Travel
Gifu - Petualangan Ke Zaman Edo

24 Jan 2014


Gifu di Jepang bagian tengah adalah kota yang tidak menawarkan ingar- bingar kota metropolitan layaknya Tokyo atau Osaka. Aura masa kekaisaran Edo yang terpancar di banyak tempat justru menjadi daya tarik utama Gifu hingga hari ini, yang membuat saya, Kamini Abimanyu, mengunjungi tempat ini. Di sini, hari seakan bergulir lambat, seakan tak bisa diakhiri.


Tarian Dari Gujo Town

Saat mengunjungi Gujo Hachiman, salah satu daerah di Gifu, saya disambut oleh wanita ber-yukata di Museum Hakurankan. Ia memperagakan tarian musim panas Gujo Odori yang biasanya dibawakan secara kolosal oleh warga lokal untuk merayakan musim panas.

Anggota badannya bergerak dalam hitungan. Tangannya bergerak ke atas, ke bawah, sesekali membentuk segitiga di atas kepala, kemudian bertepuk pelan. Badannya pun ikut bergerak ke kanan, ke kiri, membungkuk, dan disambut dengan bakiak yang mengetuk. Semua terlihat gampang. Namun, ketika giliran saya mencobanya, susahnya luar biasa.
Persis di seberang museum, deretan rumah tua berbaris rapi memagari jalan hitam yang mulus. Semuanya tampak terawat dengan tampilan sederhana yang konon serupa dari masa ke masa. Pot bunga warna-warni menghias teras sempit, bersisian dengan parit dialiri air jernih pegunungan.

Meski berukuran kecil, fungsinya jauh lebih besar dibanding ukurannya. Sejak 100 tahun silam, penduduk lokal memanfaatkan air jernih di parit yang berasal dari Sungai Yoshida dan Nagara untuk kebutuhan sehari-hari, seperti menyiram tanaman, mencuci sayuran, bahkan minum.

Demi menjaga kebersihannya, penduduk memanfaatkannya dengan cara membuat bak-bak penampung air di tiap rumah dan jalan. Air pertama untuk minum, lalu dialirkan ke bak kedua yang digunakan untuk mencuci, air sisanya dialirkan ke kolam di belakang rumah. Sisa sayuran akan dimakan oleh ikan-ikan di dalam kolam.

Pernah suatu waktu terjadi kebakaran hebat. Para pemilik rumah berusaha memadamkan api menggunakan air parit dengan bantuan ember. Sejak saat itulah, menggantungkan ember di muka rumah menjadi kebiasaan yang masih dipertahankan hingga sekarang.
Berjalan kaki menjadi cara terbaik untuk berkeliling kota. Saya pun asyik sendiri menyusuri jalanan sepi, sambil berjalan santai, tak ada klakson ataupun deru motor yang mengganggu. Langkah kaki membawa saya melintasi jembatan yang terbentang di atas Sungai Yoshida. Air jernihnya mengalir deras, berlatar belakang bukit-bukit hijau. Berhenti untuk memotret seakan tak bisa dihindari.

Gujo Hachiman terkenal sebagai pusat pembuatan replika makanan sejak dasawarsa silam. Iwasaki Mokei (Sample Village Iwasaki) adalah yang tertua di kota ini, dibuka sejak  tahun 1932 dan telah memasok replika makanan ke sebagian besar restoran di Jepang. Jika liur Anda sering terpancing saat menatap display menu favorit di kaca depan restoran Jepang, mungkin salah satunya dibuat di tempat ini.
Selain Sample Village Iwasaki, terdapat Sample Kobo. Di tempat ini saya mencoba membuat sample makanan sendiri dengan bimbingan seorang instruktur andal. Menurutnya, tempura menjadi salah satu menu favorit dan paling mudah untuk dipelajari oleh orang awam.

