Fiction
Kita, Kemuning, dan Bangku di Tepi Taman Itu [1]

24 Apr 2013


Oekusi Arifin Siswanto

Masih lekat di dalam benak. Ukir mawar yang saling bertautan, dan dinginnya batang besi yang menusuk jauh ke dalam tulang punggung saat duduk di sana, di kursi besi yang ada di sisi tanah lapang taman kota. Lalu seolah lupa hari yang telah beranjak tua, kita mempertukarkan cerita. O tidak, tepatnya aku yang menjadi pendengar dan kau yang bercerita. 

Kau seolah tak pernah kehabisan cerita. Banyak sekali hal yang kau kisahkan sembari menunggui senja di bangku besi itu. Dan yang paling kerap kudengar adalah tentang bunga kemuning yang kau tanam di pot kecil di teras rumahmu. Tentang warnanya, tentang aromanya, dan tentang gelisahmu terhadap kumbang yang sayapnya membuat banyak kembang berjatuhan.

Aku tersenyum seperti halnya yang kau lakukan di  tiap jeda cerita. Tapi, aku tak tersenyum untuk ceritamu. Tidak, kau salah atas satu hal itu. Maaf, karena aku tersenyum untuk binar yang terbit dari matamu  tiap kau usai bercerita. Karena binar nyala itulah aku bersedia untuk menunggui akhir ceritamu, di  tiap senja di bangku besi di tepi tanah lapang taman kota.

Kemuning dan kau serasa sulit terpisahkan. Karena  tiap ceritamu takkan lepas dari bunga kemuningmu itu. Bahkan andai bunga di potmu itu bisa bercerita, pastilah ia akan menceritakan perihalmu. Mungkin tentang kelembutan caramu memperlakukannya. Sebab, dari yang kutahu, hanya dari kelembutanlah  akan tampil keindahan. Dan kurasa kemungkinanku ini sangat masuk akal. Meski aku belum pernah menjenguk kemuning yang kerap kau ceritakan itu,  dari caramu bercerita, aku merasa kemuningmu itu pastilah sangat indah. Seperti dirimu. Seperti cerita-ceritamu.

Sama halnya kau dan kemuning. Seperti itu pula bangku besi itu dengan kita. Meski kita lalai untuk menceritakannya,  kurasa bangku itu takkan lupa dengan kita. Sepasang manusia yang hampir di  tiap senja menghidupinya dengan cerita. Hanya dengan cerita. Setidaknya ia tak lantas menjadi besi yang makin lama kian ditumbuhi karat tanpa punya cerita. Kitalah cerita yang melahirkan cerita lain di kursi besi itu. Dan andai ia bisa b

“Selalu singgah di tubuhku, sepasang manusia pada senja. Mereka saling bertukar kisah tentang kemuning. Dari yang kudengar, kemuning itu adalah nama bunga-bunga di dunia manusia.

Sepasang manusia itu lalu menikah. Memiliki anak dan hidup bahagia. Toh,  mereka tetap datang ke sini, meski tak sesering dahulu. Mereka kini tak hanya bercerita tentang kemuning, melainkan juga tentang anak-anak dan mimpi-mimpi mereka tentang kehidupan. Dari ribuan kali percakapan  mereka, aku mengingat satu kalimat yang berbunyi seperti ini: kita bahagia lantaran rajin merawat kenangan. Oh, kurasa mereka benar. Dan aku pun sama bahagianya dengan mereka. Karena menjadi bagian dari kenangan itu, dari kehidupan mereka di  tiap senja di tepi tanah lapang ini.”
   
Hari-hari yang kita lalui kurasa memang indah, meski secara sahaja saja kita melaluinya. Sebagaimana yang kutahu, bahwa kenyataan pada masing-masing senantiasa menghasilkan sesuatu yang berbeda, begitu pula cerita. Semua memiliki tuturan ceritanya masing-masing, meski yang dikisahkan adalah hal yang sama.

Tentangmu akan kukisahkan seperti ini:
“Aku mengenalmu secara tak sengaja, benar-benar tak sengaja seperti banyak kejadian bermula. Ketika itu hari telah beranjak senja. Kusaksikan dari kejauhan kau tak juga anjak dari dudukmu di bangku besi di tepi tanah lapang taman kota.
Entah apa yang menuntunku untuk menghampirimu kala itu, tiba-tiba saja aku sudah di depanmu. Menggenggam tanganmu sembari menyebutkan nama. Dan kau tersenyum sambil tertunduk. Itulah senja mula aku mengenalmu. Perkenalan yang menjadikanku mengunjungi taman kota di  tiap senja. Menungguimu di bangku besi itu. Aku tak lihai melukiskanmu. Aku pun tak pandai untuk memuisikan keindahanmu. Hanya kukenali engkau sebagai perempuan yang begitu indah saat bertutur. Apalagi jika kau berkisah tentang bunga kemuning di pot kecil di teras rumahmu.

