Fiction
Janji di Negeri Titi [1]

27 Aug 2013


Bagian I


Pulau Mentawai
Hari Pertama. Pagi
Gemercik air yang mengalir dari jarak puluhan meter di atas tanah bersahut-sahutan dengan suara binatang di kejauhan. Terdengar seolah meramu sebuah orkestrasi semesta yang tak tertandingi oleh komposisi musik buatan manusia paling genius sekalipun. Mentari terpaku tepat di atas kepala dan sinarnya berhasil menyelinap di antara rongga pepohonan yang padat di tengah belantara hutan. Percikan air yang terbang ke udara memantulkan semburat warna pelangi.

Aku merasa sangat beruntung. Belum lama kaki menginjak tanah yang lembap ini, namun telah menangkap pemandangan yang sangat langka di tempat tinggalku yang berada ratusan kilometer dari pulau ini.

Letih yang menggelayuti pundak dan pegal yang menjegal kaki setelah menempuh  perjalanan belasan jam, seketika sirna setelah menikmati sepenggal lukisan alam di pulau ini. Selepas mendarat dari penerbangan sekitar dua jam dari tempat tinggalku di Jakarta, aku melanjutkan perjalanan ke pelabuhan di pesisir Sumatra bagian barat. Dengan naik kapal yang sudah renta, aku harus menyeberangi Samudra Hindia selama 12 jam untuk berlabuh di muara Siberut.

Selama mengarungi lautan, aku tak bisa merebahkan tubuh. Kapal yang kutumpangi berlayar dengan oleng akibat disesaki penumpang yang melebihi kapasitasnya. Tubuhku berdesakan dengan kardus dan karung berisi bermacam barang dan hewan ternak.
Menepi di muara, aku menghela napas lega, meskipun sadar perjalanan belum berakhir.  Disambut oleh Soru, pemandu yang kusewa selama perjalanan ini, kemudian kami menyusuri sungai dengan perahu bermotor hingga tiba di suatu perkampungan. Lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki. Kami membelah hutan, mendaki dan menuruni tanah yang bertekstur tak rata dan diapit oleh tebing dan jurang yang curam. Akhirnya, di sinilah aku berada, di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai.

Air terjun yang baru aku jumpai enam jam lalu ini memberi kesuburan di tengah hutan. Pepohonan tampak tumbuh lebih rimbun. Pecahan bebatuan tak luput disinggahi oleh lumut yang bermutasi dengan leluasa. Di sini waktu berhenti berputar. Aku menghabiskan waktu hanya dengan termenung di sebuah batu mengamati tetesan air terjun dan menelusuri pelangi yang berkenan mewarnai langit. Sesekali membuka buku ataupun merelaksasi tubuh dengan meditasi dan yoga. Airnya yang bening selalu menggodaku untuk meneguknya jika kering menyerang tenggorokan.

