Fiction
Kirana [6]

4 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

“Kecurigaan kami bertambah, setelah ada informasi bahwa Kirana tidak pernah mengalami kecelakaan di jurang di daerah Ngantang, seperti yang diceritakan Inang Dayu dan dibenarkan oleh Herlambang. Memang benar ada dua kecelakaan pada malam itu, tetapi keduanya adalah tabrakan, bukan kecelakaan tunggal seperti yang dialami Kirana.”

Kuhentikan makanku karena terkejut mendengar cerita itu. Kapten Prayoga menunjuk kelap-kelip lampu yang bersinar dalam kegelapan malam.

“Sendang Sumberpodang. Disebut begitu karena dulu konon banyak burung kepodang yang bersarang di sana. Entah apa yang menyebabkan sendang itu begitu menarik perhatian. Bagiku itu hanya danau biasa yang terdiri dari air, kiambang, eceng gondok, ikan nila, karper, dan biawak. Mengapa Herlambang berkeras ingin membangun resor di sana?”

“Katanya ia ingin memiliki resor bergaya awal abad ke-20,“ aku ingat kata-kata Suster Meida.

“Semoga saja dia benar. Tetapi, instingku mengatakan lain,” ia menoleh ke arahku, lalu tersenyum. ”Enak satainya?”

Aku jadi merasa kikuk dipandangi begitu rupa, dan segera menghabiskan porsi sataiku. Kapten Prayoga makan dengan cepat seperti sedang terburu-buru. Mungkin ia ada urusan lain. Ketika ia sudah selesai, aku mengajaknya pergi. Aku memberi alasan bahwa Suster Meida juga sedang menunggu makan malamnya. Perjalanan pulang kami lalui begitu cepat. Aku merasa sesuatu akan terjadi malam ini. Entah apa.

“Berhati-hatilah, Dok. Ada petugas berjaga di depan rumahmu. Namun, jika kau merasa tidak aman, hubungi aku segera.”

Aku memandangnya. Memang akan terjadi sesuatu malam ini.
Semalaman nyaris aku tidak bisa memejamkan mata. Aku mondar-mandir dengan gelisah menunggu hari berganti. Sesekali aku memeriksa Kirana, mengganti infus, menambahkan vitamin. Setiap aku melakukan pemeriksaan atau penggantian itulah ia terjaga beberapa kali dengan ketakutan. Namun, ketika tahu kami ada di sana, ia menjadi sangat lega, kemudian tidur lagi dengan tenang.

Esoknya, aku meninggalkan Suster Meida bersama Kirana. Aku juga mengatakan melalui ponsel kepada Kapten Prayoga, bahwa puskesmas harus tetap dibuka pada hari Sabtu, walaupun setengah hari. Akan menimbulkan pertanyaan, jika dokter dan susternya tiba-tiba kompak tidak hadir.

Suasana puskesmas di hari Sabtu memang tidak terlalu ramai oleh pasien yang datang berobat. Tetapi, yang ramai adalah cerita orang-orang tentang kebakaran, hilangnya Kirana, dan yang paling baru adalah kedatangan Adrian yang tiba pagi ini. Perutku menjadi demikian mulasnya. Apa sebenarnya yang terjadi dengan desa ini?

Ketika pasien sudah habis pada pukul sebelas, aku segera menutup puskesmas satu jam lebih awal dari hari Sabtu biasanya. Aku harus bergegas pulang, karena perasaanku makin lama makin tidak enak. Khawatir terhadap Kirana dan Suster Meida yang kutinggal di dalam rumah.

Kukebut jipku di jalanan yang sempit dan berkelok-kelok. Aku harus segera sampai. Harus. Entah mengapa, aku merasa sesuatu yang buruk akan menimpa keduanya. Dan, aku khawatir mereka tidak bisa membela diri. Sebab, jelas Kirana sedang sakit, dan Suster Meida tidak mungkin melakukan tindakan bodoh yang dapat membahayakan pasiennya.

Kecemasanku terjawab. Ketika aku tiba, pintu rumah tidak dikunci dan kulihat banyak jejak sepatu di atas lantai. Sofa kecilku juga menjadi miring seperti habis tergeser sesuatu. Aku berlari ke dalam kamar. Jantungku serasa berhenti berdetak. Mereka tidak berada di sana. Ya, Tuhan! Ke mana mereka? Apa yang terjadi dengan mereka? Kepanikan seketika menyergapku.

Aku duduk tegak, menarik napas dalam-dalam agar aku lebih tenang dan bisa berpikir dengan baik lagi. Aku terlahir sebagai orang yang logis. Aku pernah hampir mati, ketika menolong seorang wanita yang melahirkan anak hasil perbuatan zina di Aceh. Di mana warga kampung yang fanatik melempari kami dengan batu. Tetapi, aku tetap tenang. Aku juga pernah dipermalukan di hari pernikahanku demikian rupa. Tetapi, aku bisa tetap tegar dan melangkah pergi.

