mau sedikit saja menunjukkan sikap ramah dan murah senyum. Aku tiba-tiba berdoa agar Tuhan mempertemukan aku dengan orang jenius, yang bisa menemukan time machine untuk membawaku ke masa lalu. Tapi, untuk apa? Agar aku bisa memperbaiki kesalahan? Tidak menyesal lagi? Apa yang bisa menjamin aku tak menyesal dan membuat kesalahan lagi?

Ah, mungkin saja, ini hanya masalah rasa sepi, yang baru kuhadapi untuk pertama kali.

Aku bosan pada rutinitas. Tiba di kantor pukul 07.45, lalu naik lift ke lantai 9 menuju ruang kerja, menyalakan komputer, mengambil gelas di pantry, mulai bekerja pukul 08.00, dan pulang pukul 17.00 atau lebih. Tapi, aku sudah cukup terbiasa dengan rasa sepi ini, aku sudah lama bersahabat dengannya lebih dari belasan tahun.

Pada akhirnya aku menyadari, bahwa sejak masa sekolah pun sebenarnya aku memang selalu sendiri dan melakukan segalanya sendiri. Berangkat dan pulang sekolah sendiri, jalan-jalan ke toko buku pada hari Minggu seorang diri, dan berkeinginan untuk tidak dekat dengan seseorang saja pada awal masa kuliah, walaupun akhirnya harus menjadi bagian dari geng mahasiswi pintar.

Dalam masa emosi paling stabil dan nyaman dengan diri sendiri ini, aku berusaha bersikap tenang saat usiaku memasuki kepala 3 tanpa karier yang jelas dan tanpa seorang kekasih yang bersedia melamarku dalam waktu dekat. Sebenarnya, hatiku cukup gundah. Tapi, kuputuskan untuk berdoa dan menjalani hidup apa adanya dulu dengan santai.

Entah mengapa, hari ini aku duduk di gerbong 7, gerbong kedua dari selatan, bukan gerbong 8 seperti biasa. Mungkin, aku hanya ingin ganti suasana. Tapi, aku yakin, tak akan banyak suasana yang berubah dengan hanya pindah satu gerbong saja.

Seperti biasa, aku membuka buku tebal yang siap kubaca, kali ini berjudul Dante Club karya Matthew Pearl. Aku memang penggemar cerita menegangkan. Baru membaca 2 halaman, aku merasa seseorang melewati bangku yang kududuki. Lewat lirikan mataku, aku tahu pria itu berdiri menyandar di samping kiri bangku yang kududuki. Kalau tak salah lirik, pria ini cukup tinggi. Tapi, ia kubiarkan saja, tanpa kutatap langsung. Karena, aku tak pernah punya keberanian untuk menatap langsung ke wajah seorang pria.

Bapak bertubuh besar yang tertidur di bangku depan tiba-tiba mengeluarkan suara yang mengejutkan.
Aku langsung melotot terkejut. Sementara orang-orang di depan dan sekeliling kami tertawa mendengar suara bapak itu.

“Pak, tidur, mah, di rumah. Jangan di sini,” kata seorang bapak lainnya.

“Capek amat, tuh, kayaknya.”

Dan, masih banyak komentar lucu untuk bapak yang masih tertidur dengan sangat pulas itu. Tidak sampai semenit aku kembali membaca, bapak itu kembali mengeluarkan suara tak enak. Aku akhirnya hanya bisa tertawa. Namun, secara tak sadar aku bertemu pandang dengan pria yang sedari tadi berdiri bersandar di dekatku. Matanya kecil dan sipit, kulitnya putih, bibirnya kecil dan merah, tubuhnya tinggi. Ia sedang menatapku dengan sangat tajam. Sekali lagi aku menatapnya, kali ini tak kusia-siakan kesempatan untuk melempar senyum yang susah sekali kuberikan pada semua orang. Ia hanya memberikan senyum tipis sebagai balasan.

Karena merasa kesal, aku kembali membaca buku. Sebelum menenggelamkan diri pada buku, kuputuskan untuk mengusir rasa penasaran pada pria tinggi manis tadi dengan kembali memandangnya. Kali ini aku memerhatikan detail pakaiannya. Ia mengenakan sweater abu-abu. Ada kerah putih tersembul dari balik sweater-nya. Pasti ia mengenakan kemeja putih. Tas ransel yang penuh, celana panjang abu-abu, dan sepatu hitam yang tersemir hitam dan sangat mengilap.

Tapi, tunggu... aku mengarahkan pandangan ke kakinya. Celana abu-abu? Ha? Dia masih SMA? Aku mencoba menarik perhatian seorang murid SMA? Tertarik pada anak SMA? Tidak mungkin! Aku merasa kesal sendiri. Kali ini aku benar-benar membaca buku itu tanpa menoleh ke arah mana pun, apalagi kepada anak SMA berpostur dewasa, yang hampir membuatku tertarik lebih jauh. Gila!

Sambil menunggu di stasiun, aku mengingat perjalanan hidup teman-temanku melalui mailing list. Beberapa teman sudah mengakhiri masa lajang, ada yang menikah dengan teman satu angkatan, dengan senior, adik kelas, rekan sekantor mereka, dan entah dengan siapa lagi. Aku tak merasa sedih, juga tak merasa ikut berbahagia. Bagiku itu hanya sebuah bacaan dengan kata ’undangan’ atau ’invitation’ besar-besar.

