Fiction
Kepingan Hati di Ratu Boko[1]

12 Dec 2013


Langit sudah memerah. Matahari yang anggun nyaris lengser dari tahtanya. Aku mempercepat langkah menaiki anak-anak tangga yangcukup curam. Sesekali aku mengatur napas agar tidak kelelahan. Kali ini, aku harus menemukanmu. Kamu pasti sedang menungguku di pelataran.

          Kakiku yang mulai goyah kini sudah menapak dengan mantap ketika menyentuh tangga terakhir. Bayanganmu memperkuat semangatku. Dengan penuh harapan aku berlari menuju alun-alun. Dua orang penjaga yang berdiri di depan alun-alun tidak menyadari  kedatanganku. Aneh, kali ini mereka tidak memintaku menunjukkan tiket masuk. Mungkin mereka tahu kalau aku sedang terburu-buru.

           Lembayung semakin pekat. Kedua mataku berkeliling ke seluruh penjuru. Kosong. Kamu tidak ada dimana-mana. Di kejauhan, Candi Prambanan yang menyembul di antara pepohonan besar seperti menertawakanku yang terlihat kusut dan kebingungan.

            Aku lelah. Sangat lelah setelah seharian mencarimu. Aku menyerah. Aku benar-benar sudah tidak tahu lagi di mana harus menemukanmu. Aku sudah pergi ke semua tempat yang menyimpan jejakmu. Tetapi, aku hanya bertemu kehampaan. Tolong, jangan mempermainkan aku!

            Kembalilah karena seminggu lagi adalah hari pernikahan kita. Ingatlah kalau kita sudah mempersiapkan semuanya. Kita akan menikah di sini, Pelataran Candi Ratu Boko. Kamu sendiri yang ingin kita menikah di sini. Disaksikan alam sejarah dan matahari yang turun ke peraduannya. Kenapa kini kamu malah menghilang?

           Tenagaku sudah habis. Hatiku hancur. Kau tahu? Aku berusaha tetap berdiri dengan sisa kekuatan untuk mencarimu. Tapi, aku kehabisan akal untuk mencarimu kemana lagi. Seluruh penjuru Yogyakarta sudah aku jelajahi dalam tiga senja sejak kepergianmu yang tiba-tiba.

            Hari ini aku sudah mendaki Bukit Pronojiwo, menembus Kraton, menyisiri Pantai Parang Tritis. Kamu tidak ada di sana. Aku sudah tidak tahu lagi harus mencarimu ke mana. Bumi seperti sudah menelanmu. Tapi aku tidak mau menyerah. Aku pasti bisa menemukanmu.

           Ratu Boko satu-satunya harapanku. Kamu ingat? Di sini kita pertama kali bertemu. Tempat ini juga yang menjadi pelarian setiap kali kita bertengkar dan salah satu menghilang. Kamu dan aku sama-sama tahu dimana bisa saling menemukan. Tempat ini selalu bisa menarik kita kembali bersama. Namun, tidak ada bayanganmu di sini.
           Senja sudah sempurna. Sebentar lagi, tempat ini akan ditutup. Dua petugas penjaga candi terlihat merapikan kursi-kursi yang ada di pelataran. Mereka pasti akan mengusirku jika tahu aku masih ada di sini menantimu. Padahal, aku masih ingin menunggumu sebentar lagi.

            Dengan lemah, aku melangkah keluar pelataran. Seorang penjaga sedang bersiap-siap menutup pintu loket. Aku melihat petugas yang waktu itu mengurus administrasi penyewaan pelataran untuk pernikah kita berjalan di depanku. Dia melangkah menuju ruang informasi. Aku mengejarnya.

            Dia langsung menutup pintu ruang informasi. Aku memanggil namanya dari balik pintu. Kamu pernah memperkenalkan aku kepadanya. Katamu, dia adalah tetangga ibumu di Dagen. Tetapi, dia menghiraukan aku. Dia tidak membukakan pintu untukku.
            “Acara pernikahan yang seminggu lagi digelar di sini dibatalkan. Calon pengantinnya meninggal karena kecelakaan di Jakarta,” kata petugas itu kepada seorang temannya yang sedang sibuk merapikan tumpukan kertas.
           Aku tercekat mendengarnya. Seminggu lagi? Bukankah hanya kita yang akan menikah di pelataran Candi Ratu Boko seminggu lagi? Kepalaku terasa berputar. Dunia semakin gelap. Tubuhku menghujam bumi. Aku sudah tidak peduli pada apa pun lagi.
***

Hadapi kenyataan siapa dirimu sebenarnya. Karena itu akan mengubahmu menjadi pribadi yang sejati.
           Aku membaca dua kalimat itu di selembar brosur berwarna biru yang baru saja diberikan cuma-cuma oleh seorang pemuda tanggung di tikungan Malioboro. Kalimat-kalimat itu menggelitik hati. Aku ingin tahu isi brosur yang diawali rangkaian kata yang sangat menarik ini.

