Fiction
Janji Langit [1]

21 May 2013


Aku menengadah. Langit penuh gelayut awan hitam menjanjikan hujan. Setahuku, langit hampir selalu menepati janjinya. Setelah meraih payung dan jaket, aku bergegas setengah berlari menuju ke suatu tempat. Janji langit mungkin mendahului aku. Tapi biarlah, aku juga punya janjiku sendiri. Dan aku pun selalu menepati janji, seperti langit.

Saat langit menepati janjinya, aku belum lagi mencapai tempat itu. Hingga ketika akhirnya sampai, aku nyaris basah kuyup. Payung dan jaketku tak mampu mengatasi betapa bersungguh-sungguhnya langit menepati janjinya. Ragu-ragu aku berdiri di depan pintu kafe kecil yang hangat itu. Apakah mereka memperbolehkan aku yang basah kuyup ini masuk dan duduk?

Aku kaget saat pintu kafé tiba-tiba terkuak, menimbulkan bunyi lonceng yang berdenting lembut. “Mari, segera masuk!” Sebuah tangan yang kering dan hangat dengan mantap meraih tanganku dan menariknya ke dalam. Sebelum aku sempat berpikir, sebuah kursi sudah ditarik dan bahuku dengan lembut ditekan hingga aku terduduk.

“Tapi …,” aku mencoba membuka mulut, “aku basah.”
Sebuah handuk kecil kering dan tebal dengan cepat sudah berada di atas meja di depanku. “Tak apa. Kursi, toh, tak bakalan masuk angin hanya karena air, tapi manusia  bisa.”
Dengan penuh syukur aku menyeka tubuh sebisanya dengan handuk itu. Tidak bisa kering, tentu saja, tapi paling tidak aku sudah tidak seperti atap bocor yang menetes-neteskan air.
“Mau pesan apa,  Nona?”

Sebuah buku berisi deretan menu diletakkan di hadapanku. Aku bahkan tak memerlukannya karena sudah hafal isinya.
“Cokelat panas, please.”
“Itu saja?”
Aku mengangguk, mengabaikan perutku yang keroncongan menuntut seporsi makanan yang pantas.
“Itu saja dulu. Nanti saya pesan lagi.”
“Anda menunggu seseorang?”
“Saya ada janji dengan seseorang.”

Dengan anggukan sopan, dia berlalu untuk menyiapkan pesananku. Dalam suasana hati yang gelisah, aku tak punya kepekaan mempelajari kondisi di sekelilingku. Betapa orang yang menarik tanganku dari depan pintu, memberikan tempat duduk dan handuk kering adalah orang yang terlihat familiar, namun selalu luput menarik perhatianku karena biasanya aku datang ke kafe ini untuk membicarakan dan memikirkan hal-hal yang menyita perhatian.

Juga karena biasanya aku tidak berada di sini sendiri. Hanya hal itulah satu-satunya kondisi yang dengan cepat kusadari bahwa aku sendirian di kafé ini. Padahal, sudah jam segini. Seharusnya orang yang berjanji denganku sudah berada di sini pula. Dia tahu aku hanya membutuhkan lima belas menit berjalan kaki dari rumah ke tempat ini dan aku sudah berangkat sejak hampir setengah jam lalu agar tidak terlambat.

Tapi, hujan sedemikian lebat, ternyata memperlambat perjalananku hingga beberapa puluh menit. Seharusnya dia sudah datang lebih dulu. Seharusnya dia sudah di sini. Seharusnya janji langit tak menghalangi janjinya. Bukankah dia punya mobil, sedangkan aku hanya bisa berjalan kaki? Tapi lihat, di mana dia?
“Cokelat panasnya, Nona.”