Dengan mengikuti panduan, saya menuang lilin berwarna oranye ke dalam air dingin yang berfungsi sebagai kulit tempura. Selanjutnya sepotong udang palsu diletakkan di atasnya, kemudian dibungkus perlahan. Tak perlu wajan dan minyak panas, dalam sekejap udang tempura buatan saya ‘matang’.
Rupanya memang tak mirip seperti yang dijual di restoran Jepang. Tak perlu kecewa jika bentuk tempura buatan Anda kurang sempurna. Tempat ini juga menjual produk jadi dalam beragam ukuran dan bentuk yang cocok sebagai oleh-oleh. Bukan hanya tempura, tersedia pula ramen, hamburger, bir, es krim, hingga sushi.


Pesiar ke Zaman Edo

Di bagian lain Gifu, daerah kota tua Takayama, deretan rumah bercat cokelat tua mengapit Jalan Sannomachi yang sempit. Menawarkan pesona dari zaman Edo, yaitu periode saat Jepang dikuasai shogun dan ibu kota Jepang, Tokyo, masih bernama Edo (tahun 1603 - 1867). Jika tidak melihat langsung betapa kokohnya rumah-rumah ini berdiri dalam kondisi prima, mungkin saya tak akan percaya bahwa bangunan dua lantai yang terbuat dari kayu ini telah berdiri sejak tahun 1600-an. Sebagian besar masih berfungsi sebagai tempat tinggal, dan sebagian lainnya telah berubah menjadi restoran, kafe, ataupun toko suvenir.

Segala yang ditawarkan di sepanjang jalan sangat menarik perhatian. Dengan berjalan santai, Anda bisa singgah di banyak tempat dengan mudah, atau Anda bisa menumpang becak khas Jepang yang siap mengantar berkeliling kota tua.

Es krim lembut menjadi salah satu teman favorit selama menjelajahi kawasan kota tua. Jika lelah, mampirlah ke  kafe yang menyajikan kopi dan kudapan lokal. Sake brewery gampang dikenali dengan gentong besar yang tersusun rapi di bagian muka took. Anda bisa mencicipi ataupun mengintip tempat pembuatannya. Satu lagi yang tak boleh dilewatkan adalah mencoba potongan lezat daging Hida yang terkenal di sebuah gerai yang hanya melayani take-away order.

Tak jauh dari Sannomachi, terdapat Takayama Jinya. Bekas gedung pemerintahan pada masa Edo ini dibuka untuk kunjungan wisata sebagai museum. Kabarnya, terdapat 60 gedung yang sama di seluruh Jepang, namun Takayama Jinya menjadi satu-satunya yang masih berdiri.

Pemandu mengantarkan kisah menarik  tiap kali saya memasuki   ruang dengan desain tatami. Seluruh bagiannya masih tampak seperti aslinya. Perabotan diatur persis seperti waktu digunakan. Di ruang istirahat pegawai terdapat perapian dengan teko baja menggantung di besi panjang yang menjulur dari langit-langit. Dengan menggunakan sistem katrol, agenda minum teh seakan menarik untuk diikuti di masa itu.

Selain digunakan sebagai kantor, bangunan utama juga digunakan sebagai tempat tinggal gubernur dan keluarganya. Ada pula ruang interogasi dan hukuman sementara bagi para tersangka yang membuat saya ngeri membayangkannya. Meninggalkan gedung utama, persis di bagian belakang terdapat gudang untuk menyimpan beras sebagai pembayaran pajak penduduk. 

Setelah berkeliling museum, mampirlah ke Jinya-mae Morning Market yang berada di depan pintu masuk. Meski yang dijual kebanyakan adalah sayur-mayur dan bahan pokok lainnya,  keramahan sang penjual bisa membuat saya berhenti lama di satu kios. Saya menemukan sarubobo,   boneka bayi monyet berwarna merah khas Hida-Takayama yang dipercaya sebagai jimat pelindung dari hal buruk.


Rumah Beratap Jerami
Shirakawa-go berada tersembunyi di balik bukit hijau, terhampar indah di lembah sejuk dan tenang. Seperti terhipnotis ketika saya menatapnya lekat-lekat dari kejauhan di menara pandang.

Dari ketinggian, saya bergerak mendekat perkampungan, menuruni jalanan beraspal yang menukik, disapa angin sejuk akhir musim semi. Rumah beratap jerami berdiri perkasa di hadapan, tinggi dan besar. Mahakarya arsitektur kuno ini telah tersohor dan kerap didatangi turis  tiap tahun.

