Fiction
Garnish [1]

25 Feb 2015


Begitu memasuki toko roti di lantai satu perpustakaan itu, Garnish langsung teringat toko roti milik keluarga Tim. Selalu ada aroma manis vanilla dan kadang-kadang moka. Ya Tuhan, jangan aroma ini lagi. Garnish mengempaskan tubuhnya ke sebuah sofa empuk tanpa sandaran, matanya menerawang ke mesin pendingin yang mendesis di atas belakang meja kasir. Perutnya keroncongan. Tapi ia tak ingin makan apa pun. Sebuah pesan pendek yang dikirim Tim beberapa menit lalu telah menghilangkan selera makannya. Juga membuyarkan seluruh konsentrasinya untuk menyelesaikan bab tiga dari novel yang sedang ia tulis.
Garnish mengerjapkan matanya yang telanjur berkaca-kaca. Ia terus menerawang ke mesin pendingin, nyaris tak berkedip, hingga Richard --si penjaga toko roti yang tampak selalu antusias padanya-- menatapnya dengan heran.
“Apa kau baik-baik saja, Nona Manis?” Ricard mencoba menyapanya, Garnish tidak menyahut.
“Apa kau ingin sesuatu? Hari ini aku ada menu baru, Pai Apel dan Puding Jagung, kau mau yang mana?” Richard terus mengoceh sambil menata roti-roti dalam baki putih mengilap yang berjajar di atas rak.
“Diamlah, Rich, aku sedang tak ingin makan apa pun. Aku juga sedang tak berminat ngobrol. Aku hanya ingin duduk di sini sebentar. Semoga kau tak keberatan.”
Richard menatap Garnish sekilas, mengangguk ragu, dan kembali sibuk dengan roti-rotinya. Ia tahu, gadis itu sedang tak ingin diganggu.
Garnish menghela napas, dan aroma manis vanilla moka itu kembali memenuhi rongga hidungnya. Garnish tidak suka aroma itu, bukan aroma vanilla atau mokanya, tetapi sesuatu yang ada dalam ingatannya ketika menghirup aroma itu. Apakah semua toko roti beraroma seperti ini? Garnish menggeleng sendiri, seperti orang linglung. Ia tak ingat pernah keluyuran ke banyak toko roti. Dua toko roti dalam hidupnya adalah toko roti di lantai satu perpustakaan (tempat ia duduk sekarang) dan toko roti milik keluarga Tim. Sudah. Dan dunia tahu, mengapa hanya dua toko roti itu.
Pertama, toko roti di lantai satu perpustaakan, karena Garnish suka mendekam berlama-lama di perpustakaan yang menyebabkan ia dijangkiti rasa lapar yang mengeruk-ngeruk perut, dan satu-satunya toko makanan di area itu hanyalah toko roti itu, Bookie  Bakery. Ya, namanya Bookie Bakery. Garnish pernah menebak-nebak, bahwa kata ‘Bookie’ berasal dari dari kata book, secara toko roti itu menumpang di kaki perpustakaan. Salah seorang pegawai Bookie Bakery adalah seorang lelaki manis --yang barusan menyapanya dan ia abaikan-- bernama Richard. Ia adalah kawan yang baik sekaligus pembaca yang baik. Tiap kali Garnish menyelesaikan sebuah tulisan, ia selalu menyodorkannya pada Richard sebagai pembaca pertama. Dulu, ia tahu nama Richard bukan karena sebuah perkenalan, melainkan karena sebuah emblem yang menempel di bagian dada seragam Richard. Mereka cepat sekali akrab.
Kedua, toko roti keluarga Tim, Timothy Bakery. Satu-satunya alasan mengapa Garnish memasuki toko roti itu adalah karena toko roti itu milik keluarga Timothy, kekasihnya. Tim kerap mengajak Garnish mampir ke toko roti milik keluarganya itu dan sesekali memintanya membantu melayani para pelanggan. Ada yang tak disukai Garnish dari toko roti itu, letaknya di pojok bagian depan, di belakang meja kasir: seorang perempuan paruh baya dengan kacamata melorot, dengan wajah seperti orang terkejut. Mungkin ia memang dilahirkan dengan wajah seperti itu. Ya, ia adalah pemilik Timothy Bakery, Nyonya Jesi, ibu Tim. Ia sedikit cerewet dan hanya tersenyum ketika didatangi pelanggan.