Aku tidak merasa sudah mati rasa, juga tak merasa iri, dan tak merasa ingin cepat menyusul. Perhatianku hanya teralih pada hal lain yang lebih penting, yaitu karier. Entah sampai kapan aku akan bertahan. Hanya, memang ada sedikit rasa pedih, yang sering kusangkal dan kubunuh tanpa pernah bisa mati. Aku masih berharap, setidaknya memiliki beberapa teman pria yang kemungkinan salah satunya dapat menjadi kekasih atau teman hidupku.

Aku mengambil napas panjang. Pasrah dengan segala hal yang akan datang padaku.

Lagi-lagi petugas kereta api belum mengumumkan kereta yang akan berangkat pagi itu. Tiba-tiba saja, 5 menit sebelum kebe­rangkatan, diumumkan bahwa keretaku berada di jalur 5. Jauh dari jalur 7, tempatku menunggu selama beberapa menit. Sebenarnya, tak begitu jauh. Hanya, aku harus menuruni tangga yang sangat memperlambat gerak dan langkah. Aku khawatir, tak akan mendapat bangku kosong. Lebih sial lagi jika kereta pergi meninggalkan aku karena gerakanku tak segesit dulu.

“Glek!” Aku menelan ludah ketika melihat anak SMA yang sama lagi hari itu. Ternyata, ia memiliki jadwal keberangkatan yang sama denganku. Namun, rupanya, ia lebih suka menghuni gerbong 7 itu. Dan, kali ini, aku kembali mendapat bangku di gerbong 7 itu. Bedanya, kali ini anak SMA itu duduk di sebelahku. Tak bicara sama sekali, sampai akhirnya kereta masuk Stasiun Bojong Gede.

“Sini duduk, Mbak. Lumayan,” aku menawarkan sedikit ruang pada seorang wanita yang dari wajah dan penampilannya sedikit lebih tua dariku.

“Terima kasih, Mbak,” jawabnya. Lalu, ia sedikit bicara basa-basi tentang penuhnya kereta dengan manusia, sulitnya ia tadi masuk, bahkan sulit untuk bernapas, dan akhirnya ia bingung dengan keberadaan anak SMA yang duduk di samping kiriku.

“Mas, sekolah di mana? Kok, naik kereta? Sekolahnya jauh?” tanya wanita tadi pada anak SMA itu.

Aku ikut menatap wajahnya, penasaran dengan jawabannya.

“Oh, saya bukan sekolah. Tapi, sedang kerja praktik,” jawab anak SMA itu, sambil memperlihatkan wajah ramah.

“Oh...,” aku dan mbak yang duduk di samping kananku menjawab bersamaan.

“SMA kejuruan, ya? Berapa lama kerja praktiknya?” tanya mbak tadi lagi.

“Empat bulan.”

“Sejak kapan?” tanyaku, ikut bertanya karena penasaran.

“Dari Juni. Jadi, tinggal 2 minggu lagi,” jawabnya lagi. Kali ini kami saling bertemu pandang dan tersenyum.

“Ambil kejuruan apa?”

“Desain grafis.”

”Praktik di mana?”

”Daerah Slipi.”

Jawaban itu adalah jawaban terakhir sebelum aku akhirnya berdiri dan turun di stasiun tujuan. Sebelum benar-benar turun, aku menoleh ke arah tempatku duduk tadi tanpa sengaja. Ternyata, aku malah bertemu pandang dengan anak SMA tadi, yang kini ikut berdiri. Mungkin, ia bersiap untuk turun di stasiun berikutnya.

Peron yang sama, angkutan umum yang sama, pekerjaan yang sama, bahkan satpam yang selalu menyapaku dengan kata ’Bu’ yang sama. Benar-benar membuatku merasa kesal. Sama kesalnya ketika mengenang peristiwa 4 bulan silam. Kenangan akan seorang pria berwajah manis, usia sekitar 30-an, memiliki karier yang hebat di sebuah bank terkenal di tanah air, bukan yang terbaik, tapi cukup terkenal. Ia bahkan mengatakan pernah kuliah di jurusan yang sama denganku. Hanya, bukan dari universitas yang sama. Beberapa kali kami ‘kebetulan’ bisa pulang bersama. Bahkan, ia pernah dengan agak sedikit memaksa ingin mentraktirku makan.

Entahlah, mungkin aku begitu terlihat naif dan diam, hingga ia begitu terkejut, ketika di tengah pembicaraan aku menanyakan berapa jumlah anak yang ia miliki. Ia terdiam dan menjawab dengan suara lemah, ”Satu.”

Masa aku begitu bodoh sampai tidak bisa sedikit pun mengana­lisis bahwa pria berusia 30-an, berpendidikan baik, berwajah manis, dan memiliki karier bagus, tidak dilirik oleh satu wanita pun. Apalagi, menurut pengakuannya, ia orang Bandung, bekerja di Jakarta, tapi tinggal di Bogor. Dalam beberapa detik saja aku langsung bertanya, mengapa ia tidak kos, mengontrak, atau membeli rumah di Jakarta saja. Pasti hanya ada satu alasannya: ia bukan lagi bujangan yang bisa sesuka hati tinggal seorang diri di Jakarta dan menikmati hidup. Ia adalah pria berkeluarga, yang istrinya mungkin adalah orang Bogor, lalu mereka membeli rumah di Bogor.

Dan, aku benar! Pemikiran yang bagus, Young! Aku memuji diriku sendiri dalam hati.

Anehnya, ia tidak merasa malu sama sekali untuk melakukan aksi-aksi rayuannya yang kampungan. Bahkan, makin gencar. Mungkin, ia merasa sudah telanjur basah. Tapi, bukankah aku baru saja berpura-pura mengaku punya kekasih atau bahkan lebih gawat lagi, calon suami, yang sedang bertugas di Makassar?


Penulis: Marisa Agustina


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?