Fiction
Hitam Merah Cinta [8]

22 May 2012

<< cerita sebelumnya

ANITA
Inilah saat yang ditakutinya. Kontrak Duncan di Indonesia hampir berakhir. Keluarganya di Inggris memintanya pulang, atau minta dipindahkan ke negara lain.

Sejak semula Anita sadar bahwa hubungan mereka tidak mempunyai masa depan, tapi ia mengabaikan akalnya, dan mengi­kuti kata hati yang menyesatkan. Parahnya lagi, kata hatinya menyuruhnya terus membangun harapan yang diketahui kepalanya sebagai harapan kosong.Sekarang, ia merasa akan mati, karena oksigen tak akan masuk ke paru-parunya jika Duncan pergi. Jantungnya tak akan berdetak jika tak didengarnya napas Duncan di telinganya ketika ia tertidur, matanya tak akan mau membuka jika ia tak bisa melihat Duncan lagi. Mengapa dewi cinta tidak pernah berpihak padanya? Apa yang salah pada dirinya?

Inilah saat yang ditakutinya. Duncan memutuskan pergi ke New Mexico. Anita kehilangan kata-kata. Duncan bicara pelan dan hati-hati, tapi Anita mendengarnya berteriak-teriak. Duncan memeluknya, tapi Anita merasa pukulan bertubi-tubi di tubuhnya. Duncan mengecup bibirnya selembut mungkin, tapi Anita merasa Duncan menggigitnya.
Inilah saat yang ditakutinya. Duncan mengangkat semua kopernya. Menatap Anita yang mematung di pintu. Dipeluknya lagi kekasih gelapnya, dan diciumnya keningnya. Duncan trenyuh, tapi tak ada yang bisa diperbuatnya lagi.

“Selamat tinggal, Anita,” bisiknya. Ia pergi, tak menoleh lagi.

Anita berjalan seperti robot, matanya hampir tidak bisa membuka akibat tangis yang tiada henti. Anita menyiapkan sarapan, Duncan suka scrambled egg. Minumnya jus jeruk segar. Ia harus menyiapkan semuanya, Duncan suka sarapan yang dibuatnya. Itu ritual wajib setiap kali ia akan tugas ke luar kota.

Anita meletakkan sarapan di meja. Menunggu Duncan selesai mandi untuk duduk bergabung dengannya. Anita terus menunggu, sampai denting jam dinding mengejutkannya. Anita meliriknya, kaget karena sudah pukul sepuluh. Ia heran kenapa Duncan belum selesai mandi. Dibukanya pintu kamar mandi. Lantainya kering. ”Ah, pasti aku terlambat bangun. Duncan sudah berangkat. Aku memang bukan calon istri yang baik.”

Anita menunggu Duncan meneleponnya. Hari pertama, telepon tidak berdering. Hari kedua, Duncan belum memberi kabar. Ketika hari ketiga Duncan tidak meneleponnya, Anita serasa duduk di atas bara. Ia tak tahu harus bertanya pada siapa.

Diputarnya nomor telepon Dara. “Dara… Dara…,” katanya, gugup. “Duncan ke luar kota, sudah tiga hari tidak ada kabar. Aku takut ada apa-apa. Aku bingung, bagaimana cara menghubunginya.”

“Sudah cek ke hotel tempat ia menginap?”

“Aku tidak bisa, Dara. Hubungan kami masih rahasia.”

“Oke, biar aku yang cek. Ia ke mana?”

Anita tertegun. Ke mana, ya? Bagaimana mungkin aku bisa lupa. Ia bergegas mencari dokumen perjalanan Duncan, dan tertegun. Ini pasti salah, entah tertukar dengan file orang lain, atau salah ketik nama! Ia mencoba mengingat-ingat. Ketika tiba-tiba disadarinya, kontrak Duncan di perusahaan itu sudah habis, Anita pingsan.

Saat Dara menjenguknya, Anita melihat seringai ejekan di bibir Dara. Ya, tertawakanlah aku! Memang kamu tidak pernah mendukung hubunganku dengan Duncan. Anita menggumam dalam hati. Tapi, Dara kelihatan terkejut.
“Nit, aku tidak menertawakanmu. Betul, aku tidak mendukung hubunganmu dengan dia. Tapi, itu karena aku tidak ingin kamu menderita seperti ini.”

