Fiction
Emprit Ganthil [2]

25 Dec 2015

Cerita sebelumnya <<<<

Bertahun silam di masa remajanya, Luhtitisari pernah menyimpan itu, pedih, pesimis dan rasa kecewa yang berulang. Tadinya ia tak mengerti, mengapa ia acapkali merasa getir dan selalu melihat permasalahan dari sisi kelam.

Kini ia sadari itu adalah pola pandang yang ditanamkan Atmaranti pada dirinya sejak kecil. Kata-kata seperti, “Awas bisa jadi segala hal akan menjadi buruk.”
Atmaranti juga kerap mengingatkannya tentang kecemasan, “Kegagalan akan segera menghadang di depan mata. Bersiaplah!”

Tak sekali pun Atmaranti mengungkap tentang indahnya cahaya mentari pagi, wanginya semerbak mawar di sore hari, dan merdunya cicit burung di tengah hamparan alam. Atmaranti hanya berfokus pada sisi kelam dunia seumur hidupnya.
Ia tak pernah puas. Selalu kecewa. Selalu membenci orang-orang tertentu. Selalu merasa iri.

Resapan-resapan sikap itu lama menggelayut dalam diri Luhtitisari.
Ketika ia menempuh pendidikan di luar kota, jauh dari ibunya, barulah ia menemukan dunia. Barulah ia mengerti tentang berbagai makna kehidupan. Baik tersirat maupun tersurat. Segala manis-getir pengalaman membentuknya menjadi pribadi yang utuh. Yang menyempurnakan kekurangannya sendiri.

Mengatasi perdebatan karena kelelahan, Luhtitisari lalu berkata kepada adiknya, “Kita tanyakan saja pada dokter dan perawat. Bagaimanakah keadaan Ibu. Jika cukup stabil dan perawat dapat berjaga penuh selama dua puluh empat jam, kita berdua sebaiknya menginap di penginapan saja. Daripada kita kelelahan dan jatuh sakit pula.”

Anggabaya kemudian melunak dengan gaya lelaki yang memegang banyak uang, pengusaha muda yang sejatinya menetek pada ibunya. Ia begitu penuh percaya diri.
“Baiklah, setelah urusan  Ibu beres dan ia dimasukkan ke ruang perawatan khusus, kita dapat mencari penginapan dan beristirahat di sana.”

    Keduanya lalu duduk di ruang tunggu bangsal perawatan dengan ketegangan yang mulai menurun.
Malam perpindahan ke rumah sakit di ibu kota provinsi itu, dinginnya terasa menusuk di pori-pori Luhtitisari. Entah sudah berapa hari ia menjaga staminanya sendiri, agar mampu terus bertahan, bertengger di sisi kasur ibunya.
Telinganya lamat-lamat mendengar cuitan burung itu lagi. Yang kali ini rasanya tak hanya satu, namun beberapa, “Cuiiittt… cuiiiitttt… cit… cit… cit….”

    Anggabaya sama sekali tak menangkap fenomena alam itu.
Dengan ringan ia bertutur pada kakaknya, “Ibu itu ingin merasakan dirawat di rumah sakit! Kamu tahu kan betapa manjanya ia, selalu merengekkan ini dan itu kepada kita. Nah, kemanjaan itu selalu diucapkannya dengan kata-kata merasa sakit di bagian dada dan sebagainya. Seolah kita harus yakin bahwa ia sungguh menderita sakit. Itulah… kini ia dapat merasakan perawatan rumah sakit. Kau harus bersiap dengan kemungkinan terburuk, Luhtitisari!”

    Kata-kata itu mengalir saja, diucapkan oleh seorang lelaki muda yang bodoh dan sepertinya kurang berpendidikan. Caranya bertutur tak ubahnya membicarakan harga sekilo cabai di pasar. Seolah sekarat ibunya adalah hal yang sangat biasa.
Mereka seperti dua orang yang bermain drama saja layaknya, dua figuran yang numpang lewat dalam episode kematian seorang ibu.

     Tak ada perasaan apa pun yang dirasakan Luhtitisari, yang mampu ia bagikan kepada adiknya itu. Ia hanya bertanya-tanya dalam hati, inikah akhir seorang ibu? Mati sia-sia demi anak yang tak tahu adat?

