Fiction
Ketika Dayu Memilih Cinta [7]

25 Feb 2012

<<Cerita Sebelumnya

Tak lama berselang, Dayu, Dharma, dan Komang Sri masuk ke ruang VIP tempat Dagus Brama dirawat.

“Aji sudah sadar?”

Dayu menghampiri Dagus Brama dengan riang. Tapi, sikap Dagus Brama terhadapnya sangat dingin.

“Maafkan kesalahan kami, Aji.”

Dharma membesarkan hatinya meminta maaf pa­da Dagus Brama. Namun, ia tak berani menatap Dagus Brama.

“Aku ingin bicara berdua saja dengan Komang Sri,” kata Dagus Brama.

Nadanya masih dingin. Sangat dingin, malah. Komang Sri sampai merasa sangat ketakutan dibuatnya. Wajahnya pucat. Ni Luh Sari, Dayu, dan Dharma keluar ruangan.

“A... apa yang Ji Dagus ingin bicarakan dengan titiang?” tanya Komang Sri, sangat gugup.

“Mang, kita sudah bertetangga sejak lama. Sebenarnya aku tidak enak mengatakan ini padamu. Tapi, sejujurnya, aku tak suka jika keponakanmu menjalin hubungan terlalu dekat dengan anakku. Kamu tahu, hanya Dayu harapanku satu-satunya.”

Komang Sri menarik napas lega. Dia sempat berpikir bahwa Dagus Brama akan membentak dan memarahinya habis-habisan.

“Lalu, apa yang Aji inginkan dari kami?”

“Aku ingin kau membawa pergi keponakanmu jauh-jauh dari sini.”

Komang Sri tersentak. “Tiang tidak bisa. Tiang tidak bisa me­renggut kebahagiaan mereka.”

Tiba-tiba saja Dayu masuk ke dalam ruangan.

“Ji, kalau memang itu yang Aji inginkan, maaf, Dayu tidak bisa memenuhinya. Selamat tinggal, Aji. Dayu akan ikut ke mana pun Bli Tut membawa. Maafkan kami.”

“Dayu!” panggil Komang Sri, ketika melihat Dayu dan Dharma pergi tergesa-gesa, setengah berlari. Dayu sedikit menyeret Dharma, agar segera menjauh. Ni Luh Sari berusaha mengejar. Namun, Dayu dan Dharma tak terkejar lagi, mereka makin jauh dari rumah sakit.

Dayu dan Dharma pergi ke rumah Kompyang, ibu Dharma, yang terletak di Tanjung Benoa, Nusa Dua. Rumah Kompyang sederhana, tapi halamannya luas dan berupa kompleks keluarga.

Kakak perempuan Dharma yang kedua, bernama Kadek Ari, masih lajang dan tinggal bersama ibunya. Kakak pertama Dharma bernama Wayan, sudah memiliki suami dan dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Wayan dan keluarganya juga tinggal di kompleks keluarga.

Di sana Dayu seperti menemukan keluarga baru. Meski jauh dari orang tuanya, ia tidak merasa kesepian.

“Dayu sudah makan?” tanya Kadek Ari, saat melihat Dayu meng­hampirinya di dapur.

“Tidak lapar, Mbok. Mbok sedang apa?” tanya Dayu, penasaran.

Kadek Ari tersenyum. “Tidak apa-apa. Mbok senang mencoba-coba resep makanan dari majalah.”

“Oh, begitu. Bisa Dayu bantu, Mbok? Dayu ingin sekali pandai memasak seperti Mbok. Supaya nanti Dayu bisa memasakkan untuk Bli Dharma.”

Kadek Ari tersenyum ramah. “Tentu saja.”

Dayu senang sekali. Ia jadi punya teman ngobrol. Setiap hari sebelum tidur, ia ngobrol dengan Kadek Ari dulu. Ia juga senang karena selalu ditemani Surya dan Dewi, anak-anak Wayan dan Suwita, suaminya. Sementara Kompyang sudah agak sulit diajak berbicara, karena pendengar­annya kurang jelas dan sudah agak linglung.

