Travel
Ekspedisi Danau Sentarum

27 Jun 2012



Menemui suku tradisional Nusantara dan menyelami kehidupan mereka adalah sebuah pengalaman luar biasa. Selain gaya hidupnya yang masih terjaga secara tradisi, untuk menuju ke lokasi tempat mereka tinggal juga sebuah petualangan tersendiri. Suku Dayak Iban, salah satu rumpun suku Dayak yang banyak tinggal di Kalimantan Barat, kampungnya terletak sekitar 700 kilometer dari ibu kota Kalimantan Barat, jauh di dalam Taman Nasional Danau Sentarum.



KEELOKAN MISTIS
Pagi itu, bunyi lembut mesin perahu berkekuatan 3 pk yang saya tumpangi mengiring perjalanan membelah ketenangan air danau. Sisa-sisa kabut masih menggantung tipis di atas permukaan danau dan menebal di puncak-puncak pepohonan berusia puluhan, bahkan ratusan tahun yang tumbuh di rawa-rawa. Membawa suasana damai sekaligus mistis di Meliau, salah satu kawasan perkampungan yang ada di TN Danau Sentarum.

Spontan, saya julurkan tangan untuk menangkap percikan dinginnya air danau yang berwarna cokelat kemerahan dari sisi lambung perahu. Rupanya, bahan asam tannin dari pohon dan daun yang membusuk dalam air inilah yang menyebabkannya memiliki warna seunik ini.

Saya melihat serumpun tanaman kantong semar berwarna hijau dengan sepuhan merah di bagian tepi dan tutupnya. Salah seorang penghulu perahu mengambil sebuah yang memiliki kantong besar. Ia bercerita, ketika mereka mencari ikan dan kelaparan, para nelayan dari suku Dayak Iban ini akan memakai kantong semar sebagai panci untuk menanak nasi. Caranya, membakar kantong semar yang telah diisi oleh beras dan air sungai secukupnya.

Memang, dari penampilannya, agak meragukan jika kantong semar ini bisa bertahan oleh jerangan api. Tetapi, selama keragu-raguan ini tidak terlontar keluar, maka apa yang ditakutkan tidak akan terjadi. Sebaliknya, jika sampai terucap, maka kantong semar itu akan ikut terbakar habis. Oleh sebab itu, ritual memasak ini sebaiknya dilakukan dalam diam.

Nelayan biasanya senangn memetik jambu hutan. Buahnya tampak seperti segerombolan bunga kecil-kecil. Namun, setelah diperhatikan, bunga ini sebenarnya adalah buah yang bentuk maupun rasanya mirip dengan manis asam buah jambu air.. Tak hanya nelayan yang suka, buah unik ini juga merupakan kudapan favorit orang utan.

Orang utan merupakan bagian dari 147 spesies hewan mamalia yang bisa ditemukan di kawasan danau. Mereka hidup berpindah-pindah dengan membangun sarang sebagai tempat tidur yang dibuat dari tumpukan daun dengan tebal sampai tujuh lapis.

Meski tak berhasil berpapasan dengan salah satunya, saya berpapasan dengan para penghuni danau, seperti ular belang berbisa, biawak, berang-berang, dan burung enggang.
 
Bagi suku Dayak, burung enggang adalah totem yang sangat disakralkan. Mereka percaya bahwa burung ini adalah jelmaan dari roh leluhur yang menjadi pelindung mereka.

Akar tanaman yang  malang melintang   di bawah air terkadang membuat kami harus mematikan mesin perahu agar baling-baling tidak patah karena tersangkut. Namun, justru di saat-saat seperti inilah telinga saya dibuai oleh suara alam. Bunyi arus sungai dan suara percikannya saat beradu dengan dayung, cericit dan lengkingan berbagai jenis burung atau hewan mamalia, dan desahan daun yang tertiup angin sepoi. Heaven on earth!




Mengenal Dayak Iban
Setelah menempuh perjalanan darat 8 jam dari Pontianak ke Kebupaten Sintang, dan lanjut dengan 8 jam perjalanan air memakai speedboat, akhirnya saya tiba di Meliau. Bunyi pukulan alat musik kenong yang terbuat dari tembaga mengiringi tarian Ngajat dari dua wanita yang menyambut kedatangan kami.

Suku Dayak Iban adalah salah satu rumpun suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Barat, Sarawak, dan Brunei. Komunitas yang tinggal di Danau Sentarum ini, hanya sebagian kecil saja dari Dayak Iban. Selama masa kolonial inggris, Dayak Iban sebelumnya dikenal dengan julukan Dayak Laut.

Saya meniti anak tangga kayu sempit minus pegangan yang menjulang tinggi menuju ke rumah betang, tempat kami menginap. Rumah panggung sepanjang 300 meter ini keseluruhannya tersusun dari papan kayu yang dibangun di atas pilar-pilar kuat kayu belian (kayu besi) dengan tinggi rata-rata 8-9 meter dari tanah. Sengaja dibuat setinggi ini untuk menghindari tusukan tombak saat terjadi perang suku di masa lalu.

Di dalam rumah betang terdapat selasar memanjang yang berfungsi sebagai balai pertemuan, tempat upacara adat, dan tempat bersosialisasi penghuninya. Di sepanjang selasar terdapat 14 bilik, yang setiap biliknya dihuni oleh 2-3 kepala keluarga. Total, ada sekitar 27 kepala keluarga yang tinggal di rumah betang ini. Sebagai pendatang, saya wajib menjalani upacara gawai, tradisi penyambutan, sekaligus mengusir roh atau kekuatan jahat yang mungkin menempeli saya selama perjalanan.
   