    Tiba-tiba saja seorang dokter muncul.
Suara sepatunya yang menggema di lorong membuat keduanya sontak berdiri tegak. Seperti mendapat secercah harapan keduanya bergegas mendekati sang dokter.

    “Bagaimana, Dokter?” tanya Luhtitisari. Adiknya membayangi di belakang punggungnya.

    “Ibu Anda kehilangan banyak cairan. Perawatan yang dilakukan sebelumnya sepertinya kurang tepat. Ia mengalami dehidrasi. Saya akan melakukan dialisis untuk membalikkan kondisi ibu Anda, menetralkan zat-zat yang ada di dalam tubuhnya. Harus bersabar dalam dua atau tiga hari, baru akan tampak hasilnya.”

    Dokter itu kemudian mengulurkan tangannya, “Saya Dokter Halayuda.”
    Adiknya menyambut uluran tangan itu. Luhtitisari sedikit ragu, namun akhirnya ia menyambut juga uluran tangan sang dokter.

    “Anda ahli penyakit jantung bukan, Dok?” tanya Anggabaya. “Karena kami membutuhkan spesialis jantung untuk ibu kami.”

    Halayuda tersenyum, “Ya, tentu saya ahli jantung di sini. Perawat yang memanggil dan merekomendasikan saya untuk merawat ibu Anda. Saya lihat kondisi ibu Anda mengalami beberapa komplikasi lain. Kami akan terus mengupayakan yang terbaik.”
    “Kira-kira proses kesembuhannya butuh waktu berapa lama, Dok?” tanya Luhtitisari.
    “Seperti yang saya katakan tadi, kita harus menunggu tiga atau empat hari lagi dan lihat perkembangannya,” Halayuda tersenyum simpul.

    Luhtitisari sedikit kesal. Lagi-lagi para dokter dan perawat seolah menganggap orang yang sakit keras hanyalah hal biasa. Tak ubahnya bayi mengompol.

Tapi di sisi lain ia sadar juga bahwa itulah kenyataan, si sakit hanyalah objek perawatan bagi para dokter dan perawat. Tak boleh ada keterikatan yang terlalu dalam.
Bagaimana tidak? Orang sakit akan selalu datang dan pergi di rumah sakit. Ada yang pergi dalam arti pulang ke rumah dan kembali sehat seperti sediakala. Dan ada yang pergi langsung menuju ke surga. Semuanya tergantung panggilan.

    Luhtitisari akhirnya balas tersenyum tipis dan menganggap dokter itu mengerti apa yang dilakukannya. Bukankah memang untuk itu ia menempuh pendidikan tinggi dan melaksanakan tugasnya? Untuk membuat masyarakat percaya dan bergantung pada urusan mereka di dunia. Namun, dengan kesadaran penuh bahwa Tuhanlah Sang Penentu Segalanya.
Memang tidak mudah dan sangat rancu. Berupaya semestinya, sekuat tenaga sebagai manusia, tetapi menerima hasilnya apa pun juga tanpa kecewa. Butuh kedalaman sanubari untuk tidak menuduh dan bertendensi.

Sementara para dokter sendiri, hanya akan berkaca pada sanubarinya. Jika si sakit mati, pengadilan utamanya nanti hanyalah akhirat. Sungguhkah ia sudah mengupayakan yang terbaik?

    Kelelahan dan ketegangan yang dirasakan sejak awal kepulangan ke kota kelahiran bersama dengan adiknya, Anggabaya, membuat Luhtitisari tidak ingin banyak bertanya-tanya dan mendebat lagi.

Yang penting malam ini ia akan beristirahat dengan Anggabaya di sebuah penginapan. Dan esok pagi mereka berdua akan menanti perkembangan kasus Atmaranti selanjutnya.
  
 “Baiklah, Dokter. Terima kasih,   tengah malam seperti ini Dokter bersedia datang ke rumah sakit dan menangani kasus ibu saya. Saya mohon agar Dokter bersungguh-sungguh menolong untuk kesembuhan ibu saya,” ujar Luhtitisari dengan suara lirih.
Ia tak tahu lagi kata-kata lain, selain kata-kata yang sama persis dengan kata-kata yang diucapkannya pada dokter sebelumnya, di kota kelahirannya.

