Fiction
Lama Fa [1]

14 May 2012

Sepertinya, ada yang lain pada hari ini. Tapi, Linda Bataona tidak bisa menjelaskan apa itu. Semuanya tampaknya normal, seperti biasanya. Ia bangun menjelang fajar. Menyiapkan rutinitas pagi. Kemudian pergi ke toko kelontong, tempatnya bekerja. Semuanya seperti ulangan hari kemarin. Tidak ada yang lebih ataupun kurang.

Tapi, Linda tetap merasa tak enak. Setiap kali jarum panjang jam bergerak, perasaannya makin tak enak. Matanya seakan tak pernah berhenti memunculkan wajah-wajah keluarganya, walau ia berusaha memejamkan matanya sekalipun. Imajinya terus dipenuhi penggalan-penggalan kejadian yang pernah dialaminya sebelum ia ke Flores. Dan, ketika ia menghirup udara, hidungnya seakan mencium bau tanah Lamalera, tanah kelahirannya. 

Tak heran seharian Linda jadi lebih banyak diam. Anie Udju, teman kerjanya, sudah menanyakan keadaannya untuk ketiga kalinya. Tapi, selalu saja Linda menjawabnya dengan tersenyum, sambil berujar, “Beta (saya) tak apa-apa, Anie.” Tentunya, dengan penekanan pada kata tak apa-apa.

“Tapi, kau terlihat aneh hari ini, Linda,” Anie terus mengejar.

Linda lalu berusaha bersikap seperti biasa. Melayani pelanggan dengan lebih ramah. Namun, hal itu malah dirasa Anie makin aneh. Tapi, kali ini Anie tak berkomentar apa-apa.

Tiba-tiba Mariana Mambait datang ke toko itu dengan tergopoh-gopoh, “Linda!” ujarnya di antara deru napasnya,” ada telepon dari Lamalera. Kelihatannya penting sekali!”

Linda tersentak. Sesaat ia tak bereaksi apa-apa. Apakah ini firasat tidak enak itu? Karena, begitu jarang keluarga di Lamalera meneleponnya. Untuk mencapai wartel terdekat dari rumah, perlu waktu hampir 2 jam. Setengah jam harus dilalui dengan berjalan kaki dan satu setengah jam sisanya dengan menggunakan bemo. Jadi, bila sampai ada keluarga yang menelepon, itu pasti sangatlah penting. 

“Siapa yang menelepon, Mariana?”

Mariana mengangkat bahu, “Beta tidak sempat bertanya. Yang pasti, ia laki-laki dan sebentar lagi ia akan menelepon lagi!”

Linda terdiam. Mungkin, Papa Ora, pikirnya. Memang, sudah lama Papa tidak menelepon.

“Sebaiknya, kau segera pulang, Linda.”

Linda lalu meminta izin untuk pulang sebentar. Ia segera berlari ke tempat kosnya. Letak rumah kos dan toko kelontong itu tidak jauh. Hanya sekitar 200 meter.

Sambil berlari, pikiran Linda mulai menduga-duga tentang apa yang terjadi di Lamalera. Pasti ini sesuatu yang sangat penting. “Ah, coba beta punya telepon genggam, seperti teman-teman beta lainnya. Tentu semuanya akan menjadi lebih mudah.

Ketika Linda memasuki rumah, telepon sudah berdering panjang. Segera Linda menyambarnya.

“Linda?” suara laki-laki di seberang terdengar jelas. Bukan suara Papa Ora.

“Paman Baffa?” Linda menyebut nama adik dari Mamae Tipa, “ada apa, Paman?”

“Pulanglah segera!” suara pamannya terdengar tegas.

“Pulang? Ada apa?”

“Mamae Tipa menyuruhmu segera pulang!”

Linda tertegun mendengar nada tegas di suara pamannya. Namun, akhirnya ia mengalah. “Ya, beta akan pulang! Tapi, ada apa sebenarnya, Paman?”

Paman Baffa tak langsung menjawab. Ia menghela napas terlebih dahulu, bahkan sampai dua kali. “Linda, Papa Ora meninggal.”

Linda Bataona pulang hari itu juga. Sepertinya, sudah begitu lama ia tak pulang. Terakhir kali ia pulang sekitar 10 bulan yang lalu. Saat itu Natal. Jadi, memang ia harus pulang. 

