Fiction
Kemelut Hati [4]

1 Jul 2012

<< cerita sebelumnya

Bu Juhari mengajak kedua tamunya ke ruang makan. Tanpa basa-basi Bibi Darto mengajak Nasiyah mengikuti Bu Juhari ke dalam.

“Ayo, silakan. Kebetulan, saya baru saja makan.”

Bibi Darto mengambil nasi satu centong penuh, sayur lodeh, sepotong telur dadar, dan sambal tomat. Nasiyah mengikutinya dengan canggung, dan ia hanya mengambil sedikit saja.

Nasiyah melirik bibinya yang berdecap kepedasan, tetapi masih sempat berkomentar dan memuji kepandaian Bu Juhari dalam memasak. Nasiyah akhirnya dapat menghabiskan makanan di piringnya. Bibi Darto lalu membimbingnya untuk mencuci piring di sumur. Nasiyah agak kebingungan menggunakan pompa air. Tapi, ia berusaha menyembunyikan perasaannya dan mencoba sampai berhasil.

Setelah semuanya beres, Nasiyah dan Bibi Darto kembali ke ruang tamu, bercakap-cakap dengan Bu Juhari hingga Pak Juhari pulang dari kantor, dan kemudian Diman.

“Bibi, Nas, sudah lama?”

“Sudah lama, Mas. Baru pulang kerja?”

Setelah berbasa-basi sebentar, Diman minta izin untuk salat dan menemani bapaknya makan siang. Bibi Darto dan Nasiyah ditemani lagi oleh Bu Juhari, meneruskan obrolan. Tak lama Bibi Darto minta diri.

“Nas, Bibi pulang sekarang, ya?”

“Saya juga, Bi.”

“Kamu nanti saja, diantar Mas Diman.”

Bu Juhari menyuruh Diman mengantarkan Bibi Darto dengan sepeda motornya, tetapi Bibi Darto menolak.

“Saya mau jalan kaki saja. Sudah biasa, kok.”

“Biar cepat sampai dan tidak kepanasan.”

“Terima kasih, Bu. Saya mau mampir ke warung dulu. Permisi.”

Bu Juhari dan suaminya mengantar Bibi Darto sampai ke teras. Di ruang itu tinggal Nasiyah berdua dengan Diman. Mereka saling diam. Nasiyah mengambil majalah dari bawah meja, dikipas-kipaskannya ke wajah.

“Panas, ya?”

Bapak Nasiyah memiliki empat saudara kandung. Semuanya perempuan. Kakaknya biasa dipanggil Uwak Sarnawi dan Uwak Kusnen, sedangkan adiknya Bibi Darto dan Bibi Juned. Suami Bibi Juned adalah kakak ipar Pak Martowi, orang terkaya di desa itu.

Suatu malam, Paman Juned datang bersama Pak Martowi dan istrinya. Hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Sebab, meskipun kaya, mantri kesehatan itu terkenal pelit dan kurang ramah. Apalagi istrinya.

“Rupanya, ada tamu agung,” sambut Karto, bapak Nasiyah. “Tentunya, ada sesuatu yang sangat penting.”

“Begini, Kang Karto,” kata Pak Martowi penuh tata krama yang halus. “Pertama, kami ke sini untuk silaturahmi. Kedua, saya bermaksud mengundang Kang Karto sekeluarga untuk menghadiri pengajian besok, malam Jumat.”

“Untuk acara apa itu, Pak Mantri?”

“Ini maksud saya yang ketiga, Kang Karto. Saya bermaksud meminta doa dan restu dari Kang Karto sekeluarga.

Saya punya hajatan, mau ikut pilkades.”

“Oh, kalau begitu saya ucapkan selamat, Pak Mantri. Semoga keinginan Pak Mantri terkabul.”

“Terima kasih, Kang Karto. Ini ada sedikit uang buat Kang Karto.”

“Terima kasih. Tapi, maaf, saya tidak bisa menerimanya.”

“Terima saja, Kang Karto. Barangkali, bisa buat tambah-tambah beli sembako.”

“Tidak usah, tidak usah, Pak….”