Aku otomatis mengangguk. Dia pun tak menuntut reaksi lebih. Dengan suara langkah kaki yang ringan, dia berlalu.
“Terima kasih,” bisikku, menyadari betapa telatnya hal itu seharusnya diucapkan. Memikirkan kedatangan seseorang yang terlambat menepati janjinya membuatku telat bereaksi pula.
Lima belas menit. Setengah jam. Cokelat panasku sudah tandas. Dengan gelisah aku membuang pandang ke luar jendela yang masih dihantam jarum-jarum hujan yang tajam dan lebat. Tangan kananku menggenggam ponsel dengan mata yang berkali-kali melirik ke layarnya yang gelap. Pesanku sudah diterima olehnya, mestinya. Tak hanya satu. Sejak menjelang berangkat, aku sudah berkabar. Tapi, balasannya hanya sepi. Untuk menelepon, rasanya aku sudah kehilangan minat.

Tapi, tiba-tiba ponselku bergetar dan layarnya bercahaya. Kamu sudah sampai kafe? Telat baca SMS, ada meeting. Lupa kita janjian. Kl blm smp, batal sj. Besok sore sj, ok, hun? Love you.

Hanya karena menimbang-nimbang harga ponselku yang cukup lumayan, aku memutuskan tidak membanting benda yang menyampaikan pesan sialan itu. Bagaimana mungkin dia begitu tidak mengenalku sehingga berpikir aku tidak menepati janji dengan belum sampai di kafe tempat kami seharusnya bertemu?

Tiga setengah tahun dan dia tetap tak juga mengenal sifatku yang mirip langit dalam hal janji. Bahkan seingatku, pembatalan janji sepihak pada waktu yang sudah sangat telat seperti ini bukan yang pertama kali. Ini sudah yang ke… dua puluh, tiga puluh atau berpuluh-puluh kalinya, bahkan. Mengingat-ingatnya saja bahkan sudah membuatku muak dan luar biasa marah.

“Mau tambah cokelat panasnya? Atau mungkin menu lain?” suara hangat itu menyapa lagi. Kali ini aku menengadahkan wajah. Mengabaikan suara derai hujan yang menderas di luar sana. Mengabaikan air mata yang sudah di pelupuk mata, didorong oleh amarah dan kecewa luar biasa. Mengabaikan si pemilik janji yang lagi-lagi tak ditepati.

“Ada rekomendasi menu?” aku balik bertanya, untuk pertama kalinya menyerap proses pengenalan terhadap si pemilik suara. Pria itu, pertengahan tiga puluhan kukira, memang tidak mencolok secara fisik. Tidak buruk, tapi juga tidak setampan itu untuk menarik perhatian dengan konstruksi wajah dan tulang yang ‘lelaki sekali’.

Tubuhnya ramping berotot dengan tinggi yang cukup, tapi tidak terlalu jangkung, yang membuatnya berbeda dari orang lain. Gaya pakaiannya pun kasual saja dengan T-shirt hitam bergambar band Kiss dan celana jeans biru pudar. Serba biasa. Pria seperti ini akan segera lost in the crowd. Pantaslah aku selama ini tidak terlalu memperhatikan sosoknya.
Pria itu, sambil tersenyum, menjawabku, “Untuk suasana hati seperti apa? Ada menu-menu khusus yang sesuai.” Kuperhatikan ada kerutan di sekitar matanya saat dia tersenyum. Dan senyumnya yang khas dan kekanakan, secara ajaib membuat wajahnya begitu hangat dan menyenangkan untuk dipandang.

“Untuk suasana galau,” kataku, sambil balas tersenyum.
“Kalau begitu kau perlu mengisi perut sampai kenyang dengan makanan yang pantas dan minuman hangat.” Dia lagi-lagi tersenyum. Wajah yang diam-diam mulai kunikmati dengan senyum kekanakan yang kontras dengan kontur wajah ‘lelaki banget’-nya.
“Ada saran menu yang bisa kupilih?”
“Apa saja yang kau suka. Dan seorang teman bicara. Itu mood booster yang tepat.”
Kali ini aku yang tersenyum. “Anda bersedia?” aku bertanya.
“Tentu. Lagi pula sedang tak ada pengunjung.”
Aku diam sejenak. “Bersedia saja tak cukup. Anda bisa dipercaya?”
Pria itu dengan mantap mengangguk. “Ya. Ini janji.”

