Fiction
Di Jantung Borneo [2]

25 Jul 2014


Kisah sebelumnya:

Jepp, seorang pemuda Dayak sungai, hidup di pelosok Sungai Tengah, Kalimantan, bersama ibunya yang dipanggil Umak. Sejauh ini, Jepp hidup bahagia dengan keseharian yang sederhana, berladang dan mencari ikan di sungai. Namun, atas dorongan Niah, gadis yang ia cintai, Jepp pergi mengglondong, menebang kayu di tengah hutan.

<<<<< Cerita Sebelumnya


Bang Resok sudah menunggu kami di ujung jalan. Ada enam orang bersamanya. Aku mengenali mereka semua. Para pemuda, penduduk satu kampung denganku. Bukan hal yang aneh, jika orang dapat dengan cepat mengenali seluruh warga kampung kami. Seluruh komunitas kami, mulai dari liang semut hingga tempat ikan bersembunyi di balik akar sungai. Penduduk di kampung kami hanya sedikit. Kelompok suku Dayak yang berdiam di tepian sungai. Sebuah komunitas yang pada mulanya pastilah terpangkal pada silsilah yang sama. Dayak Maanyan.
“Kukira kau tak jadi pergi,” kata Bang Resok. “Lama sekali kami berdiri di sini menunggumu. Ayo, cepatlah, kita tak banyak waktu.”
“Maaf, Bang.” Aku segera berbaur dengan rombongannya dan mengikuti langkah-langkah Bang Resok menyusuri jalanan agregat hingga ke ujung desa. Dari ujung desa, rombongan dibawa naik kelotok sampai melewati batas Kelurahan Pendang, menuju ibu kota Kabupaten Barito Selatan di Buntok. Kami berhenti sejenak untuk makan siang di sebuah kedai kecil dan melanjutkan perjalanan lewat jalan darat dengan tujuan Palangka Raya. Naik travel berpelat hitam.
Palangka Raya. Bayangkan! Ibu kota provinsi yang sudah lama aku idam-idamkan ingin kulihat wajah kotanya. Belum pernah sekali pun semenjak aku lahir, membaui atmosfernya. Ramaikah?
Dan senja hari, aku benar-benar dapat menginjak tanahnya. Ramai! Itu menurutku, seekor angsa udik. Bangunan-bangunan telah dibuat menjejak di tanah, tak lagi berpanggung seperti di kampung kami. Malam yang ramai, tak seperti desa kami yang menjadi desa mati jika malam tiba. Rasanya di sini tak mungkin akan ada bangkit atau sandah yang berkeliaran malam-malam.  
Kekagumanku rupanya hanya sejenak saja bisa kurasakan. Aku tak sempat menikmati tiap sudut kotanya. Bang Resok sudah menyiapkan perjalanan berikutnya setelah kami makan malam. Bang Resok mentraktir kami semua. Dan dengan segera, Bang Resok menyuruh kami naik mobil travel yang sudah disewanya. Lagi-lagi mobil pelat hitam.
Satu per satu kami naik mobil van berwarna hijau tua. Bang Resok duduk di depan, di samping sopir yang kelihatannya juga pemilik mobil itu.
“Jalan, Bang,” Bang Resok menyuruh sopir itu segera berangkat.
“Sudah semua?” Si sopir justru balik bertanya, tapi Bang Resok diam saja. Sopir itu melihat lewat kaca spion di atas kepalanya, lalu menghidupkan mesin mobil. Raungan mesin mobil kembali mengagetkanku. Seorang anak Dayak yang tak pernah sekali pun naik mobil bagus. Hanya melulu naik kelotok, atau rakit.
Senang, takut, ragu, bercampur jadi satu. Inilah saatnya aku benar-benar keluar dari sarangku. Menyusuri peta tambang rezeki sebagai pengglondong. Mencari pengalaman baru dalam hidup. Dadaku berdebar-debar, perut bergejolak dengan rasa yang aneh. Selalu begitu tatkala menoreh pada hal yang asing.
Mobil dipacu kencang sekali jika jalanan sepi yang kami lewati kondisinya bagus. Jalanan aspal provinsi yang membentang naik turun dan terkadang sedikit melingkar. Namun, kami harus turun dari mobil jika melewati jalanan rusak mirip kubangan di areal perkebunan. Harus ikut mendorong mobil supaya tidak terjebak lumpur kubangan.
Saat ini mataku tak bisa berkompromi, mulai memberat meskipun keinginan untuk melihat jalan yang kulalui masih sangat besar. Perlahan, aku tertidur, menyusul kawan serombongan yang rupanya juga sudah terlelap. Lebih baik kusimpan tenagaku, percuma juga melihat kiri kanan jalan yang telah gelap pekat tertutup jubah malam. Tak terlihat apa-apa. Hanya Bang Resok dan sopir yang masih membelalak, membuka mata mereka.
Mobil bergerak melintasi batas-batas kabupaten, menuju arah barat. Menuju Sampit, Asam Baru, Pangkalan Lada, dan Pangkalan Bun.
“Bangun, bangun!” Suara Bang Resok samar-samar terdengar di telingaku. Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Masih gelap, namun mobil sudah berhenti. Bang Resok terus membangunkan dan menyuruh kami turun. Satu per satu, kami turun. Badanku terasa letih, bahu pegal-pegal dan leher rasanya sulit digerakkan, tak terbiasa melakukan perjalanan hampir satu hari satu malam sejak dari desa kami. Perjalanan terjauhku adalah ke kota kabupaten, tempat aku bersekolah di SMP. Itu pun selalu aku lalui dengan kelotok. Lewat jalan air, bukan lewat darat.
Di warung makan tempat kami berhenti untuk sarapan, Bang Resok menyuruh kami membersihkan badan. Silakan kalau mau mandi dulu. Di samping rumah makan itu ada beberapa kamar mandi dan toilet yang diperuntukkan bagi para tamu. Tetapi harus membayar. Meskipun hanya seribu rupiah, namun jumlah itu mulai menggerogoti bekal uangku. Sisa dari panjar mengglondong yang separuhnya telah kuberikan kepada Umak.
Aku melihat ke jam dinding di warung makan. Pukul sembilan pagi ketika rombongan kami masih harus melanjutkan perjalanan lagi.   
“Bang, masih jauhkah perjalanan kita?” tanyaku memberanikan diri. Selama di desa, aku memandang sosok Bang Resok sebagai sosok yang ramah, pembawa kabar baik bagi orang-orang yang ingin mendapatkan uang, bekerja mengglondong. Namun selama perjalanan, sosok Bang Resok sungguh berubah. Tegas dan keras. Tak jarang ia menghardik.
“Tidak jauh lagi. Kau ini tidak usah bertanya-tanya lagi. Ikuti saja aku,” jawaban Bang Resok serasa menamparku. Benar, aku lebih baik diam. Di sini jauh dari desaku, dan aku tak tahu jalan pulang. Apalagi dengan uang yang pasti tak cukup untuk ongkos transportasi. Biaya perjalanan saja, kata Bang Resok, nyaris delapan ratus ribu. Dan dia masih mentraktir kami serombongan. Hah! Banyak sekali uang yang harus dikeluarkan Bang Resok.
Belakangan hari  aku baru menyadari bahwa ternyata perjalanan itu dibiayai dengan memotong uang panjar kami. Bukan uang Bang Resok pribadi. Pantaslah, tak mungkin ada orang sebaik itu menanggung ongkos sekian banyak orang. Kecuali dengan pamrih.
Bang Resok membawa kami menuju dermaga taksi air di Kumai. Dia menyewa kelotok. Dan segera kami meneruskan perjalanan. Aku tak tahu daerah aliran sungai apa yang kami lalui. Menjelang siang, kami sampai di sebuah tempat. Tempat yang tak pernah sebelumnya menyelinap dalam bayanganku. Sebuah tempat yang mengerikan.
Di depan kami, menghampar genangan air yang muram. Dengan warnanya yang cokelat kehitaman. Seperti danau yang luas. Dan di genangan air itu, akar-akar pohon menjulur ke atas, seperti berebut menggerapai keluar dari dalam air. Akar dari pepohonan yang tumbang dan terbalik ke air.
Tunggul-tunggul dan akar yang terlihat di atas permukaan, berwarna hitam gosong. Seperti bekas terbakar. Tak terlihat sekerat pun warna hijau pepohonan, semuanya hanya batang-batang hitam gosong yang merintih dalam kesunyian. Dan awan yang menggelayut di atasnya dalam mendung, kelepak kelelawar yang melintas, mendecit, benar-benar menciptakan pemandangan neraka yang mengerikan. Apakah nama tempat ini? Aku tak berani menanyakannya kepada Bang Resok. Dalam hati, aku hanya menyebutnya, Danau Kematian.