                        *****
Tubuhku tengah terlipat melakukan balasana, gerakan yoga seperti posisi janin dalam rahim ibu yang selalu berhasil mengurai gelisah. Air meloncat ke tubuhku, membuat konsentrasiku buyar. Seorang lelaki tiba-tiba muncul di bawah air terjun. Sayup tertangkap oleh telingaku, ia seperti melantunkan nyanyian. Mataku menyusuri deretan huruf di buku dan berusaha tak menghiraukan kehadirannya. Tapi, aku tetap tak bisa konsentrasi seperti semula. Pandanganku tertuju ke arah tenda yang telah terpasang. Soru sibuk memainkan jemarinya di telepon genggam dan tak mengirim sinyal bahwa kehadiran lelaki itu berbahaya. Napasku yang sempat menderu mulai mereda. Sedikit demi sedikit konsentrasiku kembali terkumpul.
”Aloitta (salam).”
Aku mengalihkan pandangan dari buku dan sempat terperanjat. Lelaki yang terakhir kulihat sedang bersenandung di bawah pancuran, kini berdiri hanya berjarak sejengkal tangan dari tempatku. Seketika jantungku berdetak kencang. Setelah mengatur napas agar lebih melambat, aku tersenyum sekadar berbasa-basi.
Terlihat wajahnya yang cukup menarik, seperti kebanyakan penghuni pulau ini. Bermata agak sipit dan berkulit kuning langsat khas etnis Melayu Polinesia. Garis rahangnya yang tegas seakan melambangkan sifat pemiliknya yang berhati keras. Tubuhnya hanya dibalut celana pendek yang basah. Butiran air masih bergelayut di dada dan lengannya yang dihias tato. Sepertinya ia memang penduduk asli pulau ini.
”Maaf kalau terganggu dengan kehadiranku,” katanya, tanpa memedulikan sikapku yang menjaga jarak. Logat bicaranya terdengar akrab di telingaku. Seperti orang-orang yang cukup lama tinggal di Jakarta.
”Mengingat air terjun ini tempat umum, tentu siapa pun bebas keluar masuk,” sahutku, tak acuh.  
”Pulau saja bisa dibeli dan dijadikan milik pribadi, apalagi air terjun.”
Aku menduga ia sengaja melempar pancingan untuk obrolan lebih lanjut, tapi aku enggan menanggapinya. Aku sedang tak berselera untuk mengobrol dengan orang lain. Sebab, tujuanku berada di sini untuk berbicara dengan diriku sendiri.
“Dari luar Mentawai?” ia kembali bertanya.
Aku mengangguk pelan tanpa memalingkan mataku dari buku yang kugenggam. Ya, aku masih ingat pesan ibuku bahwa sangat tidak sopan jika tak melihat lawan bicara. Tapi, aku ingin memberikan pertanda bahwa aku keberatan diajak bicara.  
“Dari buku yang kamu baca, sepertinya kamu sedang melakukan pencarian atas suatu jawaban.” Matanya menelusuri judul buku yang kupegang.  
Aku menutup buku dan menoleh ke arahnya dengan tatapan bertanya.
Dia tertawa ringan. “Maaf kalau dugaanku salah. Kalau memang benar, kamu tak perlu tersinggung. Karena aku juga mengalami hal yang sama.”
Kalimat yang meluncur dari mulutnya terdengar samar. Perhatianku justru tertuju pada tato yang menghiasi tubuhnya. Jalinan titik dan garis merangkai motif geometris merambati lengan kanan bagian atas, seperti yang kulihat di beberapa orang usia lanjut yang berada di pulau ini. Tetapi, kulit lelaki usia muda jarang digambar tato seperti itu.  Seperti tubuh Soru yang dilukis dengan gambar lidah yang menjulur, simbol grup musik Rolling Stones. Ketika kutanya arti gambar tatonya, Soru hanya menggeleng malu.  
“Tinggal di sini?” Rasa penasaranku tak tertahan lagi.
Dia menggeleng. “Hmm… ya dan tidak. Darah sebagai putra Mentawai mengalir di tubuhku. Tapi, aku dibuang untuk sekolah di Jakarta. Berlanjut bekerja di sana. Setelah hampir dua puluh tahun akhirnya aku pulang kampung.”
“Pulang kampung selalu menyenangkan. Membangkitkan kembali kenangan masa lalu, bernostalgia.”
Air hujan perlahan berjatuhan dari langit. Aku bersiap lari ke tenda.
“Wah, hujan! Kamu beruntung, kamu harus merasakan mandi di air terjun saat hujan,” kata lelaki itu, menghentikan langkahku.   
“Tidak, terima kasih.”  
“Ayolah, kamu pasti menyesal kalau tidak mencoba,” rayunya sekali lagi.
Aku menggeleng kencang.  
“Ayolah.” Ia mengulurkan tangannya, memintaku turun dari batu yang kupijak. “Tak ada salahnya dicoba dulu, ‘kan? Kalau ternyata tidak nyaman, aku tidak akan memaksa.”
Aku menepis uluran tangannya. Dengan berpegangan pada sebuah batu, aku menceburkan tubuh ke genangan air. Dingin yang menyergap kaki cepat merambati seluruh tubuhku. Setelah terendam dalam air justru terasa hangat. Perlahan aku berjalan mendekati tumpahan air dan merasakan sensasi relaksasi. Lelaki itu terus mendampingiku sambil menjaga jarak.
“Ayo, waktunya habis. Aku harus pergi sebelum gelap.” Lelaki itu memberikan isyarat agar aku segera naik.  “Kamu mau berkemah di sini?”
Aku mengangguk.
“Pertama kali datang ke pulau ini?”
Aku mengangguk lagi sambil merapatkan handuk yang membalut bahuku.
“Kamu ikut aku, ya. Yuk, bongkar tenda dan bereskan barangmu,” perintahnya, sambil berjalan ke tenda.  
“Ke mana?”
Tanpa menjawab pertanyaanku, lelaki itu memberikan instruksi kepada Soru untuk membereskan tenda. Aku menghalangi geraknya saat akan merobohkan tenda.
“Aku sarankan sebaiknya kamu tinggal di desa tempat tinggalku. Supaya kamu merasa aman, penjagamu bisa tetap ikut. Bagaimana?” akhirnya ia meminta pendapatku dulu.
“Kalau begitu, Soru tak perlu ikut,” jawabku, tanpa pikir panjang. Tak biasanya aku percaya begitu saja dengan ajakan orang asing.
“Oh sampai lupa kenalan. Namaku Lui.” Ia mengulurkan tangan. Aku menyambutnya.
“Maha,” jawabku.
Keningnya berkerut mendengar namaku. Namun, aku tak menghiraukannya. Ia kembali membereskan tenda, sementara aku menyiapkan uang untuk membayar sewa Soru sesuai perjanjian awal.  