Hatiku mendadak sakit mendengar sebuah janji lagi. Janji yang mungkin lagi-lai tak ditepati. “Bagaiamana saya tahu Anda akan menepati janji?”
Pria itu, menatapku dengan sinar mata yang hangat seolah-olah sudah tahu apa yang kurasakan. Mata itu berkerut saat dia tersenyum sambil berkata, “Sambil saya buatkan makanan yang tepat untuk perut Anda yang kelaparan dan minuman hangat, Anda bisa memikirkan hal ini untuk bisa memercayai saya: mulai besok saya tak ada di sini lagi dan saya tak bisa ditemukan di mana pun di negeri ini sampai beberapa saat. Sounds promising?”
***
KALAU KAU PIKIR ceritaku pada pria itu akan jadi panjang, bertele-tele dan tak lupa bernuansa sendu di sana-sini, kau salah besar. Aku tipe gadis yang praktis dan sederhana. Apa yang terjadi dan kurasakan, itulah yang kuceritakan. Yang terjadi hanya sedikit, namun banyak membuat luka.

Kejadian itu hanyalah meliputi janji-janji. Janji-jani yang begitu gampang terucap dari orang-orang yang kukenal baik, bahkan kucintai. Janji-janji yang cedera karena tak ditepati, oleh orang-orang yang mengenalku sangat baik bahkan menyatakan mencintai aku. Tapi, ternyata mereka tak cukup baik mengenal aku dan ikatanku terhadap janji. Mereka tak cukup mengenali betapa aku hampir selalu berusaha menepati janji-janjiku. Bahwa aku mengharapkan hal serupa dari mereka. Bahwa janji yang diingkari adalah hal yang paling membuat terluka.

Adalah bosku yang gemar menjanjikan bonus, yang lalu begitu saja dilupakannya, tak peduli betapa kerasnya aku bekerja dan berapa target yang telah kulampaui. Aku yang harus berkali-kali mengobati diri dari serangan kecewa dengan berkata pada diri sendiri, “Hai diriku, jangan pernah mencontoh si bos itu, orang yang bermartabat selalu memegang janjinya.”

Adalah teman-teman kerjaku yang bekerja dengan seadanya, tidak peduli hal itu menumpulkan otaknya. Tak ada greget untuk menepati tenggat. Tak ada niat untuk mengupayakan lebih. Bahkan dengan senang hati membiarkan aku, yang paling tak tahan dengan janji tenggat yang tak ditepati, mengambil alih menyelesaikan pekerjaan sambil berpacu dengan waktu yang sudah terlalu banyak terbuang percuma.

Adalah teman-teman  baikku yang beberapa kali membuatku termangu sendiri di depan sebuah bioskop, restoran, pusat kebugaran, atau di tempat lain lantaran janji yang dibatalkan sepihak begitu saja pada saat terakhir. Bagaimana mungkin mereka sedemikian tidak mengenal aku, yang sudah pasti menepati janji, dengan membatalkan janji sebelum aku telanjur sampai di lokasi? Sungguh hal-hal bodoh sepele yang membuatku tak habis pikir.

Dan puncaknya  adalah kekasihku yang berkali-kali mengatakan mencintai aku, tapi ternyata tak pernah cukup baik mengenalku yang selalu terluka dengan janji-janjinya yang diingkari begitu saja. Bahkan setelah tiga setengah tahun, aku tak kunjung dipelajarinya dengan lebih baik. Bisa jadi dia menganggap janji adalah hal yang sepele dan bisa diganti ulang kapan saja. Tapi, dia tak pernah mau belajar bahwa ada pribadi lain yang sangat menghargai janji.

 “PADAHAL INI TENTANG pernikahan kalian?” begitu dia merespons dengan nada biasa.
“Ya. Kami sudah berjanji bertemu sore ini untuk membicarakan pernikahan itu. Aku tidak ingin yang berlebihan, tapi keluarganya berkeras menyelenggarakan pesta besar-besaran,” kataku, sambil mendorong sepiring nasi goreng ikan asin yang sudah tandas dan memberikan kenyamanan luar biasa bagi perutku yang keroncongan.

