Fiction
Lama Fa [6]

14 May 2012


Dosana pada waktu malam lebih menakutkan dibandingkan saat siang hari. Saat kios-kios di sekitar Wulandoni sudah tutup, hanya Gang Dosana yang terlihat hidup. Sayup-sayup, dari luar gang masih terdengar suara musik disko yang ingar-bingar. Bila angin berembus, ada bau asing yang tercium, bercampur dengan bau asin pantai. Seperti bau alkohol….


“Kau takut, Linda?” Marten menyentuhnya.

Linda menggeleng. Kini keduanya sedang bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Dari situ mereka melihat Dosana dengan jelas. 

“Sepertinya, malam ini lebih dingin, ya, Marten?” Linda merapatkan kedua tangannya. 

“Ah, sayang, beta tak membawa jaket.” Marten menepuk dahinya. “Bila bawa, beta akan meminjamkan padamu. Itu… seperti adegan-adegan di film.”

Marten tertawa. Linda hanya bisa ikut tertawa. “Kau ini, di saat-saat seperti ini, masih saja bisa bercanda.”

“Tapi, karena tak ada jaket, sebaiknya kupegang tanganmu agar….”

Linda mencubit lengan Marten. “Mencari kesempatan, ya?”

Marten tertawa. Pada saat yang sama, tak jauh dari situ, seseorang keluar dari mulut Gang Dosana.

“Ssst, ada yang keluar, Linda,” bisik Marten.

Seorang wanita terlihat berjalan sendirian. Linda dan Marten segera bergerak, mendekati wanita itu.

“Maaf, Nona.” Marten sudah ada di depan wanita yang berdandan sangat menor itu. Tampak raut kaget di wajah wanita itu.

“Mau apa kau?” 

“Maaf, ada yang ingin beta tanyakan,” Marten mendekat, “adakah di dalam sana wanita bernama Ikke Mabengke?”
Wanita itu melengos. “Mana beta tahu?”

Marten mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Beberapa lembar uang hasil penjualan ikannya hari ini. 

“Ini buatmu, Nona, kalau kau mau memanggilkannya kemari.”

“Sudah dibilang, beta tak mengenalnya!”

Marten menambahkan beberapa lembar lagi. “Coba Nona ingat-ingat lagi.”

Wanita itu melirik lembaran uang di tangan Marten. Lalu, dengan sekali gerak, ia menyambar uang itu.

“Tunggu di sini!” Lalu, ia kembali ke arah Dosana.

“Semoga cara ini bisa berhasil, Linda,” gumam Marten.

Sepuluh menit kemudian, keduanya menunggu. Tapi, tak ada tanda-tanda wanita menor tadi keluar lagi.

“Sepertinya, kita ditipu, Marten.” Linda terlihat putus asa.

Marten tak menyahut. 

Tapi, tak berapa lama wanita itu akhirnya muncul, diiringi seorang wanita lain di belakangnya.

“Ini dia orang yang ingin menemuimu, Ikke.” Wanita itu memberi tanda pada Marten.

Wanita di belakang wanita menor itu, yang juga berdandan menor, maju selangkah.

“Kau Ikke Mabengke?” Marten bertanya. 

Sebelum sempat menjawab, wanita itu melirik ke arah Linda, yang berdiri di belakang Marten. Ia tampak terkejut. Tanpa sadar ia melangkah mundur dan berbalik dengan cepat, lalu berlari.

“Ikke!” Marten dan wanita yang membawanya berteriak kaget.

Marten dan Linda secara refleks mengejarnya. Tapi, Ikke Mabengke sudah kembali ke arah Dosana. Ia masuk ke sana.

“Mau apa kalian ke sini?” seorang pria hitam berbadan besar menghalangi langkah Marten dan Linda.

Marten maju ke depan. “Kami mencari dia.”

“Kau mencari masalah?” Lelaki besar itu mendorong Marten.

Melihat gelagat tak baik, Linda segera menarik tangan Marten. “Sudahlah, Marten, sebaiknya kita pergi!”

Kawanan koteklama datang lagi hari ini! Kelompok dari pledang Stevanus Tanakofa berhasil mendapatkannya. Linda, yang baru saja akan beranjak mendekat, mendengar teriakan: “Ikra, ikra, ikra!” Teriakan itu merupakan tanda koteklama sudah tertikam tempuling.

