Fiction
Kemelut Hati [5]

1 Jul 2012

<< cerita sebelumnya

Supomo pulang dari Jakarta. Nasiyah yang pertama kali bertemu dengannya. Pagi-pagi, ketika ia pulang dari pasar. Mula-mula Nasiyah terkejut waktu disapa dari belakang. Ia menoleh. Tampak sesosok pemuda tinggi jangkung berambut sedikit gondrong. Lelaki itu mengenakan celana jeans biru pudar, kaus oblong putih tertutup jaket, dan topi hitam menutup kepalanya.

“Pomo?” Pemuda itu tersenyum.

“Ah, mentang-mentang hidup di kota, semuanya berubah.”

Pomo tertawa ringan. Selanjutnya, mereka saling menceritakan keadaan masing-masing. Sesekali mereka berhenti berjalan, saat berpapasan dengan orang-orang. Sebagian dari mereka terkejut oleh kedatangan Pomo. Mereka meminta agar Pomo main ke rumahnya, berjanji akan membuatkan sayur pare, kesukaannya. Kepada beberapa lelaki, Pomo berjanji bertemu di gardu ronda.

“Apakah kamu masih suka belajar meniup seruling?”

Nasiyah jengah. “Ada beberapa not lagu yang sudah lupa.”

Jalanan menurun, agak gelap, dan lembap. Kanan-kirinya lebih tinggi, seperti dua dinding. Lumut tampak licin di sela tumbuhan paku kecil-kecil. Di atasnya deretan rumpun bambu merimbun, membuat jalan itu gelap seperti lorong. Angin bertiup sehingga pohon meliuk-liuk, daunnya bergesekan mencipratkan butir-butir air sisa hujan semalam, batangnya berkelotak.

“Katanya, kamu mau menikah?”

Nasiyah mengusap keringat. Seberkas cahaya matahari menerobos daun-daun bambu, jatuh ke jari-jarinya, dan memantul lewat cincinnya. Mereka sampai di jalan yang lebih kering. Ada parit dalam di sisi kanan. Di kirinya ada kebun salak yang baru berbunga. Jalan yang mereka lalui berbatu. Semak-semak merimbun rendah. Nasiyah mempercepat langkahnya, menuruni jalan setapak berbatu. Jembatan kayu itu bergoyang dan derit tambang besi itu menjadi riuh oleh tapak kaki Nasiyah. Ia tak ingin menjawab pertanyaan Pomo.

Nasiyah mengempaskan tubuhnya di ranjang. Malam ini ia berjanji menemui Pomo di rumah Sukati. Ia hanya ingin mengucapkan selamat jalan kepada Pomo yang akan kembali ke Jakarta besok sore. Ia ingin diajari lagi beberapa not lagu yang terlupa. Sejenak ia ingin membuka kembali kenangan-kenangan mereka.

Siang itu, Nasiyah, Pomo, dan tiga temannya berjalan pulang bersama. Mereka sengaja merapat ke bawah pepohonan agar sedikit sejuk. Canda dan tawa tak henti-henti mengiringi langkah mereka. Nasiyah melihat seekor ulat di atas daun bougenvil. Seketika muncul sebuah ide di benaknya. Diam-diam ia mengajak Sukati memetik daun berulat itu, lalu membungkusnya dengan kertas. Ia memanggil Pomo hingga Pomo berjalan beriringan dengannya.

“Kamu mau ndak aku kasih hadiah?”

“Tentu. Masa diberi hadiah ndak mau?”

Nasiyah memberikan bungkusan kertas bertuliskan: special for Pomo, lalu berlari mengejar ketiga temannya. Ia berharap, setelah itu Pomo akan mengejarnya, lalu memukulinya dengan gemas. Tapi, lama sekali hal itu tidak kunjung terjadi. Nasiyah menengok ke belakang dan menjerit. Pomo jatuh tertelungkup di tepi jalan.

“Dia pingsan.”

“Kamu tadi kan baru jalan sama dia.”

Nasiyah tidak menjawab. Ia hanya memandangi kertas itu tergeletak di dekat tangan Pomo. Ulatnya menyusur-nyusur ke tepi. Kedua teman lelaki Nasiyah saling pandang, lalu mengatakan bahwa hal yang paling ditakuti Pomo adalah ulat. Mereka tidak sempat tertawa melihat keadaan Pomo.

Di sekitar mereka hanya ada hamparan sawah. Rumah penduduk terlihat kecil di kejauhan, tersembunyi di balik pohon-pohon kelapa. Mereka membuka pakaian Pomo, memberikan bau-bauan dedaunan. Pomo siuman. Tawa yang mereka tahan pun meledak.

Beduk isya sudah ditabuh. Nasiyah masih membolak-balikkan tubuhnya di ranjang. Berbagai bayangan muncul. Sebentar lagi Pomo turun dari langgar. Ia pasti bergegas ke rumah Sukati dan menunggunya. Pomo terus menunggu, menunggu, dan menunggu, hingga akhirnya harus pulang.

