Fiction
Larasati [4]

12 Mar 2012

<< Cerita Sebelumnya

Larasati tercenung mendengar kata-kata itu. Baskoro tertimpa musibah? Dan, ia harus setia mendampingi pria itu mendekam di penjara selama 17 tahun? Bukankah sebenarnya dia dan Galuh yang tertimpa musibah? Menjalani hidup dalam kecurigaan publik dan kejaran wartawan. Lagi pula, semua bukti di tempat kejadian perkara mengarah ke Baskoro sebagai pelakunya.

Dugaan polisi akan motif pemerasan dalam pembunuhan ini pun tidak meleset. Wanita yang terbunuh itu kekasih gelap Baskoro. Ia mengancam akan menyebarkan gambar-gambar porno mereka, jika Baskoro tidak bersedia memberikan uang yang besar. Baskoro menghabisi wanita itu. Dua minggu lalu Baskoro tertangkap dan mengakui semua detail pembunuhan yang ia lakukan.

“Laras, kau mendengar kata-kata Ibu, ‘kan? Kau akan menunggu hingga Baskoro bebas, bukan?”

Larasati terbangun dari lamunannya. Menghela napas dalam, sambil memandang lukisan air terjun di dinding ruang tengah. “Saat ini, yang ingin dalem pikirkan hanya Galuh, Bu.”

“Tetapi, Baskoro itu ayahnya Galuh.”

“Tentu saja Baskoro ayahnya Galuh. Tetapi, Galuh lebih penting untuk dalem perhatikan.”

“Wanita di Hotel Melrose yang memeras Baskoro itu memang layak mati. Suamimu tidak bersalah, meskipun dipenjara tujuh belas tahun. Dan, apa yang dilakukan bersama wanita itu hanya kekhilafan. Biasalah, pria.”

Kekhilafan? Larasati memejamkan mata. Betapa gampang orang mengatakan perbuatan salah itu kekhilafan? Bagiku, jika orang melakukan kesalahan sekali itu wajar, mungkin dia benar-benar khilaf. Melakukan kesalahan dua kali berarti dia ceroboh, dan jika sampai melakukan kesalahan ketiga kalinya, dia telah menjadi permainan nafsu.

Sementara Baskoro sudah berkali-kali melakukan perbuatan itu. Bersyukur saja aku tidak tertular AIDS sampai hari ini. Apakah Ibu berpikir bahwa aku anak kecil yang tidak tahu apa-apa tentang kelakuan menjijikkan Baskoro di luar rumah?

“Aku tahu perasaanmu, Laras. Tetapi, dia adalah suamimu. Pria yang akan selalu menjadi panutanmu ke surga atau neraka. ”

“Terima kasih, Bu.”

Hanya itu yang ducapkan Larasati sebelum menutup gagang telepon. Ada rasa nyeri menyerang sisi dadanya. Tiba-tiba Galuh datang menghampirinya, menggoyang-goyangkan tangannya.

“Ma, tadi Galuh lihat Papa di TV. Papa hebat, ya, bisa masuk TV? Tapi, kenapa sekarang Papa pakai seragam biru-biru?”

Larasati mengangkat tubuh anaknya ke pangkuannya. “Galuh lebih hebat! Nanti kalau sudah besar bakal masuk televisi dengan warna baju yang Galuh sukai.”

“Benar, Ma?”

“Benar!” Larasati mengangkat tangannya membentuk tanda victori. “Asal Galuh pintar dan pemberani.”

“Dan Mama akan melihat Galuh di TV?”

“Tentu, Sayang….”

“Mama tidak ingin masuk TV juga? Memangnya cita-cita Mama, apa, sih?”

“Hmm….” Larasati pura-pura berpikir. “Cita-cita Mama ingin selalu dekat dengan Galuh dan jadi guru.”

“He…he…he… kalau jadi guru, Mama tidak boleh galak, ya?”

Larasati mencium lembut pipi anaknya.

Menjadi guru. Ada yang menggelitik hatinya setiap ingat obrolannya dengan Galuh. Larasati seperti terbangun dari mimpi panjang, saat mendengar kata-kata itu terucap dari bibirnya sendiri.

Sewaktu kecil, Larasati selalu menjawab ingin menjadi guru setiap orang-orang bertanya. Ia suka melihat gurunya yang cantik, baik, dan sederhana. Melihatnya saja, Larasati merasa nyaman. Maka, cita-cita sederhana itu tersimpan, hingga Larasati dewasa dan tahu bahwa ia tak berhak punya cita-cita. Karena, jalan hidupnya sudah dikehendaki orang tuanya.