             Brosur itu sebuah undangan Acara Peringatan Kematian Soren Kierkegaard yang diadakan para penggemarnya di Yogyakarta. Aku tersenyum membaca judul acara itu. Kierkegaard? Siapa dia? Apa dia punya banyak penggemar di sini?
           Nama Kierkegaard terasa asing di telinga. Maklum, aku bukan tipe kutu buku yang membaca semua jenis pengetahuan yang ada di muka bumi ini. Aku hanya tertarik dengan segala sesuatu yang berbau Biologi. Kalau Kierkegaard seorang penemu DNA, penemu vaksin, atau ahli botani, aku pasti mengenalnya. Namun, tanpa alasan yang jelas, Kierkegaard telah mempermainkan hati. Aku ingin tahu siapa dia dan seberapa hebat dia mewarnai dunia.
***

Aku memutuskan menghadiri acara yang digelar sore hari setelah tiga hari aku mendapat brosur undangan itu.
           Kebetulan tempatnya di Kompleks Candi Ratu Boko. Aku sudah merancang rencana. Kalau acaranya membosankan, aku akan menikmati indahnya matahari terbenam di pintu gerbang alun-alun situs candi.
           Pemandangan matahari terbenam dari bukit Ratu Boko sangat cantik dan sudah banyak diabadikan oleh para pecinta fotografi. Pintu tengah gerbang alun-alun membingkai bola kuning raksasa yang berpendar di langit itu dengan sempurna sehingga menjadi daya tarik yang tidak pernah habis.
           Tidak banyak orang yang menghadiri acara ini. Mungkin karena Kierkegaard tidak seterkenal Elvis Presley atau The Beatles. Menurut hitunganku, hanya ada sekitar 30 orang yang duduk melingkar di sisi kanan alun-alun. Mereka duduk beralaskan rumput dan dimanjakan desau angin Ratu Boko.

             Kamu berdiri di tengah lingkaran manusia. Kedua pupil mataku menangkap gambar wajahmu dengan baik. Meski wajahmu tidak terpahat indah sempurna, tetapi garis bibir yang tertarik setiap kali kamu tersenyum membuatku tidak jemu memandang.
           Kamu membuka acara itu dengan membacakan riwayat Kierkegaard. Aku baru tahu kalau dia seorang filsuf dan penulis terkenal dari Denmark. Aku juga baru tahu kalau tulisan-tulisannya yang berani menyerang gereja dan pemerintahan kala itu telah memengaruhi dunia psikologi, sastra, dan keagamaan pada Abad ke-20.
           Namun, aku iba pada Kierkegaard. Meski memiliki otak cemerlang, kisah hidupnya tidak seindah pemikirannya. Dia tidak bisa bersatu dengan cinta sejatinya, Regine Olsen. Apakah kesalehan yang memisahkannya dari cinta? Atau sifat melankolis yang terlalu menguasainya sehingga dia takut mengecewakan cintanya?

            Aku tak peduli dengan alasan Kierkegaard. Yang aku tahu, aku hanya peduli pada suaramu. Hatiku menangkap alunan nada suaramu dengan damai. Entah karena perasaan menyenangkan ini atau karena hal lain yang tidak bisa dijelaskan, aku akhirnya mengangkat tangan kanan ketika kamu bertanya; “Siapa yang mau menceritakan alasannya datang kemari?”

           Kamu tersenyum kepadaku dan memberi isyarat untuk segera bercerita. Aku sedikit gugup karena hanya aku satu-satunya orang yang angkat tangan. Kebingungan melanda. Apa yang harus aku katakan? Aku tidak pandai merangkai kata.
           “Hai, namaku Harmoni,” ujarku sedikit gugup.

            “Aku ke sini karena penasaran tentang Kierkegaard. Aku belum tahu siapa dia. Aku suka dengan kata-kata Kierkegaard yang ada di brosur. Aku memang tengah mencari diriku sendiri. Mungkin, setelah berkenalan dengan Kierkegaard aku bisa mendapat pencerahan. Aku ingin membentuk harmoni kehidupan yang indah, seperti namaku.”

