Fiction
Kekasih Jiwa [3]

19 Mar 2012

<< Cerita Sebelumya

”Aku suka, kok. Enak sekali.” Aku berusaha memberi kesan bahwa makanan ini sangat enak. Dan memang enak, meski kurang sehat.

”Ini untuk kamu.” Seperti biasa, Indra memberikan dagingnya untukku, setelah mengupas kulit dan melolosi tulang-tulangnya. Gadis yang unik sekali. Aku melakukan hal yang sama dan memberikan kulit bertepung garing pada Indra.

”Aku mau pulang besok.”

Aku terbatuk. Indra cepat memberikan minum untukku.

”Ngapain? Kamu mau dinikahkan, ya?”

”Ngawur! Kamu, tuh, yang.... Maaf.” Indra terdiam sejenak. ”Mama masuk rumah sakit.”

”Sakit apa?”

”Biasalah. Mama kan sering sulit menjaga makan. Darah tinggi, asam urat, entah apa lagi. Mamaku bandel banget.”

Aku memandang Indra. Gadis ini sungguh manis. Dia tidak pernah menarik perhatianku dengan hal-hal yang memprihatinkan. Biasanya, para gadis akan memanfaatkan kesusahannya untuk lebih menarik simpati pasangannya.

”Perlu aku antar?”

”Tidak usah. Aku biasa pulang sendiri, kok.”

”Berapa hari kamu di sana?” Aku merasa sudah ditinggalkan.

”Mungkin tiga atau empat hari. Aku cuti lima hari. Kebetulan tidak ada ujian.”

”Kau janji akan hati-hati.” Aku mengusap pipinya.

”Ya.” Indra mengambil tanganku, menggenggam erat, sambil berkata, ”Kau juga, ya. Jangan tidur malam terus. Kau sudah terlalu kurus.”

”Aku janji.”

Aku ingin sekali memeluknya dan memberikan apa saja untuk menebus rasa bersalahku karena selalu membiarkan dia mengurus masalahnya sendiri.

”Kita pulang, yuk.” Indra mengajakku berdiri. Aku mengangguk dan menggandengnya keluar. Kami masuk mobil dengan diam.

”Leo, aku....”

”Ssst... aku tidak pisah dari kamu, Indra.” Aku memeluknya dengan sepenuh jiwaku. ”Aku sayang sekali padamu.”

”Aku lelah, Leo. Antar aku pulang, ya.”

“Tidak mau nonton dulu?” Aku tidak ingin berpisah begitu cepat.

“Aku capek sekali. Pekerjaan kantorku banyak sekali hari ini.”

“Ya, sudah. Kau naik kereta pukul berapa?”

“Enam pagi.” Pukul lima besok, aku harus mengantar Anne ke bandara.

“Kau bisa sendiri?” Aku menatapnya dengan permohonan maaf.

“Tentu saja.” Indra tertawa, lalu mengangkat bahu. “Ayo.”

Kalau saja aku bisa mempunyai waktu berdua dengan Indra lebih banyak lagi, memanjakannya lebih lama lagi.

“Terima kasih, ya, makan malamnya.”

Indra berdiri di samping pintu mobil. Tubuhnya yang tinggi sedikit dibungkukkan untuk dapat berbicara denganku. Rambut pendeknya terterpa angin malam, menebarkan wangi samponya.

“Ya,” aku menjawabnya, sambil memegang tangannya. “Aku punya sesuatu buat kamu.”

“Apa lagi?” Indra tertawa.

Kukeluarkan kotak kecil dari sakuku, yang sedianya akan aku beri secara pribadi dan romantis. Tapi, toh, Indra bukan gadis yang menganggap keromantisan sebagai hal penting. Dia selalu bersikap sewajarnya dan biasa saja untuk hal-hal yang bahkan menyanjungnya.

“Ini apa?”

Aku mengeluarkan kotak kecil yang sangat bagus.

“Nanti saja kau buka sendiri,” kujawab sambil tersenyum.

“Terima kasih, kau baik sekali.”

Astaga... kalimat itu selalu membuatku makin sayang padanya. Matanya memperlihatkan ketulusan ucapannya, bukan kerakusan.

“Besok hati-hati, ya.” Aku melepas tangannya.

Indra seperti biasa mundur dan melambaikan tangannya. Jam ta-ngan platina seharga satu kali gajiku yang urung aku berikan pada Anne, karena ternyata dia memakai jam tangan yang harganya dua kali lipat mahalnya dari yang aku beli, akhirnya untuk Indra juga.

Menunggu Indra selama lima hari membuatku merasa sudah berbulan-bulan tidak bertemu Indra. Berpuluh SMS aku kirim setiap hari, dan Indra membalas seperlunya. Tapi, aku tidak peduli, aku memang ingin terus mengiriminya kabar.

“Sayang, jangan lupa, besok kita mengepas pakaian, ya?” Anne mengultimatum.

Mati aku. Aku sudah janji akan menjemput Indra di stasiun besok.

“Jam berapa, sih?” Aku memang lupa. Bahkan, kalau Anne tidak meneleponku, aku juga akan lupa menjemputnya.

“Tuh, kan selalu lupa. Besok pukul lima, sepulang aku dari kantor. Kita ketemu di bridal saja, ya,” Anne memandangku manja.

“Oke.”

“Ya, sudah, ayo jalan. Kok, bengong?”

“Kita mau ke mana?” Aku memang linglung.

“Ya, ampun, Sayang... kita mau ambil undangan pernikahan kita!” Suara Anne meninggi. “Setelah itu, kita jemput mami-papimu di bandara. Lupa juga?”

“Sorry,” aku menggumam pelan. Aku memang lupa semuanya. Tiga hari tidak bertemu Indra membuatku benar-benar senewen. Aku menarik napas dalam dan menjalankan mobil cepat.

“Sayang, arah bridal ke kiri, bukan ke kanan!” Anne sedikit menyentak kesal.

“Sayang, aku mau ke apotek depan sebentar. Kepalaku sakit, mau flu kayaknya.” Aku beralasan cepat. Aku tidak pernah berbohong pada Indra.

“Bilang, dong!” Anne menyahut kesal dan tangannya mulai mencari-cari gelombang radio kesayangannya.

“Berapa kau cetak undangannya?” aku bertanya.

“Enam ratus,” Anne menjawab semangat.

Berarti kemungkinan satu juta orang lebih yang akan hadir.

“Kau sudah menyiapkan daftar semua undangan kita?”

“Sudah, dong!”

“Tidak ada yang terlupa seorang pun?” Aku heran, sebegitu banyak nama, bisa tidak ada yang lupa.

“Tentu saja tidak! Termasuk Indra!”

Aku tersentak kaget, mengerem mobilku mendadak. Aku tahu betapa pucatnya wajahku.

“Kau kaget?” Anne dengan tenang memandangku.

“Dia....”

“Hanya teman?” Anne tersenyum menakutkan. “Leo, Indra tidak berarti apa pun untuk aku. Wanita itu tidak akan memengaruhi pernikahan kita sedikit pun. Aku sama sekali tidak cemburu, apalagi sakit hati.”


Penulis: Lie Phan




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?