“Menurut dia, kekasihku itu, ini hal sepele. Makin besar pestanya,  makin baik. Karena dia punya posisi terpandang di kantor biro hukumnya. Biar makin banyak orang hadir dan dibuat terpesona. Tapi, aku –calon pengantinnya-- tidak suka. Dan sore ini kami berjanji akan mencari solusinya di sini. Bagaimana mungkin dia mengabaikan itu?”
Pria dari kafe itu lagi-lagi tersenyum dan seketika wajahnya bersinar bagaikan seorang bocah yang kegirangan.

“Dan apa pekerjaanmu?” balasnya. Aku bingung sejenak. Rasanya pertanyaan itu begitu tidak nyambung. Tapi aku menjawab juga, “Travel writer. Penulis perjalanan. Aku orang yang suka bertualang dan membagikan pengalaman pada pembacaku.”
Pria itu mengangguk singkat. Sinar matanya begitu hangat.

“Pekerjaan yang menyenangkan sekali. Kuharap dalam pengalaman perjalananmu, kau menemukan orang-orang yang tidak mengecewakanmu dan janjimu.”
Aku meneguk teh panasku yang kental dan manisnya begitu pas. Pria ini sangat layak memiliki kafe mungil ini karena tangannya begitu ajaib menghasilkan berbagai santapan lezat.

“Sejujurnya, banyak. Sayangnya, mereka itu justru teman-teman yang bertemu di perjalanan atau semacam itu. Mereka, sesama traveler, memiliki solidaritas tinggi. Dan cukup menghargai janji. Mungkin karena kami berada di tempat asing dan hanya bisa saling mengandalkan. Tapi, kalau tentang orang-orang dekatku, masalahnya justru berbeda. Juga dengan calon suamiku. Mereka mungkin merasa sudah cukup dekat denganku hingga apa pun perasaanku, termasuk kecewa dan muak dengan janji-janji mereka yang cedera, tak akan memengaruhi kedekatan kami. Mereka sudah menyepelekan perasaanku.”

“Maaf, Nona. Tapi sepertinya ini bukan pertama kalinya kau dibiarkan menanti sendiri di tempat ini. Benarkah?”
Aku menunduk, tersengat oleh rasa malu. “Ya. Janji-janji padaku sering dicederai, memang. Rupanya kau memperhatikan?”
Pria itu terdiam sejenak. Dia tak membuat hidangan apa pun untuk dirinya sendiri, kecuali secangkir kopi panas yang kini dia teguk pelan-pelan. Sementara di luar malam kian larut. Derai hujan sudah mulai membosan dan turun perlahan saja, hanya sisa-sisa janji langit yang kini tertinggal.

“Dan apa yang akan kau lakukan? Tentang rencana pernikahan ini? Tentang protesmu akan pesta besar-besaran yang sepertinya terabaikan? Tentang calon suamimu yang tak datang menemuimu di sini sore ini untuk membicarakannya?”

Aku menghela napas. Aku tahu jawaban pertanyaan itu. Aku begitu ingin jujur mengucapkannya, tapi semua tertahan di tenggorokan saja.
“Entahlah,” hanya itu yang mampu kujawab dengan nada putus asa. Aku tahu jawabannya. Aku tahu apa yang kuinginkan. Tapi tetap saja, lidahku kelu. Aku tak yakin apakah keinginan itu bisa seiring sejalan dengan keberanianku.

Pria dari kafe itu tidak mendesakku. Setelah beberapa lama bicara dengannya, aku mulai menyerap pemahaman tentang pria ini selain senyum kekanakannya yang khas. Dia pendengar yang baik dan cukup berhati-hati untuk tidak melangkahi batas. Dia menjaga  privasiku dengan hanya mendengar dan mempertanyakan apa yang kuceritakan. Selebihnya yang kusimpan di hati, dia tidak berusaha menggalinya. Pria ini, orang yang tak pernah kukenal ini, lagi-lagi ternyata memahami aku lebih daripada orang-orang dekatku.

“Baiklah. Aku yakin kau punya jawaban yang benar dan bagus. Semoga bisa kau wujudkan,” pria itu mengatakan dengan nada ringan sambil memamerkan lagi senyum khasnya. Aku terkejut, merasa seperti berhadapan dengan seorang pembaca pikiran. Ah, tapi dia hanya pria biasa pemilik kafe mungil dengan hidangan yang lezat.
Aku memundurkan kursi dan berdiri.