 Garnish ingat, sekitar tiga bulan lalu, ketika Tim mengenalkannya pada ibunya, di dalam ruangan beraroma vanilla moka itu, perempuan paruh baya itu hanya mengucapkan tiga kalimat, ia mengucapkannya dengan dua alis nyaris bertubrukan.
“Oh, siapa? Garnish? Nama macam apa itu? Aku baru dengar nama seperti itu, seperti sesuatu yang berhubungan dengan makanan,” itu kalimat pertama dan Garnish hanya menganggapnya sebagai sebuah basa-basi perkenalan yang tidak lucu.
“Kau tahu, hampir separuh dari roti dan kue-kue yang dijual di sini, Tim dan kakak-kakaknya yang membuat adonannya. Tim lelaki istimewa, tak semua lelaki bisa berurusan dengan tepung dan gula.” Itu kalimat kedua, Garnish mencium aroma kepongahan di sana, dan ia masih berdiri di depan meja kasir seperti seorang pelanggan yang terlupakan. Sementara Tim, hanya berdiri di sampingnya sambil tersenyum bangga. Rasanya Garnish ingin mengambil sebuah baki roti untuk menampar pipi Tim.
“Jadi, kau bisa membuat roti jenis apa?” Kalimat ketiga itu adalah kalimat paling pendek yang diucapkan Nyoya Jesi, sependek tongkat estafet. Dan detik itu Garnish merasa kepalanya tengah digetok dengan tongkat estafet. Seumur hidup ia tak pernah membuat roti atau kue jenis apa pun. Ia tak ingat pernah berurusan dengan tepung dan gula dan telur dan margarin dan apa pun yang berhubungan dengan makhluk yang lengket-lengket itu. Seumur hidup.
Garnish tahu, siksaan semacam itu akan terus bersambung  tiap kali Tim mengajaknya mampir ke toko rotinya. Siksaan yang muncul dari sebatang lidah perempuan paruh baya di balik meja kasir. Nyonya Jesi selalu saja punya topik yang seperti tongkat estafet untuk dipukulkan ke kepala Garnish. Nyonya Jesi pernah membeo, bahwa semua anggota keluarganya pandai membuat adonan roti dan kue,  tiap orang dalam keluarganya memiliki keahlian masing-masing. Tim dengan pai kacangnya, ayah Tim dengan adonan roti tawarnya, kakak perempuan Tim dengan rainbow cake-nya, kakak laki-laki Tim dengan brownies almond-nya, dan Nyonya Jesi sendiri, dengan keahliannya membuat adonan berbagai jenis roti dan kue.
Awal bulan lalu, Nyonya Jesi berujar dengan setengah menyindir, bahwa semua menantunya, kakak-kakak ipar Tim, juga pandai membuat roti dan kue. “Sudah seharusnya kau belajar membuat kue, kelak kau akan jadi seorang ibu, dan anak-anak selalu menyukai kue,” cerocos  Nyonya Jesi tanpa henti.
 Garnish mendadak murung sepulang dari toko roti Tim waktu itu, hingga Tim meneleponnya seraya berujar bahwa ia berjanji akan mengajari Garnish cara membuat adonan roti dan kue. Garnish mendengus sebal. Ia tak ingin mendengar itu, ia hanya ingin Tim paham, bahwa tak semua orang diberi bakat dan kesabaran untuk mengaduk tepung dan seperangkat bahan untuk membuat kue itu. Menurut Garnish, hubungannya dengan Tim benar-benar bersyarat. Dan itu membuatnya sedih.
***
Beberapa menit lalu, di perpustakaan, ketika Garnish tengah menyelesaikan bab tiga dari novel yang ia garap, ia menerima pesan pendek dari Tim, pesan pendek yang menghancurkan konsentrasinya, menghancurkan hatinya, hancur sehancur-hancurnya. Pesan itu berbunyi: Ibuku menyuruhku mencari gadis lain kalau kau memang tak pernah berniat untuk belajar membuat kue. Aku tak tahu harus berbuat apa. Ibuku sangat keras kepala. Jadi, kuharap kau paham dan tidak menyerah.