Sebenarnya, Linda ingin sering-sering pulang ke Lamalera. Tapi, jarak Lamalera dari Flores cukup jauh. Lamalera ada di Pulau Lembata. Dari Flores, tempatnya bekerja, perlu waktu 5 jam ke Larantuka dengan perjalanan darat, sebelum kemudian melanjutkan lewat perjalanan laut ke Pulau Lembata sekitar 2 jam. Lalu, dari Lowoleba, ibu kota Kabupaten Lamalera, akan perlu 5 jam lagi ke Lamalera dengan perjalanan darat, plus 1 jam lagi untuk benar-benar sampai ke rumahnya! 

Waktu ini bukan waktu yang pendek. Ditambah lagi, perjalanan tidaklah lancar. Ada rute-rute tertentu yang membuatnya harus menunggu. Misalnya, di Pelabuhan Larantuka, kapal biasanya hanya ada pada hari Senin dan Kamis. Bila ada pun, biasanya terlambat hingga 2-3 jam.

Sungguh perjalanan yang melelahkan.

Tapi, akhirnya Linda sampai juga di Lamalera. Tubuhnya begitu lelah, walau semalam ia sempat menginap di Larantuka, di rumah saudara jauhnya. 

Lamalera masih seperti terakhir kali ditinggalkannya. Nyaris tak ada perubahan. Ia masih tetap sebuah desa kecil di tepi pantai. Pantai Lamalera merupakan bagian dari Laut Sabu, terkenal dengan ombak yang besar. Bukan pantai yang cocok untuk bermain-main. Namun, penduduk asli, terutama anak-anak kecil, bisa menemukan beberapa tempat yang bisa digunakan untuk berenang dan menyelam dengan nyaman.

Tiba di Lamalera, Linda sudah merasa aman. Mungkin, karena ini merupakan tempatnya lahir, hingga ia tahu setiap detail tempat dan karakter masyarakatnya. Namun, lebih dari itu, mungkin juga karena nama keluarganya! 

Di Flores atau di Larantuka nama Bataona mungkin akan dengan mudah dilafal sebagai panggilan pada umumnya. Tapi, tidak di Lamalera. Di sini nama ini bukan nama biasa! Bataona adalah fam dari keluarga lama fa, keluarga penikam koteklama atau keraru (ikan paus).

Papa Ora adalah lama fa utama di Lamalera. Dari 1.700 penduduk Lamalera, hanya ada tak lebih dari 30 orang lama fa. Dan, sejak puluhan tahun, keluarga Bataonalah yang selalu membawa paus-paus itu ke tanah Lamalera dan membagi-bagikannya kepada seluruh penduduk.

Suasana perkabungan di Lamalera lebih sederhana bila dibandingkan dengan perkabungan di Flores. Biasanya, setelah memanggil pastor untuk memimpin doa bersama, tubuh orang yang meninggal sudah dapat dimakamkan.

Linda merupakan orang terakhir yang ditunggu. Ketika ia memasuki rumah, ia hanya sempat melihat sejenak wajah Papa Ora yang telah membiru dan sedikit menggelembung. Ia sempat menyentuh pipi Papa Ora. Namun, itu tak lama, karena tubuhnya langsung limbung. Linda kemudian hanya bisa menangis di pelukan Mamae Tipa. 
Setelah itu, prosesi perkabungan dimulai. Hanya 2 jam berselang, jenazah Papa Ora dimakamkan.

Malamnya, saat semua tamu telah pulang, Mamae Tipa menghampiri Linda. Sejak tadi keduanya hanya sempat berbicara sebentar. 

“Bagaimana kabarmu, Linda?” Mamae Tipa memeluk anak tunggalnya itu.

“Beta baik-baik, Mamae!” Air mata Linda yang sudah kering, tiba-tiba kembali menggenang di pelupuk matanya.
Sesaat keduanya terdiam, hingga akhirnya Linda melepaskan pelukan itu. ”Bagaimana Papa Ora bisa meninggal, Mamae? Tadi beta hanya mendengar cerita dari Paman Baffa.”

“Koteklama menghantamnya.”

Linda terdiam. Dulu, seingatnya, kejadian seperti ini pernah juga menimpa salah satu lama fa, teman Papa Ora. Papa Ora juga pernah mengalami kejadian seperti ini. Tapi, dulu, koteklama itu hanya mengempas dan mematahkan pledang (kapal pemburu) Papa Ora.

                                                     cerita selanjutnya >>


Penulis: Yudhi Herwibowo
Pemenang III Sayembara Mengarang Cerber femina 2005


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?