“Tentu saja, ini sudah menjadi tugas saya. Nona…  maaf atau Nyonya tenang saja,” sahut sang dokter, masih dengan senyum manis di bibirnya. Sebaris kumis tipis menghias senyuman itu. Hal yang tadinya sama sekali tak masuk dalam jangkauan perhatian Luhtitisari.

“Oh, saya Luhtitisari. Dan pria ini bukan suami saya. Dia adik saya, Anggabaya.” Tadi mereka bersalaman tanpa menyebut nama.
“Nona kalau begitu?” tanya Halayuda masih dengan  tersenyum.
Luhtitisari tetap tersenyum tipis saja.

Baginya, saat itu bukanlah saat yang tepat untuk meributkan sebuah panggilan. Sementara Anggabaya tak mengacuhkan segala percakapan kakaknya dengan sang dokter yang dianggapnya hanya salah satu episode drama perkenalan antara pria dan wanita.

Mukanya tetap memasang ekspresi tak peduli. Yang menjadi perhatiannya hanya satu: kapan kira-kira ibu mereka akan sembuh? Semua hal tentang sakit ibunya hanya akan menjadi beban bagi kehidupannya yang penuh dengan hura-hura.

“Besok kami harus datang lagi pukul berapa, Dok?” tanya Anggabaya.
“Pukul sembilan. Saya akan di sini menganalisis treatment yang mulai dilakukan malam ini. Melihat hasilnya esok pagi untuk tahap awal.”

 “Baiklah kalau demikian, kami permisi,” ujar Anggabaya lagi.
Halayuda mengawasi kepergian pria dan wanita muda yang baru saja menyerahkan ibu mereka ke tangannya. Ia merasakan sensasi yang berbeda ketika memandang Luhtitisari dan juga Anggabaya. Bukan karena ia lebih suka kepada Luhtitisari, bukan sekadar itu.
Ia merasakan ada perbedaan yang besar dan mendasar antara kedua kakak-beradik itu. Seolah yang satu lahir di musim semi dalam buaian alam yang penuh cinta dan keindahan. Sedangkan yang satunya lahir di musim dingin, dalam sebuah gua kelam yang gelap gulita dan dibesarkan oleh serombongan serigala.

Bagaimana mungkin dua   kakak-beradik menyajikan perbedaan yang demikian kontras? Dan baginya, Luhtitisari menjadi misteri musim semi yang menarik untuk diamati. Esok pagi, ia akan bertemu lagi dengan keduanya.

Keesokan harinya Anggabaya berkata pada kakaknya, “Aku hanya akan menemanimu sebentar ke rumah sakit. Setelah itu aku harus segera kembali ke kota kelahiran kita. Bisnis Ibu harus terus berjalan dan kini aku yang bertanggung jawab penuh untuk itu. Siapa lagi yang akan mengelolanya jika bukan aku? Apalagi kita akan membutuhkan banyak uang untuk pembiayaan selama Ibu sakit.”

Luhtitisari sama sekali tak berminat dengan pembicaraan semacam itu. Ia sudah tahu segala tipu muslihat adiknya, untuk mencari masalah dan membebankan segala solusi kepada dirinya, jika tidak kepada ibu mereka.

Dan kini, ketika masalah itu bernama Atmaranti, dengan mudahnya ia melimpahkan semua beban ke pundak kakaknya. Ia adalah raja yang berhak menentukan segala perkara dalam keluarga mereka.

Setelah percakapan singkat dengan Halayuda pagi itu, Anggabaya langsung bertolak pulang, meninggalkan Luhtitisari sendiri sebagai pengembara di ibu kota provinsi. Ia menjanjikan akan datang lagi dalam tiga hari. Dan melunasi semua pembiayaan rumah sakit, menggunakan semua pendanaan yang ada dari hasil harta yang dikumpulkan oleh Atmaranti selama ini.

Bagi Luhtitisari, pembiayaan tidak akan menjadi masalah besar, yang terpenting ibu mereka sembuh dan semua dapat diperbincangkan untuk mencari sumber pendanaan terbaik. Sementara dalam hatinya Anggabaya punya rencana lain.
Luhtitisari kemudian menetap di sebuah penginapan di belakang rumah sakit untuk terus menemani ibu mereka. Menurutnya, beberapa hari akan menjadi indikasi yang baik baginya untuk mengamati perkembangan sang ibu.