“Sudah larut. Maaf mengganggumu dengan ceritaku. Sebaiknya aku pulang dulu.” Aku mengemasi tas mungil, ponsel dan dompetku setelah menarik beberapa lembar uang dari dalamnya.
“Oh, tidak usah,” pria itu menyodorkan kembali uangku. “Kali ini gratis. Sungguh. Semoga suasana hatimu bisa membaik.”
Aku tersenyum. Setelah segala kekecewaan ini, rasa simpati dari orang yang tak dikenal justru yang memberikan kelegaan besar.
“Terima kasih. Sampai jumpa.”

Aku membuka pintu kafe, yang loncengnya berdenting lembut saat pintu terbuka, dan segera mengembangkan payungku sebelum berlalu membaur dengan lalu lintas yang tersendat oleh sisa-sisa hujan. Aku menoleh sekali dan lagi-lagi tersenyum.
Pria itu berdiri di depan pintu kafenya dengan senyum terkembang. Tangannya melambai mengucap selamat jalan. Aku balas melambai. T-shirt bergambar band Kiss-nya membuatku tersenyum. Perasaanku begitu ringan. Dan bahagia. Seolah-olah bahuku telah menjatuhkan beberapa kilo beban.

Aku yakin kau punya jawaban yang benar dan bagus. Semoga bisa kau wujudkan. Sambil menelusuri trotoar jalan, aku merenungi kata-kata itu. Pria itu benar. Aku memang tahu jawabannya dan harus mewujudkan keinginanku sendiri.
Yang kemudian baru kusadari adalah bahwa kami tak saling memperkenalkan nama. Dan bahkan aku lupa bertanya, mengapa pria itu berkata besok aku tak akan melihatnya lagi di mana pun di negeri ini sampai beberapa waktu?
***
SETENGAH MENGHAMBUR, aku membuka pintu kafe dengan gerakan mantap dan cepat. Lonceng lembut berdenting-denting. Beberapa pasang mata pengunjung kafe menatapku sejenak sebelum kemudian kembali asyik dengan kegiatannya masing-masing.

Aku yakin mereka semua mempertanyakan seorang gadis dengan penampilan seperti ini tiba-tiba masuk menghambur ke dalam kafe tenang itu di pagi hari. Tapi, aku tak peduli. Langkahku yang cepat  tapi mantap lurus menuju ke meja counter dengan detak suara sepatu hak tinggiku menghantam lantai.

“Maaf, saya mencari ....,” aku kebingungan sejenak. Aku mencari dia, pria dari kafe itu. Tapi, aku bahkan tak tahu namanya. Dan seorang pria yang berada di belakang meja counter sekarang, bukanlah dia. Pria itu jauh lebih tua dan mengenakan baju khas chef langkap dengan topi menjulang. Dia mengernyit begitu melihatku. Kurasa, dia juga takjub dengan penampilanku.

“Anda mencari siapa, Nona?” sapanya dengan nada ramah dan senyum terkembang. Aku segera mengenali ciri senyum itu.
“Saya mencari…,” aku mengedarkan pandang ke seluruh penjuru ruangan, tapi tak menemukan yang kucari. “Pria yang biasanya di sini. Di mana dia?”
“Ah,” pria tua itu mengangguk, tanda mengerti. “Maksudnya Francis, anak saya? Dia sudah pergi.”

Aku tercenung kebingungan sebelum akhirnya ingat pria itu memang mengatakan tak akan ada lagi di sini keesokan harinya setelah kedatanganku tempo hari. Dan itu kira-kira sebulan yang lalu. Kini aku tahu dia bernama Francis, anak pria tua dengan senyum khas yang serupa ini.

“Dia menjalankan kafe ini untuk menepati janjinya pada saya. Selama saya sakit dan dalam masa pemulihan, Francis yang mengurus usaha keluarga kami ini. Kini saya sudah sepenuhnya pulih sehingga dia pergi memenuhi janjinya yang lain,” Pak Tua itu menjelaskan dengan sabar.

