Trending Topic
Didorong, Jangan Dipaksa

21 Nov 2013

Ada banyak latar belakang orang tua mengikutsertakan anaknya di ajang kompetisi adu bakat. Sebagian karena ingin bakat anak tereksplorasi, lainnya menyimpan mimpi meraih jalur tenar dengan cara instan. Bahkan, beberapa ahli juga memiliki tanggapan berbeda tentang hal ini.

Ada ahli yang mengatakan bahwa rajin mengajak anak ikut lomba membuat anak belajar sportif. Tetapi, ada juga ahli yang mengkhawatirkan bahwa terlalu mengekspos anak pada berbagai lomba tanpa diimbangi kegiatan lain akan membuat anak tidak bisa menikmati hidup. Sebab, bagi mereka segala sesuatu adalah kompetisi.

“Padahal, salah satu fungsi bakat adalah untuk menciptakan kebahagiaan. Dan rasa bahagia ini sulit sekali dimunculkan ketika anak hanya melihatnya dari sisi menang dan kalah,” ungkap Anna Surti Ariani, S.Psi,.M.Si.

Harus dibedakan antara minat dan bakat. Bakat adalah bawaan lahir dan mungkin belum terlihat jika tidak dicoba. Sementara minat adalah sesuatu yang dipelajari dan diciptakan melalui pengalaman pribadi anak. Apabila tujuan orang tua adalah untuk memunculkan bakat anak, maka mau tidak mau mereka harus mengekspos anak pada berbagai macam kegiatan.

“Didorong itu perlu, tapi jangan dipaksa,” ujar Anna. Hanya, batasan antara didorong dan dipaksa itu tipis. Sehingga, orang tua harus sensitif dalam mengenalinya. Salah satunya dengan cara mendengarkan pendapat anak-anak kita.

Hal ini pula yang coba diterapkan oleh Ruth terhadap Cantika. Setelah mendapat info tentang kontes LMI dari seorang teman, ia menawarkannya kepada Cantika. “Jadi, saya juga tidak serta-merta mendaftarkan anak, tapi menanyakannya dulu. Rupanya dia tertarik. Jadi, ini murni karena keinginan Cantika,” jelas Ruth, tentang putrinya yang memang sering ikut lomba, seperti fashion show, story telling, atau membaca puisi.

Mengatasi efek berlanjut dari kemenangan atau kekalahan pada anak juga menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua. Sebab, ketidaksiapan orang tua mengelola popularitas anak  juga akan menjadi bumerang, yang bahkan mungkin baru akan terlihat ketika anak-anak itu beranjak dewasa. Michael Jackson adalah contoh sempurna. ‘Pemberontakan’ ini bahkan telah terlihat sejak usia belia, seperti yang baru-baru ini terjadi pada Miley Cyrus (baca tulisan lengkapnya di artikel rupa-rupa edisi ini), Amanda Bynes, dan Lindsay Lohan.

Ketika anak menjadi bintang, orang tua harus siap dengan segala risikonya. Sebab, dunia industri kita menuntut si bintang untuk bisa tampil di berbagai kemampuan. ”Dan ketika ia tampil di segala lini ini, dia akan tidak terkontrol, bahkan harus syuting hingga pukul 3 pagi dengan wajah tetap ceria dan happy. Kepada orang tua, bisa saja ia menampilkan wajah ceria karena tidak ingin mengecewakan, padahal di balik itu bisa sangat berbeda,” papar Nina.

Sebagai orang tua yang juga seorang entertainer, Uya Kuya sangat memahami hal ini. Terlebih, karena putrinya, Cinta (9), juga mengikuti jejaknya menjadi seorang entertainer sejak usia 4 tahun sebagai pesulap cilik. ”Pernah Cinta mau main sinetron, tapi di tengah jalan dia bilang bosan. Saya stop. Padahal, sebenarnya saya sudah terikat kontrak dengan Rapi Films. Tapi, saya bilang, anak saya bosan, saya lepas kontraknya,” cerita Uya, yang tidak pernah memaksa Cinta untuk melakukan apa yang tidak disukainya.

Tantangan lain yang menurut Anna harus dihadapi orang tua adalah bagaimana menjaga agar di tengah segala ketenaran dan ingar-bingar dunia show biz mereka tetap membumi dan menjadi anak-anak. Bisa berkata ’tidak’ kepada anak, dan memperlakukan mereka sama seperti anak-anak lainnya, misalnya dengan tetap melakukan pekerjaan rumah, mengerjakan kewajibannya di sekolah, dan bermain dengan teman-teman sebayanya.

