Celebrity
Joko Widodo: Antara Rasa Lelah, E-Blus dan Linkin Park

20 Oct 2014


Sulit untuk membantah bila Joko Widodo saat ini menjadi orang tersibuk di negeri ini.  Memenangkan kursi RI 1 lewat proses pemilihan presiden langsung, semua harapan masyarakat kini tumpah di pundak ringkihnya. Apalagi, belum juga dilantik pada Oktober mendatang, ia segera disergap oleh persoalan klasik: subsidi BBM yang menggerogoti anggaran negara.
Beberapa waktu lalu, pria berusia 53 tahun ini menerima femina di Balai Kota. Di luar, antrean tamu masih mengular, termasuk serombongan warga sebuah kampung yang mengaku tanah mereka tergusur proyek jalan tol. Selama kurang lebih satu jam, Jokowi, begitu nama tenarnya, menjawab pertanyaan dengan gayanya yang khas: kalimat-kalimat yang diucapkan lambat-lambat dan disertai candaan yang memancing tawa. Ia pun dengan senang hati ber-selfie dengan kami. Ia memang tak membentangkan jarak!


“LIHAT WAJAH SAYA”
“Sebetulnya wawancara saya itu gampang, tempel saja saya  tiap hari ketika turun ke lapangan, pasti saya akan menjawab semua pertanyaana,” ujarnya, membuka percakapan.  Turun ke lapangan, bertemu langsung dengan masyarakat, memang menjadi ciri khas Jokowi, baik ketika menjadi Wali Kota Solo (dua periode) maupun semasa menjadi Gubernur DKI Jakarta. Karena dia, blusukan menjadi kosakata yang populer saat ini.

Apa resep Bapak untuk menjaga stamina? 
Resepnya satu: enggak ada beban kepentingan. Saya tidak ada keinginan apa pun. Bekerja saja. Dengan demikian, mau bekerja dari pagi sampai pagi, ya, kuat. Jam kerja saya memang tidak jelas. Pulang dari kantor memang pukul 4 sore, tapi saya ke mana-mana dulu. Ke kampung, ke pertemuan dengan masyarakat, atau mengecek yang perlu untuk dicek pada malam hari karena ketika dicek siang hari tidak ada. 

Tidak lelah?
Lihat wajah saya, lelah tidak? Ha…ha…ha… ya, capek. Saya kan manusia normal.
 
Seperti apa dukungan keluarga?
Anak-anak saya tinggal di Solo. Kadang-kadang mereka yang datang ke sini, kadang-kadang saya yang pulang ke Solo. Berangkat malam, lalu keesokan paginya balik lagi ke Jakarta. Mereka sudah dewasa, jadi sudah mengerti kondisi ini. Memang, dulu semasa saya masih menjadi wali kota, mereka sempat protes pada kesibukan bapak- ibunya. Maklum, sebelum jadi wali kota, ke sekolah diantar, pulang dijemput, mau liburan juga bebas bisa kapan saja. Awalnya memang sulit, tapi lama-kelamaan mereka mengerti juga. 

Kalau dengan Ibu, bagaimana mengatur waktunya?
Kalau istri kan di sini bersama saya terus. Cuma ketemunya juga enggak jelas kapan. Ketika saya pulang dan istri sudah tidur, ya, ketemu besok paginya. Tapi, kami kan sering barengan hadir di suatu acara. Bahkan, selama kampanye lalu, anak dan istri selalu ikut. Meskipun tidak ikut teriak-teriak di atas panggung, mereka hadir. 

Ada komentar mereka tentang pilpres lalu?
Mereka menyampaikan, “Ternyata Bapak kerjanya berat sekali.”  Baru mengerti mereka....

Konser 2 Jari di GBK ketika kampaye dulu dipenuhi massa. Seperti apa perasaan Bapak waktu itu?
Saya tidak memperkirakan sebanyak itu yang hadir. Ketika masuk ke gerbang stadion, sempat terdiam sejenak, kaget.  

Bapak mengantisipasi massa akan sebanyak itu? 
Sebelumnya saya sampaikan ke Abdee SLANK (pengagas Konser 2 Jari -Red) bahwa kalau tidak bisa memenuhi GBK, tidak usah diadakan saja. Karena, nantinya bisa menurunkan persepsi masyarakat bahwa kami tidak ada yang mendukung. Tiga hari sebelumnya Abdee bilang yakin karena setelah dicek banyak yang mau hadir. Kenyataannya yang datang melebihi kapasitas. 

Dalam kampanye Bapak banyak melibatkan anak muda. Apa yang Bapak lihat dari fenomena ini? 
Saya pikir kampanye sekarang sudah berubah, dan belum banyak disadari oleh politikus lain.  Sekarang pendekatannya bukan product centric atau customer centric lagi, tapi pendekatannya sudah human centric. Karena itu, sentuhannya bukan lagi orasi di panggung. Sekarang ini sentuhannya adalah dari hati ke hati.

Apakah ini akan menjadi ciri Bapak dalam memimpin? 
Dari dulu saya sudah seperti ini. Saya sudah melihat, saat ini eranya sudah horizontal, bukan vertikal lagi. Masyarakat sudah tidak ingin dijadikan objek. Mereka ingin diajak berperan, dijadikan teman, diajak diskusi, dijadikan partner. Ini yang tidak banyak disadari. 

Apa yang membuat Bapak bisa membaca itu? 
Karena  tiap hari saya bergaul. Blusukan itu cara saya bergaul dan mendengarkan. Ke bantaran sungai saya mendengar, bertemu anak muda, saya mendengar, ke kampung-kampung, saya mendengar. Ooo… keinginan mereka itu seperti ini. 

Bagaimana proses implementasi persoalan yang didapatkan dari blusukan? 
Turun ke bawah itu kan ingin melihat dan mendengar fakta langsung. Dari situ dibuat sebuah perencanaan, design policy. Lalu design policy itu dilaksanakan oleh organisasi. Babak selanjutnya, ketika kita turun lagi ke lapangan, itu sudah proses manajemen pengawasan, pengontrolan, apakah program berjalan, apakah uangnya betul-betul sampai ke bawah. Memang, ada orang yang membacanya berbeda (ada kritik bahwa blusukan Jokowi tidak bermanfaat- Red). Ya, itu salahnya orang yang ‘salah baca’ itu. Karena, ndak mungkin ada sebuah design policy bisa tepat sasaran kalau kita tidak pernah mendengar, kita tidak tahu, dan tidak pernah datang ke lapangan. 

Meski untuk itu butuh energi yang lebih?
Kalau saya pergi ke suatu tempat, itu pasti karena sudah ada informasi bahwa di sana ada masalah yang tidak umum, menarik, dan berbeda. Pasti sudah ada tim advance yang datang ke sana terlebih dahulu. Ada orang yang senang kelihatan, ada yang senang tidak kelihatan. Kalau saya senang yang tidak kelihatan, yang kalau pergi ke sana, ya, ndak perlu kelihatan, pengawalan saya juga ndak perlu berlebihan. 

Akan tetap blusukan setelah menjadi RI 1? 
Sama saja, tidak ada yang berbeda. Hanya skalanya memang lebih luas. Ya, nanti ada beberapa yang pakai e-blusukan. Kenapa tidak? Ada beberapa yang bisa pakai Skype. Tinggal dikombinasi, ada e-blus-nya, juga ada yang datang langsung. Karena, human-nya harus disentuh.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?