Fiction
Masa yang Hilang [1]

27 May 2012

Aku harus mengejar kereta ekonomi pukul 05.44, yang sering terlambat. Kereta yang sama, gerbong yang sama, penumpang yang selalu sama, serta obrolan dan lirikan mereka yang juga sama. Dari semua yang kuperhatikan, di stasiun mana pun, aku tak pernah menemukan satu pun pria muda seusiaku yang cukup menarik. Kalaupun ada, pastinya ada seorang wanita muda di samping pria itu, yang menatap tajam ke arahku.

Aku tertawa dalam hati. Ternyata, wajahku bisa diperhitungkan untuk membuat seorang wanita kebakaran jenggot atau cukup gugup sampai harus makin mendekap erat lengan sang kekasih, yang sejak tadi sesekali melirikku.
Kadangkala aku merasa kesal, bercampur iba, melihat beberapa pengemis atau para pedagang yang hilir-mudik di gerbong yang tak terlalu luas. Segala kebo­sananku ini hanya membawaku untuk terus menatap buku setebal 400 halaman, yang sengaja kubawa untuk meng­habiskan waktu 1 jam 10 menit, waktu perjalan­anku dari Bogor menuju tempat kerja di Jakarta.

Kalau semua buku itu telah habis kubaca dan aku belum membeli buku lagi, aku biasanya membeli ko­ran seharga Rp1.500. Semuanya kulakukan karena aku memang suka dan ingin membaca, juga untuk meng­usir kepenatan karena harus meladeni pertanyaan-pertanyaan basa-basi dari pria-pria anonim di kereta atau di stasiun.
Lagi pula, secara tak langsung, kegemaranku membaca membantu melenyapkan kekosongan dalam diriku. Mungkin, kekosongan itu terjadi karena kesendirian. Kesendirian karena selalu ‘berdiri’ seorang diri, tanpa satu orang pria pun pernah menjadi pelindung atau sekadar memberi inspirasi. Berpikir, menemui masalah, mendefinisikan masalah itu, kemudian mencari jalan keluar dari sebuah lorong gelap. Tanpa teman untuk berdiskusi, tanpa kekasih yang bisa dijadikan sandaran ketika aku merasa lelah.

Aku mengerti jika teman-temanku terlalu sibuk untuk menemui aku. Karena, mereka disibukkan oleh kehidupan cinta dan karier. Namun, di mana kekasihku? Kapan Tuhan akan mendatangkan seorang pria yang kelak akan menjadi teman hidupku? Atau, paling tidak, hanya untuk saat ini? Berapa lama lagi aku harus menahan hati untuk bersabar? Karena, aku bukan manusia yang bersedia memaksa diri untuk menyerahkan hatiku pada seseorang, hanya demi sebuah status. Tapi, Tuhan, tanpa bermaksud kurang ajar, kapankah tanda-tanda kedatangan pria itu akan muncul?

Masih dalam lamunanku di peron Stasiun Bogor itu, kereta yang kutunggu belum juga datang. Sudah pukul 06.00. Belum juga ada pengumuman, kereta tersebut akan berada di jalur berapa. Biasanya, kereta menunggu di jalur 7. Namun, tak jarang berpindah ke jalur 8 atau 6. Membingungkan.

Ditambah lagi, saat ini aku seperti kehilangan motivasi bekerja. Reward dari kantor tidak seberapa. Lingkungannya cukup menye­nangkan. Namun, tak dapat memberi seorang rekan yang memiliki cara berpikir dan visi yang sama. Aku tak melihat karier dalam pekerjaanku ini. Aku juga ingin berhenti menunggu kereta di stasiun, berdesak-desakan dengan penumpang lain. Lihat saja, pukul 06.00 saja aku masih benar-benar mengantuk. Jauh berbeda dari situasi 6 tahun lalu, saat aku baru pertama kali bekerja. Pukul 04.00 aku pasti sudah bangun dengan antusias.

Sambil menanti, aku melirik ke beberapa arah. Aku menemukan sesosok wajah teman SMA-ku dulu. Aku tahu namanya, tapi tak terlalu mengenalnya. Ah, SMA… masa-masa ketika seharusnya aku menikmati usia remaja. Tapi, yang kulakukan hanyalah belajar dan menikmati status menjadi pemburu nilai paling tinggi. Aku bukan murid teladan, tidak pernah ikut olimpiade matematika atau debat bahasa Inggris, tidak aktif dalam OSIS dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Satu-satunya kegiatan yang ingin kumasuki adalah kegiatan di luar kelas untuk menambah ilmu matematika, fisika, dan kimia.

Tapi, tak sampai setahun aku mundur dari kegiatan itu. Karena, lama-kelamaan, kegiatan menjelma menjadi sebuah komunitas religius. Setiap pembicaraan mereka selalu membuatku mengantuk. Aku tak dapat menikmati diriku, yang merasa terkekang untuk melakukan apa yang kumau, bahkan hanya untuk bicara dan bercanda sesuai keinginanku. Aku hanya memiliki keinginan sederhana, mendapat nilai sempurna, termasuk dalam pelajaran-pelajaran ’mematikan’, seperti ilmu pasti yang tadi kusebutkan.

Begitu terfokusnya aku dulu, sampai tak berpikir untuk melihat sisi lain yang bisa kunikmati dari dunia remaja. Aku hanya bersekolah, lalu pulang, tidur, lalu belajar dengan metode SKS (sistem kebut semalam). Malam Minggu tak ada satu pria pun yang meng­hubungi, apalagi mengajak kencan. Lalu, aku mendapat ranking 1, yang kudapat karena aku tahu kelemahan para saingan.