Tapi, Pak Mantri sudah memasukkan amplop itu ke dalam saku bapak Nasiyah dan kemudian mereka berpamitan. Bapak Nasiyah masuk kamar dan menyimpan amplop itu di bawah tumpukan baju.

Keesokan malamnya, Paman Juned datang sendiri. Ia bermaksud menjemput bapak Nasiyah untuk menghadiri pengajian di rumah Pak Mantri. Tapi, bapak Nasiyah tengah sibuk dengan panen kelapa. Memakluminya, Paman Juned pun pergi sendiri. Sebelum pergi, ia menyampaikan, Pak Mantri telah menghitung 31 suara. Sebelas dari pihak bapak Nasiyah dan dua puluh dari pihak emak Nasiyah.

Emak Nasiyah, yang baru saja menidurkan Ahmad, keluar.

“Lho, Bapak tidak pergi?”

Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk.

“Tolong, bukakan pintu, Mak.”

Emak segera memenuhi permintaan suaminya.

“Nak Diman, silakan masuk.”

“Bapak ada, Mak?”

Emak mengangguk.

Diman datang bersama kakak iparnya yang paling tua, Pak Muroji, pemilik satu-satunya penggilingan padi di desa itu. Dia adalah salah satu dari tiga calon kepala desa, yang pemilihannya akan dilaksanakan pertengahan bulan depan. Mereka hanya 15 menit di rumah Nasiyah, lalu pamit untuk mengunjungi rumah saudara-saudara yang lain.

“Lalu, kita harus bagaimana, Pak?”

Lelaki itu tidak menjawab. Ia meneruskan pekerjaannya. Ada Nasiyah di sebelahnya. Beberapa saat orang-orang di dapur itu saling diam. Hanya ada bunyi derit sabut kelapa, detak batok kelapa yang dipecah, diikuti gemercik air dalam ember, serta biji-biji kelapa yang dilemparkan ke tumpukannya.

“Kamu diminta datang ke rumah Bu Muroji hari Sabtu,” kata Emak. “Itu, kakaknya Diman. Ia mau mengadakan pengajian.”

“Saya harus ke sana?”

“Datang saja kalau kamu mau.”

Hari Sabtu Nasiyah tetap di rumah. Malamnya, Diman datang, menjemput Nasiyah, untuk bersama-sama pergi ke rumah Pak Muroji. Namun, keesokan harinya terdengar desas-desus bahwa keluarga Nasiyah memihak Pak Muroji. Kabar ini membuat Paman Juned kecewa dan kemudian mendatangi kakak iparnya itu.

“Saya mengerti posisi Kang Karto. Tapi….”

“Saya juga mengerti posisimu. Tapi….”

Hasil penjualan kopra kali ini lebih besar dibanding sebelumnya. Bapak menganggap ini adalah rezeki Nasiyah. Sejak memetik kelapa, ia sudah berniat menggunakan uangnya untuk pernikahan Nasiyah. Karenanya, Bapak segera membeli ranjang, lemari, dan bahan pakaian untuk Nasiyah dan calon suaminya. Ia juga berencana memperbaiki dinding dan pintu kamar Nasiyah yang rusak, serta mengapur rumah.

Untuk keperluan itu, Bapak menjual pohon sengon kepada Narto Gepeng. Karena, menurut informasi Bibi Juned, ia memang sedang membutuhkan kayu untuk memperbaiki rumah. Namun, proses jual-beli itu kemudian mendatangkan masalah bagi keluarga Nasiyah. Beberapa hari kemudian terdengar kabar bahwa Bapak menerima uang pengikat dari Pak Mantri lewat Narto Gepeng.

Kalau sekadar kabar itu saja, mungkin keluarga Nasiyah masih bisa bersabar. Tapi, kabar itu membuat keluarga Pak Muroji panas hingga meminta agar perkawinan Nasiyah dengan Diman dibatalkan.

Mendengar hal itu, Bibi Darto tidak terima. Perempuan itu marah-marah dan menuduh bahwa biang keladinya adalah keluarga Paman Juned. Menerima tuduhan itu, keluarga Paman Juned jadi tak terima. Lalu, terjadilah perselisihan dalam keluarga besar bapak Nasiyah.

