Fiction
Kekasih Jiwa [1]

19 Mar 2012

Ketika kami pertama kali bertemu, aku tahu, aku akan membuat kesalahan pada hal paling penting dalam hidupku. Gadis ini ti-dak secantik gadis yang diidamkan pria pada umumnya. Tapi, ia sungguh cerdas, mandiri, dan tidak seperti gadis lain yang aku kenal. Gadis ini mempunyai sesuatu yang luar biasa, yang tidak dimiliki para wanita lain. Entah apa, tapi ada sesuatu yang istimewa.

“Makan, ya?” aku menawarinya untuk kesekian kali.

“Aku sudah makan.” Indra, begitu nama gadis ini, menolak lagi.

“Kau diet, ya?” aku meledeknya.

Indra cuma tertawa, sambil mencubit pelan lenganku. Dia mencubitku karena malu, bukan karena genit.

“Kalau begitu, aku antar kamu pulang sekarang. Aku harus ke....”

“Aku tahu.”

Indra tersenyum tipis. Aku selalu tidak sengaja menyakiti hatinya. Indra masuk ke mobilku dan duduk dengan manis, tanpa menyentuh apa pun. Aku menjalankan mobil perlahan, sambil meliriknya. Ia tersenyum. Aku tahu, seperti apa perasaannya, setiap kali aku mengatakan kalimat seperti tadi. Ini malam Minggu, dan aku hanya punya waktu bersama Indra sampai pukul tujuh malam.

”Terima kasih sudah mengantarku,” Indra mengucapkan dengan sangat sopan.

Aku hanya mengangguk. Indra melangkah masuk pagar kompleks kos yang sederhana.

”Indra.” Panggilanku menghentikan langkahnya.

Indra berbalik cepat.

”Hampir lupa, aku membeli ini ketika pulang kerja tadi. Manis sekali.” Aku mengeluarkan keranjang besar kelengkeng bangkok.

”Kamu membelinya untuk aku?” Indra mendekat, tanpa mengu­lurkan tangannya.

Aku mengangguk. Padahal, sebenarnya, aku membeli oleh-oleh itu untuk Anne, tunanganku.

”Leo, terima kasih. Kamu baik sekali. Tapi, ini terlalu banyak.”

”Kamu bisa berbagi dengan teman kosmu, ’kan?

Indra mengangguk, lalu menerimanya. ”Kamu hati-hati, ya.”

Aku mengangguk. Sebenarnya, aku ingin sekali memeluknya untuk meminta maaf atas sedikit waktu yang aku sediakan untuknya. ”Jangan tidur terlalu malam, ya.”

Indra tersenyum, lalu mundur sedikit untuk menjaga jarak de-ngan mobilku. Ia melambaikan tangan dan aku meninggalkannya.

Anne sudah menungguku. Cantik. Nyaris sempurna. Aku menciumnya sekilas, lalu mengeluarkan kotak kue yang aku beli setelah mengantar Indra. Selalu seperti itu. Oleh-oleh yang aku siapkan untuk Anne, selalu saja akhirnya aku berikan pada Indra.

”Papa sudah menunggu untuk membicarakan soal gedung.”

”Ya. Maaf, terlambat. Banyak pekerjaan.”

”Tidak apa-apa.”

Anne menggandengku masuk ke rumah mewahnya. Tapi, tiba-tiba saja bayangan wajah Indra membuat perutku seperti kram. Tempat kos biasa dengan kamar-kamar kecil dan penghuninya yang sederhana. Alangkah bedanya.
Satu jam ke depan, aku hanya bisa melihat Anne begitu semangat membicarakan tentang pernikahanku dengannya. Lima bulan yang lalu, aku juga sesemangat itu. Tapi, pertemuanku dengan Indra sudah membawaku pada kekeliruan yang aku ciptakan sendiri.

”Kau buta atau bodoh, sih?” Gadis itu berkacak pinggang di depan mobilku, setelah bangun dari depan kap mobilku. Aku baru saja menabraknya. ”Kalau mau balapan, jangan di jalan raya, dong!”

”Maaf, saya buru-buru dan....”

“Kau bodoh sekali. Kau tahu lampu merah untuk apa?”

“Mbak, saya sudah bilang, saya....”

”Kau menabrakku!” Gadis itu makin keras berteriak dan orang-orang mulai berdatangan menonton, tanpa ada yang menolong.

”Saya minta maaf. Saya akan bawa Mbak ke rumah sakit dan....”

”Kau pikir, dengan begitu aku... astaga....” Gadis itu memegang pelipisnya. Darah menempel di jari-jarinya dan mulai mengalir di pipinya. ”Minggir!”

Aku ikut panik, tapi lebih panik melihat kemarahannya. Seperti orang bingung, aku membiarkan gadis itu masuk dan duduk di belakang setir. ”Cepat masuk!”

Aku betul-betul terkesiap. Lalu, aku mengambil tasnya dan me-masukkan isinya yang jatuh berantakan, duduk di sebelahnya.

”Mbak, tenang, biar.....”

”Diam! Aku tidak mau mati di jalanan.” Gadis ini dengan sigap melarikan mobilku, kencang sekali, sambil berteriak, ”Pasang sabuk pengamanmu!”