Anita terkejut. Apa Dara bisa membaca pikiranku?

Dara memeluk Anita, hatinya sedih sekali. Kehilangan yang dirasakan sahabatnya pasti tak tertanggungkan. Anita merasakan air panas menetes di bahunya. Anita memandang Dara, ada air menggenang di matanya, sebagian sudah mengalir di pipinya. Aneh, kenapa Dara menangis?Dara memandang sahabatnya. Hatinya pedih melihat tatapan mata sahabatnya yang membeliak tak berjiwa, kosong. Teriakan-teriakan keluar dari mulutnya, menyuarakan apa yang ada di pikirannya, tanpa disadarinya….

FIONA
E-mail Dara terpampang di komputernya. Fiona terpaku di kursinya, kerongkongannya terasa kering, seolah semua aliran air liur yang membasahinya tiba-tiba menguap. Anita sahabat terbaik yang hatinya penuh oleh kasih. Tapi, kenapa nasib begitu kejam padanya?

Beberapa kali Bonar memaksakan hasratnya. Fiona tahu ia menjadi korban pemerkosaan. Tapi, tak ada saksi, tak ada tanda kekerasan. Fiona tak bisa menyalahkan siapa pun, menerima lamaran Bonar adalah keputusannya sendiri.

Bonar bahkan mengulur-ulur waktu kepulangan mereka ke Indonesia untuk pernikahan mereka. Fiona sering berkhayal membunuh Bonar dengan berbagai cara. Sayang, ia tak punya keberanian melakukan khayalannya.
Enam bulan lalu, Fiona mulai merasa sakit yang luar biasa saat haid, dan keputihan yang dialaminya juga terlihat tidak normal. Ketika menyampaikan keluhan, dokter kandungannya bertanya, “Are you sexually active?”

Fiona mengangguk. Ia ingin menambahkan, ”Tapi, bukan karena keinginanku.” Namun, ia mengurungkan niatnya.
“Hmm… pakai proteksi tidak? Pernah menjalani pap smear test?”

Fiona menggeleng. “Selama ini tidak ada keluhan. Jadi, saya tidak berpikir untuk melakukan tes.”

“Kalau Anda aktif secara seksual, sebaiknya Anda menjalani tes. Kalau perlu, hari ini juga.”

Fiona terkejut. “Apakah ada indikasi tidak baik?” Fiona menunggu jawaban. Debar jantungnya seolah mendobrak dadanya.

“Saya khawatir akan gejalanya. Saya akan berikan surat referensi untuk ke laboratorium. Lakukan tes ini segera.”

Ketika hasil tes keluar, Fiona seolah mati rasa. Ia mengidap kanker mulut rahim, stadium 2. Seluruh harapan hilang dari hatinya. Ia merasa sangat sendiri. Betapa ia sangat merindukan ayahnya….

Tentu saja Bonar langsung ’membuangnya’, begitu Fiona menunjukkan kertas berisi vonis hidupnya. Sejak itu, siangnya sela­lu terisi bayangan keputusasaan. Fiona limbung, tak tahu apa yang harus diputuskannya. Pulang ke Indonesia, ia gengsi. Ketika pergi ia bersumpah akan menunjukkan pada semua orang bahwa ia bisa berhasil tanpa ayahnya.

Sekarang, semua kegundahannya seolah mendapat jawaban. Ia harus mengesampingkan semua gengsi. Ia tak tahu berapa lama lagi hidupnya masih tersisa, dan ia tak mau itu berlalu sia-sia. Dulu, ia suka membahagiakan teman-temannya, mengapa ia tak pernah lagi melakukannya? Sekarang ia bisa melakukannya lagi.

Ya, ia akan pulang.

SARAS
Saras menunjukkan e-mail Dara pada Bart. Suaranya tercekat oleh tangis. “Saya harus pulang. Teman baik kami terkena musibah.”

Bart memeluk Saras, dan mengangguk.

