Trending Topic
Gejala Urban

14 Nov 2013


Meningkatnya kelas menengah Indonesia diikuti dengan kemampuan konsumsi yang juga meningkat, tak mengherankan bila masyarakat kini mulai mencari hiburan alternatif dan rela membayar cukup mahal. Nonton film bioskop atau konser musik? Itu, sih, biasa.
Sekarang ini zamannya nonton teater. Lihat saja, tak sedikit orang Indonesia yang bela-belain pergi ke Singapura untuk berbagai drama teater Broadway yang belakangan getol mampir di sana. “Masyarakat kita sepertinya mulai melihat Broadway sebagai scene yang berbudaya dan bergengsi,” ujar Renitasari, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.

Menurut Bre Redana, wartawan dan editor seni senior, meningkatnya minat masyarakat terhadap pertunjukan seni kontemporer ini adalah sebuah gejala urban. “Ini sebuah tanda bahwa Jakarta sedang mengalami perubahan menuju kota metropolitan yang lebih berbudaya,” katanya. Bagi Bre, seni dan budaya adalah indikasi peradaban sebuah kota. Sebagai gejala urban, di mana seni  makin dinikmati oleh kalangan luas,   kondisi ini tidak khas Indonesia. Fenomena ini juga terjadi di kota-kota maju dan berkembang di seluruh dunia.

Sebetulnya, peningkatan minat bukan hanya terjadi pada pertunjukan, tapi juga pada dunia seni secara lebih luas, terutama di kalangan kelas menengah ke atas yang mengejar eksklusivitas.  Bre tak memungkiri bahwa konsumsi karya seni memang erat kaitannya dengan gengsi. “Dulu, orang kaya menunjukkan statusnya dengan membeli barang bermerek,  misal tas. Kini, karena semua orang kaya pasti mengincar tas bermerek, beberapa ada yang beralih ke ranah seni rupa, misalnya dengan membeli lukisan-lukisan mahal, supaya lebih ‘canggih’,” ungkap Bre.

Psyche atau psikologi yang seperti inilah yang terjadi pada seni pertunjukan. Contohnya I La Galigo karya Robert Wilson yang juga sempat pentas di Esplanade. Pertunjukan teater eksperimentatif berdurasi 4 jam itu, menurut Bre, terasa sangat membosankan bahkan bagi khalayak yang akrab dengan seni, apalagi bagi mereka yang awam. “Meski banyak yang kelihatannya tertidur, begitu pertunjukan selesai semua orang tetap bangkit dan tepuk tangan. Tapi, kebanyakan tidak mengerti, apa sih, ceritanya?” ungkap Bre.

Meskipun kesannya pertunjukan seni sedang booming di sini, dalam konteks urbanisasi dan hubungannya dengan perkembangan seni pertunjukan, Bre menilai Jakarta sebetulnya sangat terlambat. Janganlah dibandingkan dengan New York dengan Broadway-nya atau London dengan West End-nya yang sudah eksis puluhan tahun. Dibanding Bangkok atau Beijing saja, kita masih kalah.

Di kota-kota ini, seni pertunjukan sudah ditunjang oleh infrastruktur yang memadai selama bertahun-tahun. Pertunjukan berlangsung  tiap malam, pemainnya profesional, panggung dan gedungnya memadai, penontonnya pun selalu membanjir. “Nah, saat ada tamu asing yang datang ke Jakarta dan ingin menonton pertunjukan seni lokal, kita mau bawa ke mana?” tanya Bre, menyayangkan.(f)




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?