Fiction
Dua Orang Asing [1]

7 Sep 2013


Oleh Yetti A.K.A

PENERBANGAN masih dua jam lagi. Kamu datang terlalu cepat karena takut terlambat. Kamu pernah kehilangan tiket penerbangan gara-gara terlambat lima menit. Hanya lima menit. Dan itu seolah mengacaukan hidupmu, dan tentu pula di antaranya membuyarkan semua agenda penting bersama kolega kantor. Dengan adanya kejadian itu, sudah lima bulan ini kamu selalu datang jauh lebih awal dari jam keberangkatan pesawat. Kamu benar-benar mengambil pelajaran.

Tapi, kali ini kamu tiba di Bandara Soekarno-Hatta empat jam lebih cepat dari batas waktu check in yang tertera di tiket. Ada alasan lain mengenai itu. Kemarin sore Jakarta hujan lebat. Badai. Banjir. Macet tidak terhindarkan. Bahkan, temanmu terjebak macet hingga tiga jam di jalan tol. Kamu untung tidak ke mana-mana. Hanya di hotel saja. Semua urusan sudah kamu selesaikan siang harinya. Kejadian serupa tentu bisa datang kapan saja. Apalagi musim saat cuaca sulit ditebak. Kamu mencoba mengamankan perjalananmu. 

Setelah menikmati caffe latte di Starbucks, kamu duduk di kursi tunggu. Seorang perempuan muda bertubuh kurus duduk berhadapan denganmu. Tingginya kira-kira 160 cm. Rambutnya ia ikat serampangan, beberapa bagian terlepas dan jatuh di tengkuk, beberapa yang lain di pipi, terkesan acak-acakan, namun sungguh yang kamu pikirkan justru betapa ia perempuan yang sangat asyik.

Kebanyakan perempuan sangat peduli pada kerapian. Perempuan muda itu justru tampak tidak terlalu peduli pada apa pun. Tunggu, kamu mengingatkan diri sendiri, jangan dulu menyimpulkan apa-apa. Perhatikan jumpsuit hijau muda yang melekat pada kulit bersih perempuan itu. Serasi sekali. Ia bagai pucuk tumbuhan sehabis hujan. Segar dan berkilat-kilat.  Kamu menahan napas. Seolah-olah kamu takut ia bukan sebuah kenyataan dan kamu bisa menyesal jika terlalu mendadak kehilangannya. Tapi, setengah jam kemudian, perempuan itu masih di sana. Membaca buku. Kamu tidak bisa melihat judul buku yang ia baca. Kemungkinan besar novel. Banyak orang memilih novel untuk dibaca dalam perjalanan ketimbang jenis buku lain. Kamu sendiri lebih suka membaca buku catatan perjalanan sebagai pengisi waktu, sementara novel kamu anggap mesti dibaca di waktu khusus, dan tentunya tidak di Bandara. Kamu pembaca novel yang serius.

Saat membaca, kamu perlu menandai kalimat-kalimat penting dengan stabilo kuning --harus warna kuning-- untuk kemudian kamu pikirkan beberapa lama. Kamu sangat menyukai karya-karya Victor Hugo.

Kembali kamu menjelajahi detail perempuan itu. Hmm. Memang sangat manis dilihat dari sisi mana pun. Bibirnya tebal, meski tidak keterlaluan. Dengan bibir begitu saja sudah sangat menarik tanpa perlu menambahkan apa-apa. Alisnya juga rimbun dan tidak beraturan. Mirip tumbuhan liar. Kamu menyukai alis seperti itu. Kamu membayangkannya seperti sebuah hutan.

Blue, anakmu, punya hutan di sudut halaman belakang rumah. Tentu bukan hutan yang sebenarnya. Hanya tumbuhan semak dan tiga batang jambu keras yang sengaja dipelihara. Kalau sedih, Blue lari ke sana, dan kamu tidak susah mencarinya. Ternyata, anak itu banyak merasa sedih di masa kecilnya. Maka, kalau pulang kerja, kamu lebih sering menemukan ia berada di hutan itu ketimbang di tempat lain.

Blue tidak memiliki banyak teman. Anak-anak di perumahan tempatmu tinggal memang tidak ramai. Perumahan itu berada di pinggir kota. Masih sepi. Tidak banyak orang yang betah hidup dalam kesunyian, terasing, dan lebih banyak mendengar suara alam ketimbang kehidupan manusia. Teman-temannya yang hanya sedikit itu kadang-kadang saja mau bermain di hutan kecil. Mereka lebih senang nonton film kartun di televisi atau main playstation. Lagi pula mereka memang Blue anggap bukan teman yang tepat dalam hidupnya.