“Aku akan menemanimu.”

Saras terharu. Bart menyayanginya, sekarang ia yakin itu, mes­ki mereka belum menikah resmi. Hanya masalah waktu. Saras harus bersabar sedikit lagi. Hanya tinggal sedikit waktu untuk lebih meyakinkan dirinya bahwa mereka saling membutuhkan.

Sejak Bart memberi tahunya telah mengencani Francoise, Saras tak bisa menahan gejolak cemburu. Ia memberi tahu orang tuanya tentang niatnya pindah ke Belanda. Om Denis dan Bibi Tutik sangat senang Saras memutuskan untuk bermigrasi.

Hari pertama ia menginjakkan kakinya lagi di Belanda, Saras sudah memikirkan cara menghubungi Bart lagi, tanpa terlihat terlalu mengejarnya. Bart akan besar kepala. Saras tidak mau memberinya kesenangan itu. Ia menelepon Bart suatu sore. Berpura-pura ingat Bart sepintas lalu, menanyakan kabar Bart dan kekasihnya. Di luar dugaan, Bart tidak antusias menceritakan gadis yang digilainya, tapi malah mengatakan akan mengunjunginya.

Saras melihat Bart berdiri di muka pintu. Hatinya serasa akan meledak karena kerinduan yang hampir tak tertahankan. Ia berjuang untuk bersikap wajar, separuh masa bodoh, seperti jika bertemu teman biasa yang tidak istimewa, yang tidak diharapkan datang. Semoga taktiknya berhasil.

“Hai, apa kabar? Ayo, masuk,” katanya, sambil menjabat tangan Bart, sekuat tenaga bertahan untuk tetap berdiri di tempatnya dan tidak melompat ke pelukan Bart.

Bart mengangguk dan mengikutinya masuk. Pertemuan mereka hari itu diisi obrolan umum. Saras berusaha tidak menyebut nama Francoise betapapun ingin tahunya ia tentang apa yang sebenarnya terjadi. Ketika esok dan esok harinya lagi Bart menelepon dan mengunjunginya, Saras tak bisa menahan diri.

“Apa kata kekasihmu kalau kamu ke sini terus,” ujarnya.

“Kami belum ada komitmen apa-apa,” jawabnya. Komitmen. Selalu itu yang jadi keberatannya.

Dengan berlalunya waktu, Bart akhirnya bercerita bahwa yang tidak mau berkomitmen adalah Francoise. Saras ingin tertawa karena kelihatannya Bart ketemu batunya.

Yang mengherankan Saras adalah sikap Om Denis. Berbeda ketika menghadapi Janssen dulu, Om Denis menyambut Bart dengan ramah. Mungkin, ia tidak lagi ingin menyakiti hati Saras. Tapi, lama-kelamaan, sikap Om Denis berubah. Ia kelihatan tidak suka Saras terlalu banyak pergi dengan Bart. Wajahnya selalu ditekuk jika Bart datang menjemputnya.

Saras mengeluh dalam hati, sampai kapan Om Denis akan menyadari bahwa ia bukan gadis remaja yang harus terus dipingit. Malah, seharusnya ia dibebaskan, karena pingitan dan tata krama telah membuatnya dilangkahi dua adik lelakinya.

Malam itu Saras baru pulang nonton dengan Bart. Saras sedang membuka ritsluiting bajunya ketika Om Denis tiba-tiba masuk. Saras membalik cepat, kaget karena ia telah lupa mengunci pintu kamarnya. Om Denis memandang dan meng­hampirinya.

“Saras...,” Om Denis memanggil pelan.

Saras tidak menyadari apa yang terjadi, ketika Om Denis tiba-tiba mencium bibirnya. Ia mendorong Om Denis sekuat tenaga, matanya terbelalak, air mata mulai berlinang di pipinya. Ia merasa terhina. Rupanya, itulah jawabannya. Omnya sudah jatuh cinta padanya. Saras tahu tak bisa mengadu pada siapa pun. Ia harus pergi secepat mungkin. Ia hanya punya Bart di sini, tak peduli anggapan keluarganya nanti.


Penulis: Dela Tan


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?