Membaca pesan itu membuat Garnish terdiam beberapa jenak. Ia menutup laptop-nya dengan tangan gemetar. Garnish yakin, setelah pertengkarannya dengan Tim kemarin, Nyonya Jesi menanyai Tim macam-macam dan akhirnya menyuruh Tim mengirim pesan pendek itu untuknya. Garnish benar-benar menyesalkan Tim yang tak punya pendirian, ia benar-benar seperti boneka yang disetir ibunya.
Garnish sudah cukup bersabar menuruti permintaan Tim untuk belajar membuat kue di dapur Timothy Bakery. Sudah dua kali ia membuat pai kacang dan roti gulung, dan dua-duanya gagal. Garnish sudah melakukan persis seperti yang diajarkan Tim, menakar tepung, gula, margarin, bubuk pengembang, memisahkan kuning telur dari putihnya, lantas mengaduknya dengan mixer, mengulennya sampai kalis.... Dan tetap saja, Ganish tak bisa melakukannya dengan sempurna. Kemarin siang Tim memarahinya setelah adonan donat yang ia buat tidak mengembang.
“Kau memang tak pernah belajar dari yang sudah-sudah, kau tak pernah belajar,” ungkap Tim dengan ekspresi kesal.
Mendengar itu Garnish bersungut-sungut, “Bukankah aku sudah bilang sejak awal, bahwa aku tak pernah bisa membuat kue, aku tak berbakat, tapi kau tak pernah mendengarku, Tuan Timothy.”
“Kau hanya harus membuat sedikit kue, kue donat, kue yang paling mudah dibuat oleh siapa pun, bahkan keponakanku yang kelas lima SD bisa membuatnya dengan baik dan cantik,” Tim memalingkan muka dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Mendengar kata-kata Tim, Garnish merasa seperti ditinju perutnya. Membuatnya sesak dan mual. Bukan hanya Nyonya Jesi  yang gemar ‘menamparnya’, Tim juga mulai gemar melakukan itu, dengan kata-katanya.
“Sungguh, aku lebih memilih dihukum menulis sepuluh novel ketimbang membuat sebuah kue,” ucap Garnish lirih, membela diri.
“Ini bukan soal passion, ini soal niat, dan kau memang tak pernah berniat!”
Garnish menatap Tim dengan mata memicing, dua cuping telinganya seolah melancip, ia terbakar oleh kata- kata Tim.
“Oh, kau benar, aku memang tak pernah berniat. Seharusnya aku sadar sejak ibumu menanyaiku tentang roti jenis apa yang bisa kubuat. Ya, gadis bodoh yang tak bisa membuat kue memang tak cocok menjadi menantu keluarga besar yang punya toko kue. Dan aku sudah menyia-nyiakan waktuku. Seharusnya aku melanjutkan novel yang kutulis atau membaca buku di perpustakaan.” Suara Garnish bergetar. Ia melepaskan celemek berlepotan tepung yang ia pakai, mengambil tas tangannya yang tergeletak di kursi dan beringsut dari dapur. Tim hanya berdiri membatu menatap Garnish pergi meninggalkannya. Garnish berjalan bergegas melewati rak-rak roti yang berjajar. Melewati para pegawai Timothy Bakery yang tak peduli. Ketika sampai di depan meja kasir, Nyonya Jesi berkata seperti menggumam, sambil memainkan kalkulator, “Apa kabar kue donatmu?”
“Tim sedang mengurusnya,” Garnish menyahut dengan cepat, secepat ia ingin segera menghilang dari ruangan beraroma manis vanilla moka itu. Nyonya Jesi melepaskan kacamatanya, memperhatikan tubuh Garnish yang berjalan cepat di balik pintu kaca yang terempas-empas.
***
Setelah beberapa menit duduk di Bookie Bakery, Richard kembali mendekatinya, ia hanya duduk di sebelah Garnish, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Apa muffin-mu masih ada?” Suara Garnish yang serak mengagetkan Richard.
“Oh, masih banyak.” Richard melesat mengambil baki kecil dan kembali ke hadapan Garnish dalam hitungan detik. “Aku mentraktirmu, satu keju, satu cokelat, dan satu lagi kacang, kesukaanmu,” ujarnya kemudian.