“Mereka takut pada serangga,” ujar anakmu itu, cemberut. Kamu tersenyum. Kamu ingat waktu kecil teman-temanmu malah suka makan belalang dan serangga lainnya.
“Makan belalang?” seru Blue saat akhirnya kamu ceritakan dengan maksud menghibur. “Teman-teman Papa menakutkan.” Blue berlari ke hutan kecil di sudut halaman. Mungkin ia menangis membayangkan belalang yang malang. Atau mungkin ia baik-baik saja. Kamu membiarkan ia meredakan dirinya sendiri.

Tidak mudah mempertahankan keberadaan hutan itu. Tidak banyak orang tua yang tenang membiarkan anak kecil bermain-main dalam hutan, termasuk Tatila. Tentu saja karena istrimu itu telanjur hidup menjadi bagian dari orang kota.  Ia menganggap serangga dan binatang yang hidup di hutan itu sangat berbahaya. Bagimu, itu ketakutan tidak perlu yang, sayangnya, sulit ia mengerti.

Tatila bilang gagasan membuat hutan itu tidak lebih dari kegilaan yang menyebalkan. Ia ingin sekali menyingkirkannya. Namun, anakmu tidak membiarkan ia melakukan itu. Sejak lahir Blue sering sakit-sakitan. Itu justru menjadi kekuatannya mempertahankan hutan itu. Siapa yang tega menyakiti perasaan Blue? Ia anak yang lebih rapuh dari sayap kupu-kupu. Kalau ia bisa bertahan, itu karena kalian menjaga perasaannya dengan sangat hati-hati. Demi meluluhkan pendirian Blue, Tatila cuma berkata (dan bukan sama sekali memaksa), “Percayalah, sebentar lagi musim hujan, dan ular-ular yang bersarang di sana akan melata ke rumah kita, tinggal di gudang dan mencuri makanan di dapur.”

Tatila seorang perempuan yang terobsesi pada kesempurnaan dan itu menyebabkan ia terlalu cerewet pada apa pun yang orang lain lakukan, seolah-olah itu sangat memengaruhi hidupnya.

“Tidak sehoror itu. Mama senang melebih-lebihkan,” bantah anakmu, tak acuh.
Tatila terus saja mengatakan kemungkinan-kemungkinan buruk lainnya. Mulutnya tidak berhenti bicara. Tapi, kamu tidak terlalu ingin mengingat semua itu. Sekarang kamu sedang di bandara. Sedang duduk berhadapan dengan seorang perempuan muda di ruang tunggu. Kalau kamu memikirkan kembali tentang hutan di belakang rumahmu, tak lebih untuk menguatkan alasanmu kenapa menyukai alis perempuan itu. 

Bertemu seorang asing, dalam suatu perjalanan, bukan sesuatu yang luar biasa bagimu. Hampir tiap saat kamu bertemu orang asing. Namun, baru kali ini kamu menemukan alis seseorang yang bisa menerbangkan pikiranmu pada hutan kecil milik Blue. Mungkin karena jam penerbanganmu masih lama, dan kamu perlu sesuatu yang menghibur. Mungkin karena hidupmu sudah terlalu monoton dan kamu ingin sedikit keriuhan dalam dirimu. Secara kebetulan perempuan itu dikirim padamu. Perempuan dengan alis memikat yang entah siapa kecuali ia tampak berbeda dari orang-orang yang berada di dekatmu.

Ia duduk tenang, membaca buku yang kamu belum juga tahu apa judulnya, sementara orang lain tampak lalu-lalang dan tergesa. Kamu tentu saja tidak ingin tahu siapa nama perempuan itu. Tidak penting. Bertemu dengan seseorang dan membiarkan dirimu tidak tahu apa-apa tentangnya telah memberi ruang pada imajinasimu untuk bekerja.

Katakanlah nama perempuan  itu tidak terlalu bagus. Mungkin nama yang terlalu biasa dan orang akan mudah melupakannya. Hanya sedikit sekali orang punya nama bagus dan nama itu diingat selamanya. Nama-nama seperti itu kadang mirip pecahan mantra seorang penyihir yang melayang-layang di udara kemudian ditangkap seseorang tanpa sengaja. Lalu saat nama itu diberikan pada seorang anak yang lahir, sejak itulah ia merebut segala perhatian dunia. 
 