Seharusnya sekarang sudah berubah. Bukankah waktu bisa menyulap segala sesuatu dalam sekejap? Tetapi, kenapa aku masih saja berhenti di sini? Tidak menciptakan kebahagiaan-kebahagiaanku sendiri? Sampai kapan aku hanya menunggu? Bagaimana kalau tiba-tiba waktu itu habis dan aku belum memulai?

Larasati termenung dalam kamar, menatapi bayangan dirinya di cermin rias. Galuh sudah terlelap. Larasati menyibakkan rambutnya dan mengerjapkan matanya. Ia masih cantik seperti dulu. Tetapi, coba lihat sinar mata itu! Tak ada gairah atau semangat menjalani kehidupan. Semuanya berjalan hambar, tanpa entakan-entakan kehidupan yang penuh warna.

Aku harus melakukan sesuatu sebelum terlambat.

Larasati meraih ponsel di meja rias. Memeriksa sebuah nomor, kemudian menekan-nekan tombol ponsel. Wajah Andris yang sedang tersenyum melintas. Dada Larasati berdebar. Seketika ia meletakkan ponselnya kembali. Kenapa aku harus menghubungi dia? Bukankah banyak teman lain yang bisa kumintai bantuan? Larasati mendengus dan kembali menekan sebuah nomor di ponselnya.

“Halo, Santi! Ini Laras,” kata Larasati, cepat.

“Ya, ya, kabarku baik-baik saja. Aku perlu bantuanmu….”

Terdiam sejenak, Larasati mencoba meyakinkan dirinya bahwa apa yang telah dilakukannya ini bukanlah sebuah dosa atau pengkhianatan.

“Bagaimana kalau makan siang di Kafe Rendezvous?”

Sambungan terputus. Larasati mengembuskan napas panjang.

Mobil Larasati berhenti di depan Kafe Rendezvous pukul 12 kurang seperempat. Larasati sengaja datang lebih awal dan meminta sopirnya tidak menunggu. Ia ingin melakukan beberapa hal tanpa orang lain.

Pelayan kafe mempersilakan Larasati memilih meja yang diinginkannya. Larasati mengedarkan pandang dan matanya tertumbuk pada meja yang bersisian dengan air terjun buatan. Dari tempat itu orang-orang yang memasuki kafe terlihat jelas. Larasati melangkah ke sana. Kafe ini masih seperti dulu. Tradisional dan berkesan natural. Menu makanan yang disajikannya pun makanan dari berbagai daerah di Indonesia. Seperti namanya, kafe ini sanggup menciptakan image tempat bertemu yang mengesankan. Dan Larasati menyukai semua yang berbau tradisional.

“Nasi gudeg dua!” sebuah suara mengagetkan Larasati dari arah belakang.

Larasati memutar tubuhnya. Santi tersenyum lebar. Sahabatnya semasa kuliah di New York itu kelihatan cantik dan bahagia. Dari seluruh sahabatnya, Santi adalah yang terdekat. Banyak suka duka kehidupan pernah mereka bagi. Sayang, setelah menikah Larasati lebih sibuk dengan urusan rumah tangga. Pertemuan ini adalah pertama kalinya setelah pertemuan tak sengaja di sebuah mal tahun lalu.

“Hai!” Santi mengedipkan matanya.

“Bagaimana kau tiba-tiba berada di belakangku? Aku tak melihatmu melewati pintu masuk?”

“Itulah hebatnya aku, Laras. Kau belum menyadari juga kalau sahabatmu ini hebat.”

Larasati menggeleng-gelengkan kepala.

“Apa kabarmu?” tanya Santi, seraya duduk di kursi yang berhadapan dengan Larasati.

“Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja.”

Pelayan mengantarkan dua piring nasi gudeg komplet. Ternyata Santi sudah memesan makanan kesukaan mereka lebih dulu. Larasati tertawa keras dan lepas.

“Apa aku salah dengar?” Santi mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekat ke Larasati.

Larasati mengerutkan kening.

“Ah, sekarang kau bisa tertawa lepas. Apa yang sebenarnya telah terjadi, Laras?”

“Hmm, jangan bilang kau tidak tahu berita tentang Baskoro.”

Santi mengangguk-angguk. “Aku turut prihatin.”

“Terima kasih.” Larasati tertawa lagi. “Kau sendiri apa kabar?”

Santi mengangkat bahu. “Pekerjaanku sangat menyenangkan, public relations memang duniaku. Bertemu orang baru setiap hari itu menyenangkan bagiku. Tetapi, kau tahu, orang tuaku sering marah-marah karena aku belum juga menikah.”

“Pernikahan bukan sebuah solusi kehidupan, kok. Kau harus menemukan pendamping yang benar-benar kau inginkan sebelum memutuskan untuk menikah.”


Penulis: Tary





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?