           “Kamu pasti bisa menulis harmoni indah itu. Hidup bukan soal menemukan diri sendiri tetapi membentuk diri sendiri. Kamu terlahir sebagai dirimu, tetapi semua hal ada dan yang mengelilingimu mengubah kemurnian diri. Makanya, di tengah perjalanan banyak orang bertanya-tanya siapa sebenarnya dia? Banyak juga yang berpura-pura menjadi orang lain hanya untuk terlihat kuat dari sekelilingnya,” kata-katamu mengalir deras.
           Aku suka kata-katamu. Kata-kata yang aku dengar seperti guyuran hujan di musim kemarau. Kesejukan di tengah kegersangan. Setidaknya, sejak saat itu aku tahu kalau sudah mendapatkan teman berbagi cerita yang baru. Kierkegaard menjalin dua hati.
***

“Kenapa hidup selalu dipenuhi pilihan? Apakah Tuhan sengaja dan memang sangat suka melihat manusia kebingungan? Mana yang terbaik? Uang atau sesama manusia? Mana yang akan menolongmu? Uang atau sesama manusia?”
            Aku menatap kedua matamu dengan tajam. Kamu menyeruput secangkir kopi hitam sebelum membalas tatapanku. Sejak pertemuan di Ratu Boko, kamu menjadi pendengar  setia semua masalahku. Kamu selalu mendengar dengan penuh kesabaran. Memberikan solusi dan teman berdoa yang menyenangkan.  Aku bersyukur menemukanmu.

             “Semua pilihan berawal dari keinginan. Jadi, sekarang lebih baik kamu mengetahui apa keinginanmu sebenarnya lalu buat keputusan. Yang harus diingat adalah kalau sudah melangkah ke depan, jangan pernah sesali apa yang pernah ada di belakang.”

            “Ini bukan sekadar pilihan. Ini soal masa depan. Aku tidak mendapat banyak uang dari penelitian-penelitian pertanian yang aku jalani selama ini. Tawaran itu menggodaku. Bekerja di perusahaan asing dengan tawaran gaji tiga kali lipat lebih besar. Kesempatan tidak datang dua kali.”  

           “Kesempatan selalu datang kepada orang yang tidak mengenal kata menyerah. Kamu selalu punya kesempatan. Sekarang, mana keinginan terdalammu? Menjadi lilin yang bersinar di tengah gelap atau menjadi sebatang emas berdebu di dalam brankas?”
           Aku memutuskan menyelesaikan penelitian yang sudah dilakukan sejak setahun lalu. Akhirnya aku dan timku berhasil menemukan varietas padi baru yang lebih tahan dengan kemarau juga curah hujan yang tinggi. Dengan penemuan ini, aku harap pendapatan para petani bisa meningkat.

           Kamu melamarku tepat setahun setelah melodi Kierkegaard menyapa hati pertama kali. Kita memimpikan kehidupan yang bahagia dengan dua orang anak yang menghangatkan rumah. Kamu tidak melarangku menggeluti penelitian pertanian. Aku berjanji mendukung bisnismu.

             Kita sama-sama sibuk mempersiapkan segalanya. Semua persiapan kita lakukan bersama. Semua persiapan sudah sempurna. Hingga hari sial itu tiba. Kamu harus ke Jakarta untuk bertemu dengan rekan bisnismu. Aku ingin melarang. Aku takut sesuatu yang buruk menimpa rencana kita.

           Aku ingat, orang-orang Jawa zaman dulu mempercayai sebuah larangan kuno tentang calon pengantin. Larangan itu  melarang calon pengantin untuk menempuh perjalanan yang jauh menjelang hari pernikahan mereka. Konon katanya, pernikahan tersebut bisa gagal karena dipisahkan maut atau bencana. Itulah mengapa di zaman dahulu, calon pengantin Jawa selalu menjalani prosesi pingitan. Mereka tidak boleh keluar rumah sampai hari pernikahan.

          Kita tidak peduli dengan mitos itu. Di zaman modern ini, banyak mitos yang sudah terpatahkan. Kenyataannya? Mitos itu menimpa kita. Tepat tengah malam telepon genggamku berbunyi. Di layar tertulis namamu. Suara asing menyapaku di ujung telepon.
              Isak tangis mengiringi rentetan kata yang keluar dari mulut si penelepon. Aku panik seketika. Samar-sama aku dengar si penelepon yang mengaku sebagai sahabatmu itu mengatakan kalau kamu tewas kecelakaan di jalan tol dalam perjalanan menuju bandara. Aku nyaris gila.
***

Suara burung hantu mengejutkanku. Aku terbangun dari kegelapan. Namun, suara burung itu membuatku cemas. Ketakutan menyergap. Sebagian orang percaya, burung hantu menjadi pertanda kedatangan makhluk halus. 

               Tubuhku masih lemas setelah seharian mencarimu. Seluruh tulang terasa rontok. Kau tahu? Kepala  ini terasa sangat berat, penuh bayanganmu. Kenyataan memanggil. Kesepian mengepung. Malam bertambah tinggi. Sepi dan sunyi. Rembulan mengintip penuh rasa ingin tahu lewat celah dedaunan.