Bukan maksud Nasiyah mempermainkan pemuda itu. Ia betul-betul ibarat burung, hanya bisa melompat dan mencakari jejari sangkar. Ia tidak bisa berceloteh. Ia tidak mengerti politik yang membakar desanya. Ia harus diam di dalam sangkarnya, jika ingin selamat.

Pertemuannya dengan Pomo pagi itu telah dijadikan cerita baru. Diceritakan, sebelum bertunangan dengan Diman, Nasiyah berpacaran dengan kemenakan Pak Martowi itu. Bahkan, sampai sekarang mereka belum putus. Nasiyah dan Pomo masih berhubungan diam-diam. Kesediaannya menerima lamaran Diman hanyalah taktik yang digunakan Pomo untuk merongrong kekayaan keluarga Diman. Jika rencana itu berhasil, mereka akan menikah.

“Itu tidak benar. Fitnah!” emak Nasiyah berujar.

“Tapi, ini sudah sangat keterlaluan, Kang. Bagaimana kalau pernikahan itu betul-betul dibatalkan? Kita kan malu, Pak.”

“Kenapa malu? Mati, rezeki, dan jodoh ada di tangan Tuhan.”

“Lalu, kita harus bagaimana, Kang? Diam saja? Terus menerima, meski harga diri kita mereka injak-injak? Mentang-mentang kaya, mereka bisa sewenang-wenang terhadap orang melarat seperti kita.”

“Yang paling tepat untuk saat sekarang adalah diam. Kalau salah omong bisa-bisa kita dimanfaatkan oleh orang-orang.”

Binatang malam sayup-sayup mulai mendendangkan orkestra. Jengkrik mengerik dari liang kecil di tepi kolam, cericit kelelawar mencari makan, semua berpadu menjadi simfoni alam.

Terdengar juga suara gaduh anak-anak turun dari langgar. Beberapa saat kemudian pintu kamarnya digedor Ahmad, yang minta tidur di kamarnya. Malam itu Ahmad tidak cerewet. Setelah didekap dan diusap-usap kepalanya, bocah kecil itu langsung tidur.

Sepi melayangkan ingatan Nasiyah pada malam rundingan pernikahannya. Mula-mula para tetua menghitung hari lahir kedua calon pengantin. Nasiyah lahir Sabtu Kliwon, Diman Minggu Pahing. Dalam Primbon Jawa, gabungan angka mereka menunjukkan Gedhong Rembulan. Maknanya, keduanya bisa cepat kaya, tetapi sering tertipu. Mereka berhenti sejenak. Tidak lama kemudian mereka menghitung kemungkinan perjodohan dengan cara lain. Yang didapat adalah angka 5, yang menunjukkan Candra Pedaringan Kebak. Artinya, mereka selalu berkecukupan dan bisa menjadi pelindung.

Mereka lalu menyimpulkan, kelak pasangan ini tidak kekurangan dalam masalah harta. Tapi, keduanya harus hati-hati karena akan sering menghadapi rongrongan dari pihak-pihak lain. Masalah ini akan bisa mereka hadapi, jika mampu bersikap bijaksana dan suka menolong orang lain.

Para tetua itu lalu merundingkan hari pernikahan mereka. Diputuskan, hari akad nikah adalah Kamis Pahing tanggal 24 Jumadilakir. Dan, karena berbagai persoalan yang timbul akhir-akhir ini, hari yang telah disepakati itu akan dibatalkan. Begitu menurut orang-orang.

Perlahan Nasiyah bangkit, melompati tubuh adiknya, lalu turun dari ranjang. Ia beranjak perlahan ke dekat jendela. Tapi, ia tak mungkin membuka daunnya untuk menyaksikan peristiwa yang terjadi di luar. Ia raih sebatang seruling yang terselip di palang-palang dinding dekat jendela. Ia timang-timang, dicobanya tanpa suara. Jemarinya menari-nari di atas lubang-lubang, menyusun nada. Ia tersentak ketika sayup terdengar nada-nada itu ditiup di kejauhan.

Malam Minggu ada pertunjukan layar tancap di lapangan desa. Dalam perjalanan pulang dari pasar, Nasiyah sudah melihat keramaian. Diman tampak di tengah keramaian itu. Setelah saling menyapa, mereka berjalan beriringan.

“Ada salam dari Pomo. Sebelum pergi, aku tidur bersamanya di langgar. Ia minta maaf karena tak bisa hadir di hari pernikahan kita.”

Nasiyah menoleh, menatap pemuda yang melangkah tenang di sebelahnya. Hanya sesaat.
“Pomo memang hebat. Baru setengah tahun bekerja sudah dipercaya jadi mandor. Sekarang, gajinya lebih besar dari kakaknya.”

Mereka lalu berpisah di persimpangan. Nasiyah mempercepat langkahnya.


Penulis: Nawa N.S



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?