Malam
Setelah susah payah keluar dari area air terjun yang berada di tengah hutan untuk menemui tepi sungai, aku dan Lui berpisah dengan Soru. Aku akan menumpang sampan milik Lui ke arah hilir. Sedangkan Soru menuju arah sebaliknya, pelabuhan di hulu sungai.
Selama dua jam, Lui mendayung sampan dengan cadik. Aku memaksa untuk menggantikannya. Tiga kali mengangkat cadik, napasku tersegal. Gelap mulai menguasai pandangan ketika sampan melambat dan akhirnya menepi.
Hanya berjalan sekitar sepuluh menit, langkah kami telah memasuki perkampungan. Kalau tak salah hitung, ada lima uma, sebutan untuk rumah panggung dengan ukuran yang mampu menampung sampai lima kepala keluarga. Setelah menaiki tangga, Lui menyapa sekelompok perempuan yang tengah bercengkerama di laibo, beranda yang biasa digunakan untuk menerima tamu. Mereka serentak menyambut dengan sapaan, “Aloitta!”
“Anaileoita,” balasku.

Diperkirakan usia mereka telah melewati angka setengah abad, namun tetap terlihat awet muda. Tubuh mereka dibalut sokgumai, rok sekadarnya yang dibuat dari jalinan serat kulit kayu dan daun. Lekkeu, gelang manik yang berwarna-warni menghias pangkal lengannya. Ada pula ngaleu, kalung manik berwarna bak pelangi yang bersusun melingkari leher mereka. Manik-manik yang terbuat dari kaca berwarna merah, kuning, hijau, putih dan hitam kontras dengan warna kulit.

Seperti halnya para lelaki paruh baya, tubuh para perempuan dihiasi tato dengan motif serupa. Kendati tanpa diberi aba-aba, mereka kompak mengamatiku dari ujung kepala sampai kaki, namun diakhiri dengan senyum yang tulus. Lui pamit untuk masuk ke dalam uma dan aku terus menguntitnya.