“Terima kasih,” ucap Garnish pelan sambil meraih baki yang disodorkan Richard. “Maaf, aku tadi membentakmu. Aku tak bermaksud… aku hanya….”
“Apa kau habis bertengkar dengan Tuan Roti lagi?” Richard menyela, dan ia selalu menyebut Tim dengan sebutan Tuan Roti, karena pipi Tim yang mulus dan tembam seperti adonan roti yang sedang mengembang.
“Kemarin,” balas Garnish datar, “kemarin kami bertengkar, dan beberapa menit   lalu, ia mengirimiku sebuah pesan pendek….” Garnish membungkam sejenak, matanya kembali berkilatan, “Dia bilang, ibunya menyuruhnya mencari gadis lain kalau aku tak sungguh-sungguh berniat belajar membuat kue.”
Richard menatap Garnish dengan gigi bergemeretak, “Tuan Roti bilang begitu?”
Garnish mengangguk pelan. Richard menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kalau Tuan Roti benar-benar menyayangimu, tentu ia akan membelamu di depan ibunya. Tapi, dia malah mengirim pesan seperti itu, artinya ia tak benar-benar memperjuangkanmu. Aku baru tahu kalau Tuan Roti begitu pengecut. Kalau dia ke sini, aku akan meringkusnya dan memasukkannya ke dalam oven,” ujar Richard berapi-api.
Garnish tersenyum, tapi matanya tidak, “Jadi, bagaimana menurutmu?”
“Kau tak harus melakukannya, kalau kau tak mau, maksudku tentang membuat adonan roti itu.”
Seorang perempuan membuka pintu kaca dan memasuki toko itu, mengambil baki dan beberapa potong roti, lalu mendekati meja kasir yang kosong.
“Aku akan melayani pelanggan sebentar, aku akan segera kembali.” Richard beringsut menuju meja kasir.
Garnish terdiam, ia begitu menyayangi Tim. Tapi, sikap Nyonya Jesi padanya, juga sikap Tim belakangan ini, membuat perasaan itu rontok perlahan-lahan. Seperti krim wajah yang telah mengering. Garnish merasa bahwa hubungannya dengan Tim tidak berjalan adil. Dan, terus-menerus berdiri di atas sesuatu yang tidak adil akan membuat siapa pun menderita. Ia sendiri contohnya. Setelah tercenung beberapa saat, Garnish mengusap matanya yang berair dan mengambil ponsel dari dalam tas tangannya. Ia terdiam sejurus memikirkan sesuatu. Sesuatu yang harus ia tulis untuk Tim. Harus.
Setelah beberapa jenak, ketika Richard kembali ke hadapannya, Garnish telah mampu menyunggingkan senyum termanisnya. Membuat Richard sedikit heran.
“Jadi, bagaimana? Apa yang terjadi?” Richard kembali duduk di sebelah Garnish.
Garnish mengambil napas dan membuangnya perlahan. “Aku sudah membalas pesan pendeknya,” sahut Garnish, sambil menunjukkan layar ponselnya ke Richard. Richard menyipitkan mata dan menekuni tulisan-tulisan kecil itu:
Kau dan ibumu memang seorang pembuat roti yang hebat, tapi aku seorang penulis dan ibuku mantan jurnalis yang telah menulis beberapa buku. Jika kau mau aku membuat roti dan kue untuk keluargamu, aku juga mau kau menulis setidaknya satu buku untukku, untuk keluargaku. Menurutku itu adil. Bagaimana menurutmu?
Richard terkikik setelah membaca pesan pendek itu. Katanya, “Itu tantangan yang cukup adil, dan berat. Kupastikan Tuan Roti akan segera bunuh diri karenanya.”
 “Terima kasih untuk semuanya, Rich, muffin buatanmu jauh lebih enak ketimbang kue apa pun yang dijual di toko si Tuan Roti itu.” Garnish tersenyum, menghirup aroma manis vanilla moka itu dalam-dalam dan beranjak dari tempat duduknya. “Aku akan melanjutkan novelku.” (f)
***********
Mashdar Zainal


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?