Tak lama kemudian, beberapa pledang sudah membantu menarik koteklama sepanjang 10 meter ke tepi pantai. Penduduk segera menyambut mereka bak pahlawan perang.

Saat itu juga, koteklama segera dipotong. Setiap bagian tubuh koteklama dibagi-bagi kepada setiap pemburu yang berhasil mendapatkannya. Misalnya, lama fa dan lama uri akan mendapatkan bagian kepala sampai sebatas mata. Bagian perut atas dan pinggang untuk pembuat pledang atau amatolo. Bagian dada untuk para matros atau pendayung. Dan, sisanya dibagikan kepada penduduk desa.

Di tengah-tengah pesta itu Stevanus mendekati Linda, yang tengah menarik pledang.

“Bagaimana, Wanita Bataona?” Ia tersenyum sinis. “Kau mau membantu memasak daging ini?”

Linda tak menanggapinya.

“Sepertinya, Ora bakal kecewa melihat kau.” Stevanus menjejeri langkahnya.

Linda tak bisa mengontrol emosinya. “Jangan pernah membawa-bawa Papa!”

Paman Fotu, yang ada di sekitar situ, segera melerai. “Sudahlah, Stevanus, mengapa kau selalu mencari gara-gara.”

“Fotu, aku hanya memintanya membantu memasak.”

Paman Fotu mendorong Stevanus. “Ingat, Stevanus, sekarang ia juga lama fa. Sama sepertimu!”

Stevanus Tanakofa hanya tertawa.

Ini malam ketiga Linda dan Marten kembali mengintai. Dua hari yang lalu keduanya juga mengintai, namun hasilnya nihil. Padahal, mereka menunggu sampai pukul 2 dini hari. Ini sudah sangat larut di Lamalera. Bila Linda seorang diri, mungkin ia tak akan berani.

“Sepertinya, malam ini kita tak mendapat apa-apa lagi, Linda.” Marten menengadah. Bulan tampak penuh, sepertinya begitu dekat dari posisi keduanya duduk. “Kau tak kecewa, ‘kan?”

Linda menggeleng. Ia ikut menatap bulan di atas. “Kenapa harus kecewa? Beta tahu, kemungkinan itu memang ada, kok. Toh, bila bertemu, beta belum yakin bisa mengorek keterangan darinya. Setidaknya, Marten, terima kasih karena kau selalu menemani beta.”

Marten tertawa. “Ah, Linda, kau tak perlu mengucapkan itu. Kau tak tahu, ya, ada orang-orang yang ditakdirkan untuk menemani dan ditemani?”

Kening Linda berkerut. “Kau….”

Marten tertawa. Linda masih berusaha menerjemahkan kalimat itu ketika tiba-tiba Marten menyentuh bibir Linda dengan telunjuknya.

“Marten,” kaget sekali Linda diperlakukan seperti itu. Namun, tak bisa dipungkiri, jantungnya mendadak berpacu lebih cepat.

“Ssst, ada orang yang datang, Linda!”

Linda tersadar. Cepat ia berbalik. Dilihatnya seseorang berjalan keluar gang. Seseorang dengan perawakan besar.

Sepertinya, Linda mengenali sosok itu. Namun, kegelapan malam mengaburkan pandangannya. Untung saja, sorot lemah sinar bulan menerangi wajah sosok itu.

“Stevanus!” berbarengan Linda dan Marten berdesis.

Tak jauh dari tempat mereka mengintip, tampak Stevanus Tanakofa sedang berjalan, sambil menarik seorang wanita.

Linda makin terkejut. Wanita itu ternyata adalah wanita yang mereka tunggu beberapa hari ini. Ikke Mabengke!
Dilihatnya kini Stevanus menampar wanita itu hingga terjatuh. Teriakan wanita itu tertelan malam. Stevanus tampak membentak, namun dari tempat Linda dan Marten mengintai, tak terdengar apa pun. Stevanus kembali mengangkat tubuh Ikke Mabengke dan menamparnya lagi.

Marten memaki pelan. Tanpa sadar ia bergerak dari tempat persembunyiannya. Linda mengikutinya dari belakang.

“Berhenti!” Marten berteriak.

Wajah Stevanus tampak terkejut, tak menyangka ada orang yang melihatnya. Namun, belum sempat Marten dan Linda mendekat, ia sudah berbalik dan berlari. 


                                                            cerita selanjutnya >>


Penulis: Yudhi Herwibowo
Pemenang III Sayembara Mengarang Cerber femina 2005



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?