            Ternyata, aku masih berada di dekat ruang informasi Candi Ratu Boko. Aku basah kuyup. Sepertinya, saat aku tak sadarkan diri hujan mengguyur bumi. Aku lelah. Sangat lelah. Aku terluka. Sangat terluka.
          Aku ingin pulang. Bertemu dengan ibu dan menceritakan kegagalan pencarianku hari ini. Aku rindu dekapan Ibu. Hanya pelukannya yang bisa menenangkanku. Dengan sisa kekuatan yang masih melekat, aku menuruni anak-anak tangga. Aku ingin cepat sampai di bawah. Aku berlari seperti dikejar-kejar setan. Aku ingin sampai di rumah. Bertemu Ibu dan mengganti bajuku yang basah.
           Hati terasa kosong jika memikirkan bagaimana aku melanjutkan kisah hidup ini. Kamu tidak akan pernah hilang dari lembaran kisahku. Kamu tahu? Kamu adalah jawaban penantian cintaku.
            Kata orang, cinta pertama membantu kita lebih dewasa dan cinta terakhir menyempurnakan kita. Itulah yang aku rasakan sejak mengenalmu. Hati dan jiwaku menjadi sempurna. Sebuah kidung mesra bagi wanita sepertiku yang sulit menjalin harmoni indah rasa hati.
           Wajahmu. Suaramu. Tawamu. Semua tentang kamu menemani perjalananku pulang. Aku tersenyum sendiri setiap kali mengenang kebersamaan kita. Orang-orang yang melihat pasti akan bilang aku ini sudah gila. Biarlah. Aku sudah tidak peduli kata orang.
           Pagar rumah sudah terlihat. Aku mempercepat langkah. Pak Gardi, penjaga kebun membukakan pintu pagar untukku. Tidak seperti biasanya, dia tidak menyapaku. Aku tersenyum kepadanya dan berlalu masuk ke dalam rumah. Pak Gardi termangu memandangi dedaunan yang terhempas angin malam.
           Klakson mobil mengagetkan Pak Gardi. Dia segera membuka pintu pagar lebih lebar agar mobil itu bisa masuk. Aku menoleh ke belakang, mencari tahu siapa yang datang. Paman dan bibiku keluar dari mobil. Mereka mengobrol sebentar. Aku buru-buru masuk ke dalam rumah.
            Ruang tamu penuh dengan orang. Aku berebut ruang agar bisa masuk ke kamarku. Mereka tidak menegurku. Baguslah. Aku juga malas berbasa-basi dengan mereka. Aku hanya ingin menenangkan diri saat ini. Aku tidak ingin mendengar apapun yang keluar dari mulut orang karena akan membuat luka hati yang lebih besar. Mereka hanya bisa bersimpati akan kepergianmu. Mereka tidak bisa membantuku melewati hari tanpamu.
           Aku segera ke kamar mandi dan masuk ke dalam bathtub. Tubuh lelah ini sudah mulai merasa ringan begitu menyentuh air hangat. Setelah puas berendam, aku membungkus tubuh dengan piyama merah jambu lalu merebahkan diri di kasur.
           Aku ingin tidur. Luka hati ini masih ingin menyendiri. Aku menyelinap ke dalam selimut yang cukup tebal yang menutupi kasur. Aku berusaha keras memejamkan kedua mata ini. Usaha itu sia-sia.
          Daun pintu kamar bergerak. Aku menarik selimut semakin tinggi hingga menutupi wajah. Aku yakin itu pasti Ibu. Aku memejamkan mata semakin kuat. Aku tidak ingin membuat ibu bersedih melihat keadaanku.
           Ibu berjalan menuju lemari pakaianku. Tangan lembutnya mengambil kebaya putih yang akan aku kenakan di hari pernikahan nanti. Ibu menangis. Aku ikut menangis dari balik selimut. Aku tidak berani memeluk ibu kali ini. Aku tidak ingin Ibu semakin sedih. Aku berpura-pura tidur.
            Langkah kaki Ibu terdengar semakin dekat. Ibu duduk di ujung tempat tidurku. Dengan penuh kesedihan Ibu memeluk kebaya pengantinku. Aku tahu Ibu sangat sayang padaku. Maaf Ibu. Aku telah membuatmu sedih.
            “Harmoni, kenapa kamu meninggalkan Ibu? Ibu kangen sama kamu, Nak.”
             Samar-samar aku mendengar lantunan doa. Hati terasa damai. Sebagian suara menyebut-nyebut namaku. Aku tidak suka menjadi bahan pembicaraan. Suara-suara itu semakin keras. Mereka bilang prihatin akan nasib calon pengantin wanita yang bunuh diri di pelataran Candi Ratu Boko karena ditinggal mati kekasihnya.(f)

************
Widianti



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?