Trending Topic
Jebakan Popularitas

18 Nov 2013


Wajah imut-imut tanpa dosa, tingkah lucu, serta suara cadel anak-anak menjadi alternatif hiburan paling hits di layar kaca belakangan ini. Melalui berbagai ajang unjuk bakat di televisi, mereka memamerkan kebolehannya dalam menyanyi, menari, berpuisi, bahkan menghafal ayat  suci Alquran!

Tidak hanya berhasil merebut hati orang dewasa, acara ini juga menjadi tontonan favorit anak-anak. Namun, di balik tayangan menghibur ini terselip fakta-fakta yang masih menimbulkan pro dan kontra. Sudahkah kepentingan dan hak anak-anak yang belum mampu menimbang keputusan itu terlindungi?

Barisan penggemar, dewasa dan anak-anak, tampak mengular di sepanjang jalan yang dilalui para bintang cilik Little Miss Indonesia (LMI) 2013 di acara grand final. Riuh pekik dan tepuk tangan mereka menyambut kehadiran Alifa, Pelangi, dan Talitha --yang hari itu diantar sedan mewah limosin warna hitam-- sukses menghadirkan acara red carpet ala bintang.

Betapa lucunya juga Adi (3), saat tampil dengan baju koko dan peci miringnya di atas panggung Hafidz Indonesia, ajang menghafal ayat suci Alquran untuk anak-anak produksi RCTI. Suaranya yang terkadang meletup, mengagetkan, dan lafal cadelnya saat menghafalkan ayat-ayat suci Alquran membuat siapa pun gemas dan jatuh cinta pada balita ini!

Tidak hanya saat pentas, para calon bintang cilik ini sudah memikat hati sejak sesi audisi. Salah satunya, Cintha, peserta Idola Cilik 2013 asal Medan yang aksinya dipunggah di Youtube. Di tengah menyanyi, Cintha mengeluarkan suara serupa geraman, yang rupanya merupakan salah satu usahanya untuk berimprovisasi. Kontan, tawa juri langsung meledak!

Kepiawaian media memadukan unsur drama dan realitas yang terekam selama proses audisi, penjurian, hingga pengumuman pemenang berhasil membuat penonton sulit beranjak dari muka televisi! Tidak heran jika acara semacam ini selalu berhasil meraih rating tinggi.

Lembaga survei global Nielsen mencatat bahwa di sepanjang tahun 2012, ajang pencarian bakat berhasil menjadi tayangan paling favorit. Terbukti dari meningkatnya jumlah penonton (usia 5+) yang mencapai 1,2 juta orang! Naik 28% dari jumlah penonton di tahun sebelumnya.

Tayangan Little Miss Indonesia (SCTV), misalnya. Selama Januari hingga Juli 2013, berhasil menguasai saluran tontonan (di jam yang sama) hingga 20,3%, dengan rata-rata jumlah penonton mencapai 1.337.000 orang. Tidak heran apabila dari segi rating acara ini berhasil menembus peringkat pertama. Mengikuti di belakangnya Superboy Indonesia 2013 (SCTV) dengan 1.201.000 penonton, Hafidz Indonesia (RCTI) dengan 1.028.000 penonton, dan Idola Cilik 2013 (RCTI) dengan 881.000 penonton.

Respons pasar yang tinggi ini memicu sebuah fenomena yang dalam dunia penyiaran dikenal dengan istilah ’me too program’, di mana stasiun televisi berbondong-bondong memproduksi program serupa dengan berbagai variasinya. Beberapa dari kita tentu masih ingat acara Popstars, ajang pencarian bintang pop produksi Trans TV yang pertama tayang pada September 2003. Meski tidak terlalu booming, Popstars merupakan pelopor ajang pencarian bakat yang dikemas dalam gaya reality show yang menghibur.

Tiga bulan kemudian muncul Akademi Fantasi Indosiar (AFI), yang kemudian tersaingi oleh Indonesian Idol, produk lisensi dari Fremantle Media yang mulai ditayangkan RCTI pada Maret 2004. Hingga kini setidaknya ada lebih dari selusin ajang pencarian bakat di televisi, termasuk di dalamnya yang khusus ditujukan untuk anak-anak, seperti Pildacil (ANTV), Hafidz Indonesia, Idola Cilik, Superboy, dan Little Miss Indonesia.

’Perang’ perebutan rating pun dimulai. Demi terlihat tetap eksklusif dan menonjol di tengah keramaian, masing-masing stasiun televisi berlomba-lomba mengemas acara semenarik dan seunik mungkin. Tujuannya, apa lagi kalau bukan berusaha merebut perhatian penonton dan menahan mereka agar tidak berganti saluran.
Pengamat media dari Universitas Indonesia, Nina Mutmainnah Armando, melihat bahwa dorongan kuat untuk meraih rating tinggi ini disadari atau tidak menjadi sebuah jebakan bagi para pelaku penyiaran.

”Sebagai epigon atau peniru yang pertama, ia (pelaku penyiaran) akan berupaya mencari unsur novelty atau ketidaklaziman yang lebih kental, yaitu unsur ’x’ yang lebih menarik perhatian. ’Hal-hal aneh’ yang sering kali menabrak etika bisa masuk ke sana,” papar mantan wakil ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat ini.

Keinginan ngetop juga bisa menjadi jebakan bagi orang tua anak peserta kontes bakat. Orang tua mana yang tidak bangga kehebatan anak-anaknya ditonton seantero tanah air? Apalagi, jika menang, selain hadiah yang tidak sedikit, sejumlah kontrak tampil di berbagai acara online dan offline sudah menanti. Apakah mereka sudah siap juga dengan konsekuensi dari popularitas yang harus diemban anak-anak di usianya yang sangat dini ini?

”Saya, sih, tidak memikirkan dampak popularitas. Tapi, kalau memikirkan bahwa ini kesempatan anak saya dikenal, bisa jadi artis, itu iya. Menurut saya itu manusiawi. Kalau memang bisa, kenapa tidak?” ungkap Ruth, ibunda Cantika (7), salah satu peserta LMI yang berusia 6 tahun, saat mengikuti seleksi.

Menurut psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si, harapan yang diungkapkan Ruth itu wajar saja. Tetapi, akan menjadi masalah ketika, karena ambisi pribadi mengejar popularitas, orang tua secara tidak sadar memaksa anak. Akibatnya, anak mengalami tekanan, baik secara mental maupun fisik.

Produser program televisi Cornel Pangaribuan mengaku beberapa kali menjumpai kasus serupa di program kontes bakat anak yang dipegangnya. Biasanya, anak-anak yang dipaksa orang tua akan sering rewel, bahkan mogok tampil saat di depan kamera. Hal-hal berbau ’pemaksaan’ ini bahkan sudah coba dieliminasi sejak  audisi.

”Dari proses audisi saja, anak-anak yang terlihat sebagai bentukan ambisi orang tuanya  sudah pasti tidak saya loloskan. Ini terlihat jelas karena anak kecil tidak mungkin bohong. Pasti tiap orang tua ingin anaknya menang, tapi bukan berarti memaksakan kehendaknya buat si anak,” ungkap Uya Kuya, salah satu juri kontes bakat LMI.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?