Rumah panggung terbuat dari kayu bakau dengan lantai dari batang nibung dan dinding dari kulit kayu, sedangkan atap rumbainya dari daun sagu. Di dalam ruangan terpajang kepala binatang hasil buruan yang telah diawetkan. Seperti yang dikatakan Lui, berburu adalah salah satu mata pencarian penduduk di kampung ini. Nah, kepala binatang yang dipajang dipercaya secara gaib akan menarik binatang lain sehingga mereka tak perlu takut kehabisan makanan.

Lui menghampiri seorang lelaki paruh baya yang ditemani seorang perempuan dengan usia yang tak terpaut jauh. Ia memperkenalkan lelaki itu sebagai ayahnya yang merupakan seorang sikerei, sebutan dukun adat. Tubuhnya dibalut dengan kabit, cawat yang terbuat dari kulit kayu, dan kepalanya diikat dengan sorat. Aku terkesima melihat tato yang menghiasi hampir seluruh tubuhnya.

Bajak Ruji, panggilan ayah Lui, menyambutku dengan senyum yang hangat. Sementara perempuan di dekatnya diperkenalkan dengan nama Ina Ama, adik perempuan Bajak Ruji yang seorang dukun beranak. Ina Ama yang penampilannya seperti perempuan yang kutemui di laibo tadi, menatapku tanpa berkedip, seakan menyelidik orang asing yang ada di hadapannya. Aku melempar senyum, namun diabaikan.

Melihat tingkahku yang serba salah, Lui menuntunku ke jairraba, area untuk tidur yang dikelilingi kelambu dari kain belacu sebagai pelindung dari gigitan nyamuk. Anak-anak kecil tertidur pulas hanya dialasi tikar dan bantalan penyangga kepala yang tipis.
“Kamu tidak keberatan tidur bersama yang lain, ‘kan? Atau mau di tempat biasa untuk tamu anak muda atau janda yang diusir dari uma milik kerabat suaminya?” tangannya menunjuk pada sebuah bilik yang disekat. Entah sindiran atau bukan, tapi mungkin ini memang pertanda. Aku akan menjadi janda. Segera.

Ina Ama memanggil Lui dan mereka bicara dalam bahasa yang belum kupahami. Penasaran aku berusaha mencerna artinya, tapi sia-sia.
“Ina Ama bilang, sebaiknya kamu segera mandi dan ikut kami makan,” Lui menerjemahkan. Aku mengangguk, meskipun masih dirundung bingung dengan pesan yang disampaikan perempuan yang terkesan dingin itu.

                    *****
Dalam hitungan lima menit, aku telah selesai cuci muka di sumur. Niat mengguyur tubuh untuk melepaskan keringat yang menempel, seketika aku urungkan setelah melihat kamar mandi yang berdinding bambu dan beratap langit. Aku menyusul ke tengah ruangan. Seisi rumah duduk mengelilingi hidangan makanan berupa sagu bakar dan ikan asap. Mereka menunggu kehadiranku.
Sebuah uma dihuni oleh beberapa kepala keluarga dari garis keturunan laki-laki. Suku pulau ini menganut sistem patriarkat.

“Di sini pantang untuk makan dalam piring sendiri. Kami benar-benar makan bersama dalam satu wadah,” bisik Lui. Setelah dipersilakan makan, tanpa ragu aku mengikuti mereka yang mengambil makanan dari bejana dengan tangan dan menyuapkannya ke mulut. Perut yang berderit sejak siang membuang rasa sungkan sebagai perempuan berdarah Jawa yang diasuh dengan unggah-ungguh. Lui tergelak,  tapi aku tak peduli.
Setelah kenyang menyerang perut, penghuni yang terbebas dari tugas membereskan dan mencuci bejana bekas makan maupun membersihkan lantai dari remah makanan, segera beranjak ke laibo untuk menghirup angin malam. Aku amati, penampilan anak muda tak seperti induk mereka. Gaya pakaian mereka tak ubahnya anak muda di kota yang gemar mengenakan kaus dan celana jeans atau rok yang dianggap modern.