“Apa namaku diambil dari pecahan mantra penyihir itu, Papa?” tanya Blue serius suatu kali.
“Kupikir begitu.”
Blue menatap bola matamu, “Sebelum Papa menangkapnya, apa namaku semacam cahaya kunang-kunang?”
“Oh, sangat mungkin juga,” jawabmu antusias.
Blue tertawa. 

Nama Blue memang bukan nama biasa, ia lahir untuk menarik perhatian dunia. Setidaknya itu yang pernah kamu katakan pada Blue kala ia terbangun tengah malam dan ia minta kamu menceritakan sesuatu agar ia bisa tenang dan kembali tertidur.

Tapi, perempuan itu, mungkin saja ia memang cukup memerlukan nama yang biasa, sebab ia duduk di sana bukan untuk menarik perhatian dunia, melainkan seorang lelaki 40 tahun yang sedang menunggu jam keberangkatan. Perempuan yang telah meredam suara-suara lain di sekitarnya hingga yang tertinggal hanya dirinya sendiri. Sementara kamu mencuri satu demi satu dari pesona perempuan itu tanpa ia sadari. Menyimpannya sebaik kamu menjaga ingatan paling membahagiakan tentang Blue.

Kamu tertawa tipis, merayakan perasaanmu seperti seorang kanak-kanak nakal. Sekejap setelah itu kamu mendadak sedih. Sudah berapa lama kamu tidak merayakan perasaan?  Beberapa jam lalu kamu bahkan masih seorang lelaki yang duduk di bandara dengan perasaan yang sangat biasa. Hambar. Pikiranmu penuh dengan hal-hal berbau pekerjaan. Ingatanmu sesekali melompat ke rumah.

Anakmu yang senang sekali berada di hutan kecilnya. Mulut istrimu yang tidak henti-henti mengomentari apa pun yang bisa dijadikannya sebagai masalah. Dari soal pembantu hingga pekerjaan kantornya yang belakangan sudah menerobos pintu depan rumahmu, masuk ke berbagai ruang, hingga ke kamar tidur.

Betapa bukan kehidupan semacam itu yang kamu inginkan. Rumah bagimu tempat melepaskan pikiran dari ketegangan pekerjaan. Tempat kamu hanya memandang mata anakmu yang bulat. Tempat kamu di malam hari bersama keluarga menikmati kunang-kunang dari jendela yang terbuka—dan bukankah karena itu pula kalian memilih rumah di pinggiran kota? Tempat kalian membiarkan bunyi jangkrik dan katak menjadi musik pengantar tidur. Tempat sesekali kalian mendengar suara burung hantu dari pohon kapuk milik tetangga pada tengah malam.

Semua berubah. Hubunganmu dengan Tatila bergerak berlawanan arah, lepas pelan-pelan, menjadi biasa-biasa saja. Maka kamu tidak berdebar lagi ketika pagi hari menemukan bibir Tatila yang merah muda. Kamu lupa kapan terakhir dadamu berdesir saat melihat Tatila mengenakan handuk putih keluar dari kamar mandi.

Terdengar pengumuman dari petugas bandara. Kamu seolah baru terbangun dari mimpi aneh. Perempuan di depanmu sudah pergi, kursinya sudah ditempati orang lain. Entah kapan tepatnya. Rasanya tadi kamu benar-benar tidak melepaskan pandangan darinya sama sekali. Kembali terdengar pengumuman. Mungkin itu pengumuman yang ke-50 kali sejak kamu tiba di bandara. Kamu tentu tidak menghitung dengan tepat. Kamu benar-benar mengabaikan segalanya. Suara-suara. Orang-orang yang lalu-lalang. Kamu hanya memberikan tempat bagi perempuan muda itu. Dan sekarang bisa jadi ia sudah bersiap terbang ke tempat tujuannya. 

Seperti orang bingung kamu melirik jam tangan. Setengah jam lagi kamu akan segera terbang. Kamu bergerak ke ruang keberangkatan sambil kembali mengingat-ingat tentang perempuan muda itu. Memikirkannya membuat ingatan lain muncul. Mula-mula samar, lalu terang. Sembilan tahun lalu kamu berada persis dengan situasi yang kamu alami beberapa waktu tadi. Kamu terpesona pada seorang perempuan yang menunggu jam keberangkatan di kursi tunggu.

Perempuan itu tinggi dan langsing. Ia memiliki alis yang eksotis. Waktu itu bahkan ia juga mengenakan jumpsuit hijau muda. Perempuan itu bernama: Tatila.
Ponselmu berbunyi. “Ya, Blue?” tanyamu gelagapan.
Blue bilang kalau ia menemukan ular di hutan kecilnya. Ia ingin itu menjadi rahasia kalian berdua.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?