Menghadapi semua itu Nasiyah tidak bisa berkata apa-apa. Ia biarkan orang-orang membicarakannya. Semua memperbincangkan kabar tersebut dengan semangat dan tambahan cerita yang bertele-tele, berputar-putar, hingga tak tertemukan lagi ujung pangkalnya.

Nasiyah diam. Ia lebih memilih mendengarkan kicau burung yang tulus dan selalu jujur. Pikirannya kembali mengelana.

Plung! Sebuah kedondong jatuh ke dalam kolam. Seorang gadis kecil dan bocah lelaki berlarian dan sama-sama menceburkan diri ke dalam kolam. Telapak kaki mereka meraba-raba dasar kolam, berebutan mencari kedondong. Air membasahi wajah dan pakaian mereka. Namun, keduanya terus mencari. Tiba-tiba bocah lelaki itu bersorak kegirangan, tatkala telapak kakinya menyundul benda bulat halus sebesar telur. Ia membungkuk hingga seluruh badannya tenggelam di bawah air. Ketika benda itu diangkat ke permukaan ternyata hanya sebuah batu. Ia menggerutu dan mengumpat.

Mereka pun meneruskan pencariannya. Kini gadis kecil itu yang berseru gembira. Bocah lelaki merasa kalah dan direbutnya buah itu. Gadis kecil tidak terima. Di dalam kolam ia mengejar bocah lelaki itu, sambil berteriak-teriak, minta agar miliknya dikembalikan. Tapi, si bocah lelaki terus mengelak, sambil menggodanya. Dan, gadis kecil itu kemudian menangis.

Mendengar keributan, pemilik pohon kedondong keluar, sambil marah-marah. Kedua bocah kecil itu melompat dari kolam. Gadis kecil yang kesulitan naik dibantu oleh bocah lelaki. Kemudian, mereka berlari dan sembunyi di balik rumpun bambu. Setelah tak terdengar lagi suara, bocah lelaki mengeluarkan kedondong dari kantong celananya. Dengan batu ia pecahkan buah itu, dibagi dua. Sebagian diberikan kepada gadis kecil, sebagian lagi ia makan.

Tidak lama kemudian muncul seorang bocah lelaki lain. Melihat keduanya berada di situ, ia mengejek, “Ih, pacaran… Kecil-kecil sudah pacaran!” Gadis kecil kembali menangis. Bocah lelaki mengejar dan langsung menghajar anak lelaki itu. Mereka berkelahi. Untung ada orang yang datang dan segera melerainya.

Gadis kecil itu adalah Nasiyah dan bocah lelaki itulah Pomo. Mereka berteman akrab sejak kecil. Pomo memang nakal dan senang menggoda Nasiyah. Tapi, ia akan membela Nasiyah jika ada yang mengganggunya.

Mereka hampir tidak pernah berangkat sekolah ataupun mengerjakan PR sendiri-sendiri. Untuk bermain pun Pomo mau menunggu Nasiyah selesai membantu Emak. Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu, meninggalkan masa keceriaan mereka. Setamat SMP, Pomo diajak kakaknya bekerja di Jakarta. Nasiyah ditinggal bersama seruling yang dulu selalu ditiup Pomo, ketika menggembalakan kambing-kambingnya.

Angin sore meniup rambut Nasiyah. Sekawanan burung berjajar rapi di bawah lengkung langit yang mulai menjingga. Mereka berputaran di antara gerumbul awan putih keperakan, kuning keemasan, dan abu-abu. Awan itu tertatih-tatih mengarak bulan separuh yang masih pucat pasi.

Seruling itu mulai mengalunkan melodi lagu yang pertama kali diajarkan Pomo kepada Nasiyah. Alunan nikmat seruling itu terhenti ketika terdengar suara beduk ditabuh. Masih memegang seruling, pandangan Nasiyah
tertuju pada semut-semut yang berderet panjang di dinding rumahnya. Semut itu lalu-lalang dengan teratur, berpapasan, berhenti sejenak, bersentuhan dengan semut-semut lain yang dijumpainya. Di bagian lain tampak segerombol semut beramai-ramai mengusung sebutir remah gula. Seketika menggulir air mata di pipi gadis belia itu.

“Nas, sudah hampir malam. Tutup jendelanya!”


Penulis: Nawa N.S


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?