Rumah ini disebut gassho-zukuri, mengandung filosofi yang dipercaya secara turun-temurun, mengusung konstruksi yang kokoh untuk menghadapi terpaan alam. Atap berbentuk segitiga tampak seperti tangan yang sedang berdoa dengan kemiringan 60 derajat, membuat salju tebal yang menempel lebih mudah dibersihkan atau salju tergelincir dengan sendirinya.

Di Desa Ogimachi, Wada House menjadi rumah terbesar. Dibangun pada masa Edo, rumah ini ditempati oleh kepala desa dan keluarganya, kemudian diwariskan secara turun-temurun. Meskipun besar, hanya lantai dasar yang digunakan sebagai tempat tinggal dan tempat berlangsungnya aktivitas sehari-hari, seperti ruang tamu, kamar tidur, dapur, dan toilet.

Di bagian tengah ruang terdapat perapian yang juga digunakan untuk merebus air. Asap yang muncul akibat pembakaran ternyata berfungsi penting untuk menguatkan kayu-kayu besar, jerami, dan tali pengikat yang menjadi elemen utama konstruksi rumah gassho-zukuri agar tahan lama dan bebas serangga. Di lantai dua, ruangan tampak kosong. Zaman dulu, ruangan tanpa sekat ini digunakan untuk budi daya ulat sutra, tapi kini sudah lama penduduk di Ogimachi berhenti melakukannya.

Saya meninggalkan Wada House, menyusuri jalan setapak hingga tiba di perempatan desa. Jarak satu rumah ke rumah lainnya cukup lapang. Tanpa pagar, pekarangan mereka saling bersisian. Meski rumah-rumah ini sangat tradisional, sang penghuni telah menyesuaikan dengan perkembangan zaman dengan memasang pendingin/penghangat udara, toilet modern, hingga mobil yang terparkir manis di halaman rumah.

Kita bisa menginap di rumah gassho-zukuri. Di Shirakawa-go beberapa rumah dibuka sebagai homestay bagi wisatawan, salah satunya milik Suzuguchi Fumie.  Nenek berusia 74 tahun  ini menyediakan 6 kamar dengan konsep tatami yang masing-masing bisa digunakan untuk 2 orang, dan 1 kamar untuk menampung 4 - 5 orang.

Saya melongok ke satu kamar paling ujung, jendelanya langsung menghadap ke sungai. Pilihan terbaik yang ditawarkan Nenek Fumie. Di musim dingin,  menginap di rumah  semacam ini menjadi incaran banyak wisatawan. Anda bisa mendapatkan pengalaman unik sebagai bonus, membantu sang empunya rumah membersihkan salju tebal dari atap jerami.


Tip:

-    Dari Tokyo atau Kyoto, Anda bisa mengunakan JR Tokaido Shinkansen ke Nagoya (2 jam), dilanjutkan dengan kereta ekspres JR Hida menuju Takayama (2,5 jam). Untuk menuju Takayama atau Gero, Anda bisa melanjutkan dengan kereta JR. Untuk menuju Shirakawa-go atau Gujo Hachiman, bisa juga menggunakan bus.
-    Jika berkunjung ke Shirakawa-go di musim dingin, pastikan Anda melengkapi diri dengan jaket tebal karena salju turun dengan lebat dan suhu sangat dingin. Ketebalan salju bisa mencapai 10 meter.
-    Gunakan alas kaki yang nyaman karena Anda akan banyak berjalan kaki untuk berkeliling.
-    Di Gero, salah satu daerah di Gifu, terkenal sebagai tempat pemandian air panas atau onsen. Selain berkhasiat meredakan rematik, gangguan saraf, menghilangkan rasa lelah, air di Gero kabarnya juga mengandung mineral yang bisa membuat kulit lebih lembut, halus, dan bercahaya. Itu sebabnya dijuluki Bijin no Yu, air kecantikan.
-    Jika belum terbiasa  berendam bersama di satu kolam (onsen) tanpa sehelai pakaian, pastinya akan membuat Anda risi. Sebelum mencoba, pastikan Anda mengetahui aturan dan budaya onsen setempat.(f)






 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?