Sex & Relationship
Jangan Terjebak STH

24 Nov 2014


Semua orang menikah pastilah mengharapkan kebahagiaan. Percekcokan kerap dianggap sebagai bumbu perkawinan. Tapi, jika berlebihan, ibarat sebuah makanan yang kebanyakan bumbu, tentu rasanya sudah tak nikmat lagi. Menurut  Indra Noveldy, relationship coach, pernikahan seperti ini bukan berarti harus berakhir dengan perceraian. Sebab, kebahagiaan dalam berumah tangga itu harus diciptakan, tidak datang dengan sendirinya.

Jangan Terjebak STH
Banyak alasan yang melatarbelakangi pasangan yang batal bercerai. Mulai dari melindungi anak dan nama baik keluarga, hingga ketakutan akan hidup sendiri. Apa pun alasan itu, menurut Indra, jangan terjebak pada kondisi status tanpa hubungan (STH),  atau status yang masih menikah tapi secara ikatan batin sebenarnya sudah hidup sendiri-sendiri. Kondisi pernikahan seperti ini tidak sehat. Dampak psikologisnya pun sangat besar, terutama pada anak.
   
Yang perlu diingat sebelumnya, pernikahan akan mudah kandas jika pasangan tak lagi memiliki tujuan yang sama. Itu sebabnya, penting untuk menemukan kembali mindset dan perasaan yang sama tentang formula bahagia dalam pernikahan. Menurut penulis buku Menikah untuk Bahagia Formula Cinta Membangun Surga di Rumah itu, berikut ini langkah-langkah yang perlu diperhatikan.

  1. Masalah yang sebelumnya hadir bukan  dari salah satu pihak saja. Menurut Indra, hampir bisa dipastikan tiap orang memiliki peran dalam masalah yang timbul dengan pasangannya. Jadi, jangan terjebak pada permainan ‘ini salah siapa?’. Karena, menyalahkan pasangan bukan hal yang baik, tapi terlalu menyalahkan diri sendiri juga berbahaya.
  2. Jangan pula memosisikan diri sebagai korban, karena inisiatif untuk memperbaiki hubungan harus datang dari salah satu pihak. Membuka diri untuk melakukan introspeksi dan perubahan akan lebih efektif daripada menunggu pasangan untuk melakukannya terlebih dahulu. “Ego dan kebahagiaan itu tidak bisa didapatkan dua-duanya. Kita harus memilih salah satu,” ungkap Indra.
  3. Membangun kepercayaan dalam hubungan harus didahului dengan membangun rasa nyaman. Perasaan nyaman ini harus diusahakan, karena seiring dengan bertambahnya usia pernikahan, rasa ini bisa hilang perlahan. Apa yang nyaman bagi satu orang, belum tentu nyaman bagi pasangannya. Di sini dibutuhkan komunikasi yang baik.
  4. Salah satu penyebab mendasar timbulnya masalah dalam pernikahan ternyata karena salah satu pihak atau keduanya belum mengenal diri sendiri. Apa impian hidup yang terbesar? Ketakutan apa yang dirasakan? Mengetahui ada orang yang sudah mampu, ada pula yang tidak dapat melakukannya, maka dibutuhkan bantuan psikolog atau konselor, atau lewat latihan pengembangan diri.
  5. Untuk membangun komunikasi yang baik kuncinya cukup sederhana, yaitu  jadilah pendengar yang baik. Bukan sekadar mendengarkan, tapi juga tidak reaktif dan menggunakan asumsi sendiri. Mendengarkan apa yang ada di benak pasangan sesungguhnya bisa menempatkan kita berada dalam posisinya. 
  6. Saat dua orang menikah, dua keluarga juga bersatu. Jadi, masalah bisa saja datang dari pihak ketiga. Jika alasan ingin bercerai adalah karena masalah campur tangan keluarga, masalahnya perlu ditelusuri lebih lanjut dengan kedewasaan tertentu.
  7. Layaknya sebuah perusahaan, pernikahan juga membutuhkan aturan main, atau semacam SOP yang menjadi panduan bersama. Bagi pasangan, standar operasional ini harus terus-menerus dibentuk, terutama jika terjadi masalah baru ke depannya.
  8. Menjadi pasangan yang kompak dibutuhkan semacam koordinasi dan review, supaya kualitas hubungan bisa dievaluasi setelah jangka waktu tertentu, misalnya satu tahun. Tidak ada salahnya kalau momen evaluasi ini dilakukan sambil pergi kencan atau berlibur romantis.

Faunda Liswijayanti



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?