Dharma menjadi pengangguran kembali, karena lari bersama Dayu. Sehari-hari ia hanya memancing ikan dari bendungan Pantai Pratama dan menjualnya di pasar. Dayu sedih melihat Dharma, seperti seorang Sarjana Hukum yang terbuang. Sementara Dayu sehari-hari hanya membantu Kadek Ari memasak untuk seluruh anggota keluarga.

Tidak terasa, sudah seminggu Dayu berada di rumah keluarga besar Dharma. Lusa adalah hari Jumat dan itu berarti dia harus ke kampus untuk ujian sidang. Dayu duduk melamun di teras rumah.

“Tante tunangannya Pak Tut, ya?” Dewi, anak kedua Wayan yang baru berusia empat tahun, menghampiri.

“Bukan, anak manis. Tante kan tantenya Dewi.”

Dayu mencium pipi Dewi, membuat anak itu tersipu malu.

“Bli Surya di mana?” tanya Dayu kemudian, tentang Surya, kakak Dewi yang berusia enam tahun itu.

“Ikut Pak Tut pergi memancing,” jawab Dewi.

Tak lama kemudian Dharma dan Surya datang. “Banyak dapet ikan!” teriak Surya, sambil memamerkan embernya yang penuh berbagai macam ikan.

Dewi langsung bersemangat. “Lihat-lihat! Mana?!”

Surya menarik embernya kembali. “Tidak bisa! Tidak! Siapa suruh tidak ikut?!”

“Bli kan tidak mau mengajari aku memancing?” Dewi merajuk.

Dayu mengamati sambil tersenyum. Lucu sekali anak-anak itu, pikirnya. Masih polos tanpa beban. Sedangkan dirinya sejak kecil merasa kesepian, anak tunggal. Hanya Dharma teman satu-satunya. Itu pun harus sembunyi-sembunyi dari ayahnya, jika ingin bermain bersama.

“Dayu, Bi Komang ada di depan,” kata Dharma pada Dayu. Maksudnya di depan adalah di depan pagar kompleks mereka. “Tadi Bli ketemu dalam perjalanan pulang. Ia ingin berbicara dengan kita berdua.”

“Dayu....” Komang Sri langsung memeluk Dayu, saat Dayu keluar dari kompleks untuk menghampirinya. “Dayu sehat kan?”

“Sehat Bi.”

Dayu tersenyum, namun kemudian hatinya merasa sangat khawatir akan keadaan keluarganya. “Aji sudah pulang dari rumah sakit?”

“Sudah, Dayu. Untunglah Dagus Brama sudah lebih tenang. Jadi, dia diizinkan pulang oleh dokter.”

“Dayu rindu pada Biang dan Aji.”

Komang Sri menggandeng tangan Dayu, mengajaknya duduk di bale bengong. Dharma mengikuti Dayu dan Komang Sri.

“Bibi sudah menduga Ketut akan membawa Dayu ke sini. Apa Dayu senang di sini?” tanya Komang Sri.
Dayu tersenyum dan mengangguk.

“Apakah Dayu benar siap menghadapi apa pun demi Ketut? Dayu jadi tidak bisa menurunkan Ida Bagus untuk Aji. Pikirkan dulu. Bibi hanya tidak ingin Dayu menyesal.”

Dayu melirik ke arah Dharma. Kekasihnya itu degdegan menunggu jawaban dari Dayu.

“Sejak memutuskan pergi bersama Bli Tut, Dayu sangat siap.”

Dharma lega mendengar jawaban dari Dayu.

“Sebenarnya, Bibi datang bukan atas kemauan Bibi sendiri. Bibi disuruh oleh seseorang.”

Dayu dan Dharma saling berpandangan mendengar kata-kata dari Komang Sri.

“Sebenarnya apa tujuan Bibi menemui kami?”

“Bibi datang untuk menjemput kalian,” kata Komang Sri tegas, seakan tak ingin dibantah oleh siapa pun.

“Tapi, Bi, apakah ini perintah Aji?” tanya Dayu, ragu-ragu.

“Apakah Dayu tidak rindu pada Biang?” Komang Sri balik bertanya.

“Sebaiknya kita pulang Dayu. Kita sudah cukup lama pergi.”

Mereka berdua tak bertanya apa-apa lagi.


Cerita Selanjutnya>>

Penulis: Tang Annisa Inocentia Husna


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?