“Francis berjanji pada dirinya sendiri untuk menjelajah dunia sebanyak mungkin. Sejak muda dia telah bekerja keras dan menabung untuk itu. Sekarang bisa saja dia sedang di Nepal, Tibet, Praha, atau di mana pun. Dia akan keliling dunia selama beberapa bulan. Sekarang sudah sebulan sejak dia berangkat.”
Awan kebingungan mulai menipis. Perlahan-lahan cerita itu mulai terserap ke benakku. Ah, Francis. Semoga kita bisa bertemu lagi. Mungkin di salah satu perjalanan kita bisa berpapasan lagi.

“Apakah saya bisa memakai toilet?” tanyaku buru-buru. Meski dengan raut wajah keheranan, pak tua itu menunjukkan tempatnya. Di dalam toilet, dengan tergesa-gesa aku melepas gaun putih panjang berbahan kain nan lembut melambai yang kukenakan. Melipatnya seadanya dan memasukkannya dalam dust bag.

Dari dalam ransel kecil yang kutenteng, aku mengeluarkan sehelai kaus yang nyaman, celana kargo yang tangguh tapi cukup trendi, serta sepasang sepatu sneakers merah. Kaus dan celana kargo segera kukenakan. Terakhir, aku menendang lepas sepatu satin putih bersih berhak tinggi yang kukenakan, menjejalkannya bersama gaun putih, lalu dengan penuh syukur mengenakan kaus kaki dan sneakers merah itu. Sempurna dan nyaman. Di depan kaca toilet aku menghapus rias wajah hingga menjadi tipis dan alami. Lalu dengan perasaan penuh kemenangan aku keluar dari toilet dan menghampiri meja kasir. Pak tua itu sudah kembali berjaga di sana.

“Ah, tugas pendamping pengantinmu sudah selesai rupanya?” sapanya dengan senyum khas itu. “Gaun indahmu sudah bertukar dengan pakaian yang bersemangat.”
Aku tersenyum mendengar kata-katanya yang hangat. Pakaian yang bersemangat!
“Boleh saya menitipkan ini untuk Francis, kalau nanti dia kembali?” aku mengangsurkan sebuah amplop segi empat berwarna emas lembut dan elegan.

“Dan ini adalah?” Pak Tua menerima amplop itu, mengamatinya dengan bingung.
“Undangan pernikahan,” jawabku ringan. “Maksud saya, tadinya itu undangan pernikahan antara Bram Prasetyo dengan Langit Kirana.”
“Apa maksudmu dengan ‘tadinya’?”
“Tadinya, itu undangan pernikahan yang akan dilakukan dua jam lagi dari sekarang. Tapi, kini tidak berlaku lagi.”
Pak Tua mengangkat wajahnya dan menatapku dengan bingung.
Aku tersenyum lebar dan menatapnya dengan hangat.

“Karena calon pengantin wanitanya tidak menepati janji. Karena sekali saja dalam hidupnya, si pengantin wanita ingin merasakan menjadi orang yang ingkar janji dan melihat apakah orang yang diingkari merasa sekecewa dirinya karena janji yang dicederai. Karena si pengantin wanita tahu apa yang dia inginkan dan harus diwujudkannya. Sekali saja.”
Aku menyandang ransel yang kini berisi gaun pengantin indah dan sepatu bertumit tinggi itu.
 “Selamat tinggal,” aku menepuk tangan Pak Tua  ringan.

Di luar kafe, aku membuang ransel kecilku ke sebuah tempat sampah besar, lalu mencegat taksi dan mengatakan pada sopirnya untuk membawaku ke bandara. Ransel besarku yang tadi kuletakkan di luar pintu kafe kini yang akan menemaniku menjelajah dunia lagi, dengan harapan di suatu tempat akan berpapasan lagi dengan Francis, si pria biasa-biasa saja dari kafe itu, yang memegang janji seperti langit.
Lewat jendela taksi aku menengadah. Langit biru di atasku berjanji tak akan ada hujan hari ini.

* * *
Theresia Aniek Soetaryo


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?