Ia terus berdoa agar Atmaranti mendapatkan mukjizat pada titik yang boleh dikata menjelang nadir dalam hidupnya.

Luhtitisari pun sesungguhnya buta mengenai keadaan akhir manusia dalam hidup. Sebab, siapakah yang mampu bersiap menghadapi kematian? Siapa pula yang mampu memilih jalannya?

Ia terus menangis diam-diam menyaksikan penderitaan ibunya. Jika Tuhan itu ada, ia hendak memprotes mengapa memperlakukan ibunya demikian. Menyiksanya dengan banyak selang dan jarum suntik. Tidak adakah jalan yang lebih mudah untuk menyembuhkan Atmaranti?

Rumah sakit menyarankan agar Luhtitisari menyewa dua perawat pribadi guna membantunya berjaga. Masing-masing menunggui ibunya selama dua belas jam. Melakukan kewajiban rawat dan mencatat pada jam-jam tertentu.
Perawat yang berkulit putih bernama Tuwuh, sementara yang berkulit hitam bernama Angger. Keduanya disarankan oleh Dokter Halayuda, agar Luhtitisari tidak perlu kebingungan dengan segala bentuk tindak perawatan pribadi yang dibutuhkan untuk Atmaranti. Perawatan untuk ibunya memang tidak mudah.

Awalnya dialisis pengembalian zat tubuh Atmaranti berjalan dengan baik. Wajahnya memerah, kondisinya meningkat dan membuat Luhtitisari jadi sangat gembira. Dengan beban mengganjal karena sudah sekian lama meninggalkan berbagai kesibukannya di ibu kota demi menjaga Atmaranti, Luhtitisari melihat harapan yang muncul bersemi terasa sangatlah indah.

Namun, harapan itu tidak lama, dikarenakan batuk yang hebat mulai mengganggu jalur pernapasan ibunya. Mukanya membengkak  tiap kali Atmaranti terbatuk-batuk keras. Seolah napasnya hendak terputus saja.

Dan,  tiap kali batuk itu tiba, serombongan perawat akan datang lalu menyedot dahaknya dengan sebuah selang yang dimasukkan ke tenggorokan, suction. Luhtitisari melihat hal itu bagai jenis siksaan berikut yang harus dijalani oleh Atmaranti.
Ia mulai mengerti arti doa yang harus dipanjatkan berulang  kali tiap pagi dan petang. Bahwa siksa neraka belum tentu adanya di neraka. Bisa jadi di dunia.

“Tutup hidungmu. Udara kotor! Dan jangan melintas pada gumpalan debu atau orang yang sedang terbatuk-batuk, nanti kau tertular penyakit!” Demikian selalu ibunya berkata. Seolah menutup hidup dan mulut jika lewat dalam tumpukan sampah atau orang yang terbatuk, berpeluh dalam debu, akan dengan pasti mengurangi risiko penyakit saluran pernapasan.

Atmaranti bergaya feodal dalam segala tindak-tanduknya, seolah dengan menjadi seorang ‘darah biru’ akan membuatnya menjalani hidup yang berbeda atau lebih mulia dari orang-orang lainnya.

Ia mudah berprasangka pada orang lain. Dan jika prasangka itu terbukti benar, lalu ia dirugikan secara materi, Atmaranti akan tersenyum penuh kemenangan. Seolah prasangkanya sejak awal membuatnya mampu mengantisipasi penipuan itu.
Menurutnya, meletakkan kasih sayang sebagai dasar segala hubungan adalah naif dan bodoh. Manusia harus selalu waspada, menghitung untung-ruginya manakala manusia lain berniat jahat pada dirinya.

Lalu sekarang Atmaranti mengalami gangguan pencernaan, yang membuatnya tak sanggup menelan makanan. Luhtitisari teringat, bagaimana Atmaranti selalu cenderung menolak menelan kebaikan orang lain dan mudah curiga. Atmaranti juga terkena serangan stroke, yang membuat Luhtitisari terkenang bagaimana Atmaranti selalu sesumbar bahwa dirinya memiliki penyakit jantung dan bisa jadi Tuhan memanggilnya sewaktu-waktu. Lalu, rasa jijiknya terhadap debu dan udara kotor membuat Atmaranti menghindar jauh-jauh dari orang yang menurutnya menularkan udara busuk. Kini ia juga mengidap sakit saluran pernapasan.