Ritual Manyauti
Upacara berjalan cukup unik, setelah saya duduk, tetua adat yang sudah lanjut berkeliling sambil mengibaskan ayam jantan (hidup) ke atas kepala kami. Bagian adat yang dikenal dengan istilah manyauti ini dipercaya sebagai penawar mimpi buruk dan roh jahat. Kemudian, ayam tersebut dipotong, dan bulu ekor yang telah dicelup darah ayam disapukan ke seluruh tamu agar semua hal yang buruk ikut dibawa pergi oleh ayam yang mati.

Barisan piring berisi berbagai penganan di depan kami membuat perut yang keroncongan setelah perjalanan panjang mulai bereaksi. Ada sumanan pulut (nasi ketan dalam bambu bakar), rendai (berondong padi), dan tompe (beras ketan yang dimatangkan di atas daun pisang). Sebagai temannya, mereka menyajikan baram, minuman dengan sedikit kandungan alkohol hasil dari fermentasi tapai.

Uniknya lagi, isi pinggan yang tersisa kemudian disatukan dalam piring, lalu  digantung di langit-langit. Tiga hari kemudian, mereka akan melihat apakah ada makanan dan minuman yang isinya berkurang, tanda bahwa sesajen tersebut dimakan roh. Bagian yang tidak dimakan, ditaburkan ke beberapa titik yang dipercaya sebagai tempat bersemayam roh.

“Semua ritual ini lebih mereka jalankan dengan tujuan untuk melestarikan budaya leluhur dan memohonkan keselamatan,” terang Anas Nasrullah, salah satu staf WWF Indonesia yang mendampingi penduduk setempat.

Sebagian besar  suku Dayak Iban di Meliau menghidupi keluarga mereka dengan mencari nafkah sebagai nelayan. Tidak heran, jika di atas langit-langit kayu bilik tempat saya bermalam, terlihat gulungan jala  dan jaring-jaring untuk menyimpan ikan.

Sementara para suami mencari ikan, para istri menganyam tikar dan tas punggung tinggi untuk menambah pendapatan. Walau tinggal di pedalaman yang terpencil, anak-anak suku Dayak Iban tetap mengenal pendidikan. Untuk itu, mereka, murid SMP atau SMA, harus menempuh perjalanan dengan speedboat 40 pk selama dua jam dari Meliau ke Kota Kecamatan Batang Lupar.

Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba minim, hubungan  kekerabatan di antara mereka sangat erat. Saat makan bersama menjadi favorit saya. Di atas tikar yang digelar tersaji bermacam lauk dan sayur, termasuk masakan ikan hasil tangkapan mereka.

Setelah sempat makan piranha bakar di atas restoran terapung di Sintang, malam itu saya mencicipi ikan tapah dan toman (snake head), ikan agresif yang bisa mencapai panjang lebih dari satu meter dan bobot lebih dari 60 kilogram. Selain ikan-ikan ini, terdapat sekitar 266 spesies ikan yang hidup di Danau Sentarum, salah satunya ikan langka arwana merah (Secleropages legendrei) yang kalau dijual bisa mencapai harga di atas jutaan dolar AS!

kedua ikan yang agresif ini, bersama buaya dan ikan buntal yang beracun, menjadi ancaman tersendiri bagi warga yang tinggal di sungai. Makanya, saya sempat waswas juga ketika tahu bahwa kami harus mandi di sungai. Untuk mandi, saya harus turun ke bawah dengan mengenakan kemben sejak dari kamar (tak ada kamar mandi untuk berganti pakaian). Minim listrik,saya memakai lampu senter untuk penerangan.

Dari lubang antarpapan yang membentuk bak, saya bisa merasakan deras arus sungai. Sempat deg-degan juga, bagaimana jika buaya, ular air, atau dua ikan ganas tadi masuk dari   celah-celah papan dan menggigit saya?

Tetapi,  segarnya air sungai dan siraman sinar dari berlaksa-laksa bintang di langit malam yang jernih membuat saya lupa pada semua ketakutan itu. Kepenatan setelah perjalanan panjang sehari itu langsung lepas, berganti dengan harmoni alam yang menenangkan jiwa.



Kalau Ingin Kesini
  1. Minum pil kina seminggu sebelum berangkat, sebagai antisipasi malaria.
  2. Lotion antinyamuk, sun block, dan obat-obatan pribadi (obat maag, mabuk darat/sungai, obat alergi, dll.)
  3. Topi yang bisa menaungi wajah dan kain untuk menutup wajah. Meski tidak terasa karena terpaan angin kencang, sinar matahari cukup menyengat!
  4. Baju berbahan katun yang ringan.
  5. Agar nyaman, kenakan sandal gunung. Jika ingin berjalan kaki mengeksplorasi rawa, kenakan sepatu boot karet.
  6. Jaket antiair yang dilengkapi tudung kepala yang bisa sekalian untuk menghalau sengatan matahari, angin, dan hujan.
  7. Bawa persediaan air mineral.
  8. Kimono mandi. Hampir semua rumah Dayak Iban tidak memiliki kamar mandi, tapi mandi di sungai, dan tidak ada kamar ganti. Jadi, agar nyaman, kenakan kimono sejak dari kamar.(NJL)






 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?