”Mbak, minggir, biar saya yang bawa, dan....”

“Diam! Kau akan lebih repot kalau aku mati di mobilmu.” Gadis ini membentakku dan terus memakiku sepanjang jalan, sambil tak henti-hentinya menyalip kiri-kanan dengan menyembunyikan klakson. Tidak sampai lima menit, gadis ini membawa mobilku ke sebuah rumah sakit yang seharusnya ditempuh dalam waktu lebih dari 15 menit. Dia turun dan berlari sendiri ke ruang UGD rumah sakit, sambil mengeluarkan kartu kreditnya.

”Kau memang gila. Namaku Indra. Siapa tahu diperlukan, kalau aku sampai mati di sini. Aduh, kepalaku sakit sekali,” gadis itu memberikan kartunya padaku, meraba kepalanya. Darah begitu banyak di tangannya. Ia berteriak, ”Kepalaku...!” Dan, dia pingsan.

”Saya betul-betul minta maaf.” Aku duduk di ruang perawatan setelah gadis bernama Indra ini siuman. Indra memandangku, tidak ada lagi kemarahan di matanya. Dan, aku tersihir dari cara dia memandangku. Matanya teduh sekali.

”Aku... saya....” Aku tergagap, saat matanya menatapku bingung.

”Sudah berapa lama aku di sini?” Indra memandang sekitarnya.

”Semalam.” Aku memberikan air putih.

Gadis itu duduk perlahan.

”Astaga, aku bisa dipecat kalau hari ini tidak masuk.”

”Ini sudah pukul sembilan pagi. Aku sudah menelepon kantormu.” Untung ada ID card perusahaan tempatnya bekerja. Karena, di dompetnya hanya ada KTP dan beberapa lembar uang sepuluh ribuan.

”Ruang perawatan kelas berapa ini?” Indra menatapku lagi.

”Kelas utama.” Aku memberikan teh manis hangat.

”Kau gila.” Indra membaringkan kepalanya perlahan di bantal yang diaturnya tinggi. ”Kau pikir, perusahaanku mau membayar ini. Jatahku hanya di kelas dua.”

”Saya yang akan membayar.” Aku memandang gadis itu. ”Sungguh, saya tidak bermaksud sombong atau apa. Anggap saja ini permintaan maaf saya atas kejadian kemarin.”

”Aku harus pulang sekarang.”

”Dokter akan melakukan scan kepala. Kau harus tetap di sini dulu.” Aku menyentuh lengannya untuk menenangkannya.

”Kau mampu membayar semua perawatanku?” Indra memandangku lugu.

“Maksimal sepuluh hari ke depan, aku masih mampu.”

”Terima kasih untuk semuanya.” Indra mengangkat punggung telapaknya. Jarum infus itu membuatnya sedikit kesakitan. ”Aku benci sekali dengan infus,” Indra menggumam, lalu tersenyum lucu, sambil melihat pakaiannya. ”Perawat yang memandikan aku, ’kan?”

”Ya. Aku minta kau dimandikan tadi pagi dan diganti semua pakaianmu, termasuk pakaian dalammu.” Aku merasa lebih relaks melihat senyumnya.

”Siapa yang membelikan pakaian dalamku?”

”Aku.”

”Aduh! Kau tahu artinya jika pria tak dikenal membelikan pakai­an dalam. Itu pertanda sial jodoh,” Indra mengumpat pelan. ”Aku mau gosok gigi.”

”Akan kubantu,” aku memapahnya ke kamar mandi, menyiapkan sikat dan pasta gigi, membantunya menyikat giginya.

Aku membantunya berbaring. Indra meraba kepala dan pelipisnya. ”Siapa yang memotong rambutku?”

”Perawat. Untuk memudahkan mengobati kepalamu. Ada beberapa jahitan di atas pelipismu. Jadi....”

“Kau utang banyak sekali padaku,” Indra menggumam.

”Aku tahu. Kalau ada keluargamu, aku bisa memberi....”

”Tidak perlu,” Indra menyahut cepat. ”Aku hanya ingin keluar dari rumah sakit.”

”Aku akan bicara dengan dokter. Kalau-kalau kau boleh berobat jalan.”

”Terima kasih,” Indra menatapku agak ragu. ”Kau terus di sini sejak kemarin?”

”Ya.” Aku melihat pakaianku. Lusuh dan tidak wangi.

”Sebaiknya kau pulang saja,” Indra mengernyitkan dahi. ”Di mana tasku?”

Aku mengambil tasnya dari dalam lemari.

”Boleh tolong ambilkan ponselku?”

”Mati. Pecah. Maaf. Akan kuganti nanti.”

”Yang sama persis. Itu hadiah dari mantan kekasihku.” Indra tertawa kecil, lalu meringis, merasakan sakit di pelipisnya. Aku ikut tertawa. Entah kenapa, aku malah berniat membelikan ponsel yang jauh lebih bagus lagi.

”Kau bisa pakai telepon ruangan ini,” aku menunjuk meja kecil di pojok.


Penulis: Lie Phan



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?