Fiction
Hitam Merah Cinta [4]

22 May 2012

<< cerita sebelumnya

SARAS
JANSSEN SEORANG PEMUDA BELANDA polos dan pendiam. Ia masih tinggal dengan ibunya, matanya biru, rambutnya pirang. Ia tak banyak bicara, kecuali jika sedang mengobrol dengan Saras. Jan bukan pria terpelajar, ia bekerja di sebuah toko roti. Tapi, Saras mencintainya justru karena kesederhanaannya.

Jan sudah pernah berkunjung ke Indonesia. Bapaknya berkomentar, Jan terlalu naif dan tak bisa mengambil hati orang tua. Tapi, Saras sangat menyayangi Jan dan hubungan mereka serius. Buktinya, dengan jarak sejauh itu jalinan cinta mereka bertahan tiga tahun, sehingga bapaknya hanya pasrah.

Saras sudah siap menikah. Kedua adiknya laki-laki dan sudah lebih dahulu naik pelaminan. Tentu saja ibunya sangat khawatir. Sebagai keluarga Jawa, ibunya pantang betul merelakan anak perempuan tertua dan satu-satunya itu dilangkahi adiknya. Bahkan, ketika adik bungsunya menikah tahun lalu, ibunya nelangsa sekali.

Om Denis di Belanda malah sangat antipati pada Jan. Menurutnya, keponakan tercintanya itu layak mendapatkan seseorang yang lebih baik. Saras berusaha memenangkan hati pamannya. Setiap habis bertemu Jan, Saras selalu membawa oleh-oleh dan mengaku Jan yang membelinya. Tapi, hati pamannya seolah membatu. Jan makin gemetar setiap kali datang menjemput Saras.

Saras mengalah. Mereka bertemu di luar atau Saras datang ke rumah Jan. Ibu Jan sayang sekali padanya dan sudah sering membicarakan bagaimana rumah tangga mereka kelak. Saras sedih, karena banyak sekali jurang yang harus dilompatinya. Tapi, Saras tidak tega membuat wanita separuh baya berhati malaikat itu kecewa.

Suatu sore di musim gugur, mereka baru bertemu diam-diam seperti biasa. Jan mengantarkannya sampai di depan pintu, ketika tiba-tiba hujan turun, lebat sekali. Saras meminta Jan masuk, sambil menunggu hujan reda. Om Denis dan Bibi Tutik sedang menonton televisi di ruang tamu.

“Om, saya minta Jan menunggu di dalam sampai hujan reda.”

Om Denis tidak menjawab, menoleh pun tidak. Saras mempersilakan Jan duduk di ruang tamu, sementara ia menyiapkan teh panas. Ketika Saras kembali, Jan hanya sendiri di ruang tamu. Om dan bibinya sudah menghilang ke dalam kamar, meninggalkan Jan termangu-mangu. Hati Saras bagai diiris, pria terkasihnya dilecehkan sedemikian rupa. Tapi, Jan tersenyum dan tidak mengeluhkan apa-apa.

Hujan tidak mereda, malah makin menggila, sementara malam mulai merangkak naik. Jan gelisah. Ketika Om Denis muncul, Saras mendengar om-nya mengatakan kalimat yang tidak pernah dikira akan didengarnya.

“Sudah selarut ini, apa ia mau menginap?”

Kata-kata itu membuat Jan segera beranjak dari rumah itu.

“Bagaimana mungkin Om tega bicara seperti itu?!” Saras menyambar mantel dan berlari menyusul Jan.

Jan tidak terlihat, cepat sekali ia berjalan. Saras terseok-seok di malam yang pekat, curahan air mengaburkan pandangannya. Lampu jalan sangat temaram. Saras memandang ke seluruh sudut. Jan tidak ada. Jan pasti belum jauh, mungkin ia berteduh di suatu tempat.

Saras berjalan tanpa arah. Tiba-tiba ia melihat sosok Jan di bangku taman. Saras menghampirinya, memeluknya. Jan memeluknya, erat sekali, tapi tidak berkata apa-apa. Saras memandangnya, dan melihat mata Jan memerah. Meskipun gelap dan hujan deras, Saras tahu ada air mata yang mengalir dari kedua mata Jan.

“Maafkan saya, Jan, maafkan keluarga saya,” bisiknya.

Jan tidak berkata-kata, hanya mengelus rambut Saras perlahan. Mereka naik tram ke Centraal Stasion, kemudian naik kereta, pulang ke rumah Jan di Rotterdam. Sepanjang perjalanan mereka membisu, kedua tangan mereka bertautan. Saras masih terisak, ia tahu tak akan ada yang bisa mengobati luka hati Jan. Harga dirinya sudah dilumat habis. Malam itu Saras menginap di rumah Jan. Ini pertama kalinya Saras melanggar adat, menginap di rumah seorang pria yang belum menjadi suaminya. Jan pria sopan, selama ini ia tak pernah berusaha menjamahnya. Malam ini apa pun bisa terjadi, Saras sudah pasrah, tapi Jan tetap tidak berusaha mengambil keuntungan darinya.

Ketika esok paginya Saras kembali ke rumah, Saras langsung masuk ke kamarnya, membanting pintu dan menguncinya. Saras mogok bicara dan mogok makan. Om Denis membujuknya setiap hari dari balik pintu.

Saras tidak mendengarkan sepatah pun yang dikatakan pamannya. Ia berpikir. Aku tidak bisa membiarkan Jan disakiti lagi. Memaksanya bersamaku akan membuatnya menderita. Aku tidak boleh egois. Jan berhak bahagia.

Kemudian, ditulisnya surat untuk Jan.

Jan terkasih,
Waktu yang kita lewati bersama selama ini indah sekali. Aku menyayangimu sebagaimana adanya. Kamu hal terbaik yang pernah hadir dalam hidupku. Tanpamu, hidupku tidak akan pernah lengkap. Tapi… jika aku terus mengikatmu untuk terus bersamaku, aku sangat egois, karena tidak memikirkan dirimu. Aku tidak ingin kamu disakiti, karena kamu tidak pernah menyakiti siapa-siapa. Kamu harus bahagia. Betapapun aku tidak suka membayangkanmu bahagia bersama orang lain, aku harus melepaskanmu. Tapi, kamu tahu Jan, di sudut hatiku, kamu akan selalu ada di sana, selalu….

Surat itu penuh noda air mata. Tapi, Saras sudah membulatkan hati. Kemudian ia keluar kamar, turun dari loteng, dan menemui paman dan bibinya.

“Aku mau bicara. Tolong, sebelum aku selesai, jangan disela.”

Om Denis mengangguk. Bibi Tutik memandanginya dengan terkejut. Tidak biasanya Saras bicara sekeras itu. Saras selalu manut.

“Betulkah kalian menyayangi aku? Kalau itu bentuk kasih sayang kalian, aku tidak berterima kasih karenanya. Usiaku sudah 30 tahun, tapi kalian memperlakukan aku seperti anak kecil. Aku kecewa, karena tidak diizinkan memilih kebahagiaanku sendiri. Kalian sudah menghancurkan harga diri seseorang, hanya karena ia menyayangi aku. Mulai sekarang, aku bukan lagi Saras yang penurut, aku akan menentukan hidupku sendiri. Terserah kalian setuju atau tidak, aku hanya akan bertanggung jawab dan membuktikan bahwa pilihanku tidak keliru.”

“Maksudmu, kamu akan tetap menikah dengan Jan?”

Saras menatap pamannya.

“Aku sudah melepaskannya. Hatinya terlalu disakiti. Itu kan yang Om mau? Om sudah senang?”


Penulis: Dela Tan


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?