Begitu juga sebaliknya, ketika anak-anak menghadapi kekalahan. Seperti yang dihadapi Ruth ketika putrinya, Cantika, harus tereliminasi, atau memakai istilah khas LMI: ’harus sekolah lagi’. ”Dia sempat tidak mau lihat televisi. Sempat juga bilang, ’Malas, ah, ngomong itu lagi,’” ujar Ruth, mengulang kata-kata putrinya setelah keluar dari show.

Ruth kemudian mengupayakan agar ’pil pahit’ yang harus ditelan oleh Cantika berubah menjadi ’vitamin’ penyemangat. ”Ketika nama Cantika tidak dipanggil saat pengumuman, ia menengok ke arah saya. Saat itulah saya berkata, ’Terima kasih, ya,’” cerita Ruth, di acara final terakhir bagi Cantika. Bagi Ruth, apa pun hasilnya, Cantika sudah memberikan yang  terbaik. Putrinya pun senang karena bisa membuat bangga keluarga.

Berbicara tentang kriteria penilaian di ajang bakat anak ini, Anna punya keprihatinan tersendiri. “Saya jadi ragu ketika ajang pencarian bakat dinilai dari kriteria layak ditonton dan menghibur. Penilaiannya juga terkesan sama rata. Padahal, beda usia, tentu akan berpengaruh pada beda tingkat kemampuannya. Beda talenta, beda pula tantangannya,” ungkap Anna.

Apabila talenta yang ditayangkan sejenis, maka kriteria penilaian akan jelas dan terukur. Sehingga, hal ini bisa mendorong anak untuk berlatih lebih baik lagi. Sebab, yang diperbaiki lebih riil. Anna mengutip hasil penelitian populer psikolog perkembangan asal Amerika, Deborah J. Stipek, tentang psikologi anak dalam berkompetisi.

Dalam penelitian itu dikatakan bahwa anak  usia 2 tahun tidak memiliki jiwa kompetisi, mereka hanya akan mengerjakan apa yang mereka sukai. Di usia 2-3 tahun mulai tumbuh rasa senang ketika anak bisa menguasai suatu keahlian. Di usia ini anak membutuhkan pengakuan ketika berhasil, dan afeksi saat ia gagal.
Sementara itu, di usia 3-5 tahun, standar anak mulai dipengaruhi oleh pendapat pihak luar. Perasaan tidak berhasil akan membuatnya mengalami demotivasi. Akibatnya, anak enggan mengembangkan bakatnya. “Hal ini rentan terjadi dalam kompetisi bakat dengan interval usia yang jauh, seperti dari 3-10 tahun. Sebab, perbandingannya tidak apple to apple,” lanjut Anna. 

Namun, Anna mengakui bahwa unsur ‘drama’ sangat diperlukan dalam sebuah pertunjukan. Dalam hal ini, maka peran para juri sangatlah penting dalam memberikan pemahaman kepada anak-anak, baik mereka yang berhasil ataupun yang gagal.

“Sejak dari awal acara, dalam tiap briefing, kami selalu menekankan kepada peserta dan orang tua  bahwa siapa pun yang akan keluar, mereka itu juga pemenang. Sebab, untuk sampai di posisinya saat ini, mereka sudah berhasil menyisihkan ribuan pendaftar. Para juri yang sengaja kami ambil dari orang tua yang sudah memiliki anak, juga wajib memberikan dukungan moral dan masukan agar anak tidak down,” terang Cornel, tentang ajang bakat anak yang dipegangnya.

Selebritas pria yang sering didaulat menjadi MC atau juri ajang bakat anak, Irfan Hakim, punya persiapan sendiri dalam melakukan tugasnya ini. “Saya cukup rajin mengikuti seminar parenting bersama istri. Awalnya untuk kepentingan sendiri, tapi sangat berguna dalam menjalankan tugas saya. Saya jadi tahu bagaimana cara anak bisa terbuka dengan kita,” ungkapnya.

Demi menjaga agar anak mendapatkan semua kebutuhannya, Cornel memastikan membuat ruang di sekitar lokasi syuting seramah dan senyaman mungkin untuk anak. Di antaranya dengan menyediakan tempat tidur. Bahkan, ketika tiba giliran syuting dan anak ternyata tidur, ia tidak akan membangunkan anak, tapi akan melanjutkan dengan peserta yang sudah siap.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?