Nama Susi Pudjiastuti juga disebut seorang pemilik resto di Pantai Sai Kung, Hong Kong. Di kawasan wisata pantai yang terletak di New Territory of Hong Kong itu ada banyak resto seafood yang menyediakan ragam menu segar yang ditawarkan langsung dalam akuarium. Ada banyak jenis ikan dan udang, juga lobster hidup kualitas nomor satu yang setelah diselisik… ujung-ujungnya terbetik nama Susi sebagai pemasok.
“Modal utama saya dalam bekerja itu adalah rasa suka,” ungkap Susi, suatu kali. Susi tidak bermaksud untuk memberi teori bisnis. Ia sekadar memaparkan pengalamannya, bahwa rasa suka atau hobi itulah yang membuatnya ajek menjadi bakul ikan sejak 1983. Rasa suka itu juga membuat isi kepalanya lebih jernih untuk memprediksi kecenderungan pasar dan mencari produk berkualitas baik untuk memenuhi pesanan dan permintaan. Kemudian, dari situlah ia mendapatkan untung, sebuah bayaran dari rasa cinta yang ia wujudkan dalam karya.
“Tetapi, bisnis itu sesuatu yang tidak pasti.” Susi sudah menyadari itu sejak remaja. Sebagai bakul ikan misalnya, kadang-kadang produk hasil laut yang dibelinya tak laku saat dijajakan. Tak jarang pula ketika ada pesanan, ia tak berhasil memperoleh apa yang dipesan itu. “Jadi, kita harus selalu waspada dan hati-hati dalam melihat permintaan dan pasokan yang ada agar tak rugi waktu, tenaga, dan uang,” lanjutnya.
Saat mengawali bisnis ikannya, Susi memang bukan satu-satunya bakul ikan di Pangandaran. Ada banyak wanita dan pria yang berprofesi sama: ngumpul bareng di tempat pelelangan ikan, menebak dan membeli ikan-ikan pilihan, lalu berebut mengejar pembeli atau menjualnya lagi ke pasar. “Kalaulah harus rebutan seperti itu, pastilah saya kalah. Apalagi, mereka kan punya jam terbang lebih panjang dari saya.”
Namun, secara naluri Susi punya strategi untuk memenangkan persaingan. “Saya cuma ngikuti naluri dan feeling,” katanya. Sebagai anak pantai misalnya, ia tahu begitu banyak jenis hasil laut yang berhasil didaratkan nelayan tiap hari. Semua masuk ke pasar dengan berbagai cara, termasuk juga produk yang sudah diawetkan berupa ikan kering tawar dan asin.
“Sejak semula saya hanya memilih jenis ikan-ikan tertentu, yang saya perkirakan akan laku dan memberi keuntungan lebih besar dari jenis lainnya.” Ikan-ikan jenis tertentu (seperti kakap, ekor kuning, bawal, kerapu, atau marlin) dan udang (khususnya lobster) merupakan produk laut yang jadi ‘spesialis’ Susi sejak awal. Apalagi setelah ia melebarkan sayap, mencari dan membuka pasar baru yang lebih luas dari sekadar Pangandaran dan Cilacap.
Hobinya mampir tiap sore ke pinggir-pinggir sawah di kawasan Cikampek, untuk 'rendezvous' dengan para penangkap kodok ijo, juga merupakan salah satu usahanya untuk menjadi pemasok ikan yang andal. Seperti istilah palugada (apa lu mau, gua ada) yang biasa dijadikan pegangan para pebisnis, Susi sedapat mungkin memenuhi segala permintaan pemesan akan sebuah produk. Yang terpenting, ia tetap memegang prinsip, “Cari dan siapkan barang yang bagus, maka pembeli akan senang. Keuntungannya, harga jual bisa lebih bagus!” ungkapnya. Selain frog legs, Susi juga memasok bird nest alias sarang burung walet yang diambilnya dari para pemanen di gua-gua laut yang banyak terdapat di pesisir pantai selatan Pulau Jawa.
Untuk semua bisnis kesukaannya itu, Susi jungkir-balik lebih dari 12 tahun. Ia tak bosan-bosan menjalin hubungan baik dengan nelayan di berbagai daerah. Ia juga turun sendiri mencari pasokan dan mengantarnya sendiri ke pembeli, sementara pasar-pasar baru terus ia buka dan upayakan. Sebuah pemikiran ke depan yang mungkin tak dimiliki generasi bakul ikan seangkatannya di Pangandaran. (f)