Satu-satunya pria yang menyukaiku hanyalah seorang pria yang terkenal karena kebaikannya, yang justru membuatnya jadi bulan-bulanan. Ia memiliki sikap tubuh yang canggung, penggugup, jarang menyapaku, namun sering tersenyum dengan cara kekanak-kanakan. Rumahnya dekat dari lingkungan sekolah. Karena itu, meski sering diejek, ia tak berkeberatan jika rumahnya dijadikan markas bermain oleh siswa-siswa kelasku. Tentu saja, perasaan sederhananya padaku berkembang menjadi sebuah gosip yang menyebar cepat. Bukan hanya di kelas kami, tapi sampai di kelas lain dan telinga para guru.

Telingaku cukup panas setiap kali wali kelas, guru sejarah, dan guru ekonomi menggodaku. Padahal, berdasarkan konsep pangeran tampan berkuda putih ala dongeng Cinderella, tentu saja aku berharap ada murid pria yang berwajah lumayan enak dipandang, pintar, baik hati, menerima keadaanku apa adanya, datang menyatakan perasaannya dan memintaku untuk menjadi kekasih pertamanya.

Namun, kenyataan hanyalah kenyataan. Yang jelas, berita tentang murid penggugup dan diriku ini jadi menghalangi usahaku untuk tersenyum pada pria tampan populer di luar kelas. Aku makin tak suka menyumbangkan senyum dan makin kesal menghadapi urus­an percintaan, yang tak menunjukkan titik terang. Yah… aku menyerah! Mungkin, hanya wanita cantik, ayu, dan punya nilai rapor paling rendah saja, yang dapat memiliki pria idaman banyak wanita di sekolah. Sementara aku, pria mana yang mau melirikku? Kuputuskan, seperti ketika SMP dulu, untuk menikmati dunia yang bisa memberiku kebanggaan, kepercayaan diri, dan menyadarkanku, betapa bernilai dan berharganya diriku ini. Ya, kuputuskan untuk hanya jadi murid yang berorientasi pada pelajaran. Lebih tepatnya adalah pemburu nilai, karena aku tak begitu suka belajar.

Telah begitu lama kutinggalkan masa-masa itu. Dulu, aku merasa keadaanku baik-baik saja. Murid normal dengan kehidupan normal. Namun, benarkah demikian?

Pukul 06.12, terdengar pengumuman kereta akan datang 5 menit lagi. Akibatnya, ketika kereta itu datang, para calon penumpang berlarian untuk memperebutkan bangku kosong. Sungguh kondisi yang tidak enak. Bersyukur, aku mendapatkan bangku kosong. Walaupun bukan di posisi yang cukup nyaman, aku cukup menikmatinya.
Dalam beberapa menit, kereta akhirnya berangkat. Mataku kemudian menangkap sepasang pria dan wanita, penumpang kereta yang beberapa kali kutemui di gerbong yang sama. Beberapa kali aku berusaha untuk bisa kenal dan ikut berbincang dengan mereka. Namun, tampaknya, wanita itu tak begitu suka dengan kehadiranku. That’s okay. Aku tahu benar, pria yang kira-kira setinggi 180 cm dan wanita cerewet (yang terlalu mengumbar perhatiannya pada sang pria) bukanlah sepasang kekasih. Dari pembicaraan mereka, aku jadi tahu beberapa hal tentang identitas keduanya. Tempat tinggal, jumlah saudara, suku, dan juga tempat kuliah mereka dulu.

Kuliah. Ya, aku pernah memiliki harapan akan masa kuliah. Masa ketika seluruh idealisme, keinginan egosentris, sikap sok pintar, selalu ingin beradu argumen dengan siapa pun yang kutemui, mengalami euphoria akan kebebasan yang akhirnya kumiliki (entah itu kebebasan untuk mengontrol dan mengatur keuangan, waktu, atau teman), semuanya membuncah di saat yang bersamaan. Memberikan kepercayaan yang sangat besar dengan manusia bernama teman, yang akhirnya tak pernah hadir dalam segala kesulitan, mengkhianati rahasia yang dimiliki bersama, dan saling bersaing dengan sikap individualistis yang memuakkan. Sederhana, tapi itulah kehidupan kampus yang membuatku makin merasa sendiri.

Mungkin, kondisi ini mengajarkanku bagaimana kerasnya kehidupan nyata. Di masa itu pula, untuk pertama kalinya aku akhirnya menyukai seorang pria, walau kemudian perasaan itu hilang dengan sendirinya, entah mengapa. Mungkin, aku tak bisa menyukai seseorang secara sederhana lagi. Mungkin, aku sudah tak lagi percaya dengan konsep pangeran tampan berkuda putih yang sempurna. Tapi, aku benar-benar tak tahu, pria seperti apa yang bisa membuatku jatuh hati.

Suatu ketika, setelah pulang kuliah, aku iseng membuka e-mail, yang sudah cukup lama tak kubuka. Kuteliti e-mail-e-mail yang masuk. Tanpa kuduga, datang e-mail dari teman SMA yang penggugup, yang pernah suka padaku. Aku tertegun. Bukan karena terharu pada tulisannya, juga bukan karena aku akhirnya bisa merindukannya. Aku hanya merasa menyesal karena pernah menyia-nyiakan masa SMA. Aku menyesal pernah meninggalkan masa SMA tanpa sebuah perpisahan yang berkesan dan pergi dengan angkuh karena harapan tinggiku di kampus terbaik di negeri ini.


Penulis: Marisa Agustina



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?