“Dua puluh tahun tidak menginjak bumi ini, aku merasa seperti orang asing,” Lui merebahkan tubuh di lantai.
“Ibumu?” tiba-tiba aku teringat sosok ibunya yang tak terlihat sejak kedatanganku.
“Beliau meninggal saat melahirkan adik perempuanku yang hanya berumur satu minggu. Sejak itu, aku dibuang oleh Ukkui (ayah) ke salah satu kerabatnya yang merantau di Jakarta. Dia tak mau kehilangan nyawa orang yang dicintainya lagi.”
“Apa yang membuatmu akhirnya pulang?”
“Ukkui yang memintaku untuk pulang. Dulu dia tak mau kehilangan nyawaku. Tapi, sekarang dia bilang tak mau kehilangan jiwaku sebagai putra Mentawai. Dia khawatir, seperti yang kamu lihat sendiri, anak muda di sini bermimpi menjadi anak kota. Bukan hanya terkait pakaian, tapi juga filosofi hidup mereka, tato.”
“Tato?”
“Mereka tak mau lagi tubuhnya ditato seperti leluhurnya. Kecuali gambar tato yang mereka lihat di tubuh anak kota, seperti gambar tengkorak atau playboy,” selorohnya.
“Kapan terakhir tubuhmu ditato?”
“Tato pertama dan terakhir kalinya saat aku akil balik. Kebetulan Ukkui bukan hanya seorang sikerei, tapi sekaligus sipatiti, ahli tato.”
“Ada rencana akan bikin tato lagi?”
“Ukkui hanya mau menato tubuhku kalau aku mau memenuhi permintaannya.”
“Apa?”
“Tinggal di sini. Beliau memintaku meneruskan perannya sebagai sipatiti. Beliau khawatir tak ada anak muda yang tertarik mewarisi ilmunya.” Tatapannya menerawang.

Di pulau ini, tato yang disebut dengan istilah titi merupakan roh kehidupan. Tato berperan untuk menunjukkan identitas diri. Misalnya, ahli berburu, bisa dikenali dari gambar binatang tangkapannya yang diabadikan di tubuhnya. Atau seorang sikerei, seperti Bajak Ruji, juga bisa dideteksi dari tato bergambar bintang sibalu-balu di badannya. Tato juga dibuat untuk menunjukkan status sosial. Makin banyak tato yang menghias tubuh, pertanda  makin sejahtera hidupnya. Sebab, membuat tato membutuhkan biaya cukup besar.

Bahkan, bagi perempuan, tato bukan hanya sebagai perhiasan, melainkan juga sebagai lambang kesetiaan. Tato diyakini pula sebagai simbol keseimbangan alam. Manusia harus diselaraskan dengan alam melalui gambar hewan dan tumbuhan di tubuhnya. Bila tato tak dilestarikan lagi, para tetua  percaya, alam tak akan seimbang lagi.

Pembuatan tato hanya bisa dilakukan oleh sipatiti dan harus diawali dengan upacara adat. Pembuatan tato pun ada tahapannya. Tato pertama kali dilakukan pada bagian pangkal lengan seperti yang dimiliki Lui. Ketika telah dewasa, baru bisa dilanjutkan dengan bagian dada, kemudian tangan, paha, dan kaki hingga pinggang dan punggung.

Tiba-tiba Lui berhenti bercerita. Aku mendengar gemuruh dalam dadanya akibat dilema yang mengimpitnya. Lui menarik napas panjang setelah mematikan kubek yang baru diisap satu kali.

“Sudah malam, kamu tak perlu ikut memikirkan, nanti tidak bisa tidur. Kamu istirahat sekarang, besok pagi kita ikut Ina (Ibu) di sini bekerja.”
Sebenarnya aku masih tertarik mendengar dongengnya sampai tertidur. Tapi, aku juga tak mau besok ditinggal karena bangun kesiangan.



Uti Sr
Pemenang III Sayembara Cerber Femina 2013




 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?