Mengenai bungamu, aku punya cerita lain. Setidaknya dari keingintahuanku itu, aku bisa mengenalmu lebih  jauh. Tahu di mana rumahmu dan berkenalan dengan keluargamu.

Kita pun dihadapkan pada sebuah cerita baru. Dari sekadar senja di tepi tanah lapang beranjak ke kehidupan berumah tangga. Dari senja yang bercerita tentang kemuning, menjadi pagi-pagi indah dalam denting sendok yang beradu dengan piring di meja makan.

Sebenarnya kenyataan sangat cepat berubah, bukan? Seperti kataku, tak ada yang benar-benar diam. Tapi, ada satu hal yang tak tergantikan: kebiasaan kita mengunjungi kursi besi di tepi tanah lapang itu. Tepat di tahun kedua perkawinan, lahirlah anak pertama kita. Seorang anak perempuan yang selalu menyusup mencari kehangatan di dalam gendonganmu di kala kita hadir di tepi tanah lapang itu.  Dan, berjeda lima tahun, lahirlah anak kedua, anak lelaki. Oh, lengkap sudah kebahagiaan kita.”
   
Kau menangis. Kau terharu atas cerita yang kutulis. Cerita sederhana yang kumiliki tentangmu. Tentang perempuan yang telah memberiku banyak kebahagiaan. Kau masih saja diam. Menekuri halaman demi halaman di buku harianku. “Kapan kau menulisnya? Mengapa baru sekarang kau perlihatkan padaku?” tanyamu.

Aku sengaja. Aku hanya punya ingatan, hanya punya catatan untuk kado perkawinan kita. Hari ini adalah berulangnya penanggalan saat kita mengikat janji suci dalam tali perkawinan. Saat yang menjadi awal indah rumah tangga yang kita jalani selama sepuluh tahun ini. Saat yang bermula dari bangku besi di tanah lapang pada satu senja.

Aku mengajakmu mengenang saat-saat itu, menikmati langit jingga dari bangku besi yang telah kuboyong pulang dan kutempatkan di sisi pohon bunga kemuning. Tujuh tahun silam ia telah kupindahkan dari pot kecilmu ke halaman rumah. Biar bangku besi itu yang menceritakannya padamu. Beginilah kira-kira ceritanya yang coba kutulis:
  
“Bertahun-tahun kusaksikan dunia ceria di tanah lapang, yang di sisinya aku, ditempatkan sebagai bangku taman. Bocah yang riang bermain ayunan, bermain petak umpet dan berebut bola sembari memimpikan kelak ia akan benar menjadi bintang lapangan.

Tawa-tawa riang para bocah menjadi denyut alami di tengah kehidupan detak kehidupan kota yang penuh polusi. Hingga pada satu waktu di tepi tanah lapang itu dipasanglah plakat besar berisi pemberitahuan bahwa tanah lapang ini akan berubah menjadi bangunan mal.

Semenjak itulah hari-hari menjadi sepi. Aku pun makin terkurung dalam kegelisahan ketika pohon-pohon mulai ditebang dan mesin-mesin berat sudah mulai berdatangan. Dari kasak-kusuk yang kudengar mereka akan menjual beberapa barang yang semula menjadi pengisi taman kota ke pedagang besi tua di pasar loak. Termasuk aku tentunya.

Untunglah seseorang segera menyelamatkanku. Membeliku dari mandor proyek dan membawanya pulang. Kemudian menempatkanku di halaman rumahnya, berdampingan dengan pohon bunga kemuning. Ia lelaki yang sama yang di  tiap senja singgah menemani seorang wanita. Mempertukarkan banyak kisah yang selalu akan diakhiri dengan kecupan manis si lelaki di dahi sang perempuan, sambil berkata, “Kita bahagia lantaran rajin merawat kenangan.” Dari banyak hal yang telah berubah, kurasakan hal itulah yang tetap kuyakini.”

Ilustrasi: Rizki Diani



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?