Sekarang pun demikian. Sekalipun perasaanku belakangan menjadi sentimental terbawa arus Kirana mania, aku tidak boleh panik. Fokus dan tentukan sikap. Aku menelepon Kapten Prayoga, barangkali ia memiliki informasi yang aku tidak atau belum ketahui.

“Ada perkembangan yang mengejutkan, Dok, sehingga terpaksa kami mengevakuasi keduanya dari rumahmu tanpa memberi tahumu. Maafkan kami. Tapi, kupikir kau memiliki tugas penting di puskesmas, rasanya tak bijaksana jika kami harus menjemputmu.”

Begitu rupanya.

“Apakah mereka baik-baik saja? Kirana?” tanyaku langsung ke subjek pembawa masalah nasional ini.

“Ya, kami ada tim medis dari Polda. Mereka aman.”

Polda? Mengapa jadi begitu meluas?

“Apa sebenarnya yang terjadi?”

“Aku akan kirim orang untuk menjemputmu. Kau memang akan dipanggil sebagai saksi. Bersedia, ‘kan?”

Untuk sesuatu yang ’besar‘ ini? Aku tidak perlu menunggu lama, karena jip kepolisian segera datang dan membawaku ke Mapolsek yang sudah dipenuhi oleh masyarakat yang penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi di dalam sana. Ada beberapa orang petugas bersenjata yang berjaga di gerbang.

Perasaanku makin tegang, saat mereka membawaku masuk ke dalam kantor Mapolsek Sumberpodang. Kudapai Suster Meida sedang duduk minum teh botol. Ia tersenyum padaku dan tampaknya ia baik-baik saja. Tak kelihatan tertekan, apalagi tegang.

Pada sebuah pintu bertuliskan ‘Kombes Pol. Prayoga’, kami berhenti. Polisi yang mengantarku mengetuk pintu, lalu membukanya.

“Dokter Anindita!”

“Silakan masuk!”

Polisi itu menyilakan aku masuk. Aku mengucapkan terima kasih, sambil melangkah masuk. Kapten Prayoga berdiri menyambutku, lalu memperkenalkan kepada mereka yang sudah berada di ruangan. Salah satunya kepada seorang pria tampan yang memandangku de¬ngan dingin. Herlambang.

Aku kemudian dimintai keterangan seputar keberadaanku saat kebakaran, kemudian bagaimana sampai Kirana berada dalam pengawasanku. Semuanya kujawab apa adanya. Tak ada komentar atau selaan selama interogasi itu. Rupanya para penyidik itu sudah mempunyai check list. Beberapa keteranganku dibandingkan dengan data yang mereka bawa.

“Menurut Anda, Ibu Kirana telah mengalami trauma berat?”

Aku membenarkan, lalu menceritakan mengenai bekas luka di kepala, bekas luka jarum suntik, ketidakmampuan mencerna makanan, dan ketakutannya secara psikis.

“Apakah ia pernah menyebut nama seseorang?” penyidik pertama kembali bertanya.

“Seingat saya tidak, tetapi entah pada Suster Meida. Sepengetahuan saya, ia tidak mengenal siapa pun. Entah karena amnesia atau apa, saya harus melihat rekam medisnya untuk memastikan.”

Beberapa saat kemudian, interogasi dihentikan untuk istirahat. Kami keluar, kecuali Herlambang beserta dua orang penyidik tinggal di dalam. Kapten Prayoga mengatakan hasil yang sudah diperoleh selama lima jam interogasi ini akan dikonfrontasi satu sama lain. Keterangan Inang Dayu, Herlambang, serta keterangan beberapa saksi, termasuk aku.

Menurut Kapten Prayoga, kasus ini menjadi serius, saat polisi wilayah Jember merazia kendaraan bermotor pada bulan Juni lalu. Mereka menangkap pengemudi mobil sport merah dengan nomor plat N yang mabuk dan hampir menabrak pohon. Dari STNK yang disita, mereka mendapatkan nama Kirana Chandradewi.

Sangat jarang ada mobil mewah berjenis sport berkeliaran di daerah itu. Kepolisian Jember kemudian mengembangkan penyelidikan dan bekerja sama dengan kepolisian Malang. Tentu saja hal ini menjadi menarik sekali, karena mobil itu dikabarkan mengalami kecelakaan masuk jurang di Ngantang beberapa bulan sebelumnya.


Penulis: Shanty D. Rilmira
Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerber femina 2008



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?