Segala ucapan akan menjadi takdirmu, kata pepatah lama. Dan ibunya tidak percaya itu. Ia hanya percaya kecurigaannya sendiri, kekecewaannya sendiri, rasa antipatinya sendiri dan menciptakan takdir bagi dirinya sendiri. Diam-diam merasa Tuhan tak pernah adil pada dirinya. Di atas segala hal Atmaranti paling sulit mengungkapkan rasa syukur.
Makanan yang ditelan selalu dikatakan tak enak. Pertunjukan tari-tarian membuatnya merasa bosan. Pada suatu masa Luhtitisari merasa bahwa pergi menjauh dari ibunya adalah hal terbaik yang pernah dilakukannya. Walau di dasar hati ia juga tahu perihal itu yang paling durhaka, yang pernah dilakoninya sebagai seorang anak.

Kini Luhtitisari tetap melihat keputusannya itu sebagai suatu kebenaran. Ia mampu menganalisis peristiwa-peristiwa dengan makna yang lebih baik. Tidak melulu masalah untung dan rugi seperti yang diajarkan Atmaranti. Ia mampu mengagumi kesederhanaan dan kemiskinan sebagai cara Tuhan merangkul umat-Nya. Sebab, mereka yang ditinggikan dan terhormat acap kali lupa bersujud menyembah-Nya.

Niat Luhtitisari menunggui Atmaranti yang hanya sekitar tiga hari hingga seminggu,  memanjang menjadi tiga minggu. Waktu tiga minggu itu terasa sangat lama, seolah Luhtitisari diberi kesempatan kedua untuk sungguh-sungguh mengenal Tuhan.
Dan memanglah demikian, ketika malaikat maut mulai terbang berputar-putar di sekeliling kita. Seolah sabda-Nya hanyalah satu-satunya suara yang mampu didengar Luhtitisari, indra keenamnya terbuka dengan baik. Bagai pori yang tersiram air hangat.
Kedua perawat, Tuwuh dan Angger, secara otomatis menjadi dua teman terdekatnya. Keduanya secara aneh juga menjadi simbol kebaikan dan keburukan. Kedengkian dan kasih sayang.

Tuwuh sangat lembut dan selalu merawat ibunya dengan telaten. Seolah menjadi perawat adalah napas kehidupannya. Janda dua anak itu dengan riang menceritakan bagaimana ia membesarkan anak-anak seorang diri setelah suaminya tiada. Ia menanamkan nilai-nilai cinta.

Sebaliknya, Angger adalah perawat yang kasar dan banyak bicara. Mulutnya tak henti menceritakan berbagai peristiwa seputar kematian yang terjadi di rumah sakit.
Bagaimana anak-anak tidak mau membayar perawatan termahal untuk biaya orang tua mereka. Bagaimana anak-anak justru memilih perawatan termurah yang dapat mereka lakukan untuk orang tua mereka. Untuk mempercepat proses kematian sehingga tidak terlalu banyak merugikan mereka yang ditinggalkan. Menjadi perawat bagi Angger hanya sekadar mengais rezeki.

Ocehan Angger membuat Luhtitisari kian tersayat-sayat dalam hati. Ketika keadaannya demikian, seorang perawat yang tak tahu diri dan dibayar olehnya justru memperolokkan bakti anak-anak pada orang tuanya. Mengukur sikap orang lain dengan mata telanjangnya sendiri setara kemampuan Tuhan.

Seolah seorang perawat dengan gaji rendah seperti dirinya akan mampu berbuat lebih baik ketika maut terbang berputar dan mengitari salah satu anggota keluarga.
Memilih Angger sebagai perawat sebenarnya bukanlah kehendak Luhtitisari, nama-nama perawat yang muncul memang sesuai ketentuan rumah sakit. Siapa yang tersedia untuk penugasan menjaga Atmaranti ada dalam pendataan. Mau tak mau ia harus bersabar menghadapi Angger  tiap saat. Cerita selanjutnya>>>>>>>

                                                                                                   



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?