                    ******
SEBELUM kami berangkat naik kelotok, rupanya Bang Resok sudah menumpuk sejumlah perbekalan. Terutama bahan-bahan makanan. Dia membagi-bagikan perbekalan itu kepada kami. Seorang, satu karung kecil. Aku membuka karung bagianku dan melihat isinya. Ada beras, garam, ikan asin, kecap, minyak, dan sabun. Juga rokok.
“Aa… nanti gaji kalian per minggu dipotong barang-barang yang kalian ambil ini. Di hutan tak ada warung, jadi berhematlah. Atau kalian akan kelaparan. Nanti aku datang tiap Sabtu siang untuk membayar gaji kalian. Juga membawa barang-barang untuk kebutuhan di sana. Kalian boleh ambil lagi.”
Kami bertujuh mengangguk-angguk. Sejauh ini lancar, pikirku.
Selama perjalanan, tak ada perbincangan. Bang Resok diam. Kami juga diam. Semua dengan pikiran  masing-masing. Hanya bunyi air terbelah dan deru mesin dong feng pendorong kelotok yang terdengar.
Aku melihat sepanjang tepian air. Tumbuhan semacam alang-alang, namun lebih tebal dan tinggi semrawut tampak sebagai pagar air. Jenis tetumbuhan yang umum terdapat di pinggiran sungai-sungai di Borneo. Dan di kejauhan, di antara rerimbunan pohon, di atasnya, sebentuk asap putih mengambang. Sepertinya asap dari sisa-sisa pembakaran hutan.
Aku memperhatikan semuanya dengan cermat, sembari sesekali mencari arah suara teriakan orang utan. Bertemu orang utan liar di hutan Borneo, bukanlah hal yang menyenangkan. Dengan lengan mereka yang kuat, dahan keras dapat dengan mudah terpatahkan, apalagi hanya belulang manusia. Kami para suku Dayak, sebisa mungkin tidak mengganggu mereka, orang utan itu.    

                ****
PERJALANAN yang lengang itu akhirnya berkesudahan di sebuah logpond di tepi hutan. Logpond yang kecil. Kelotok ditambatkan dan kami bergegas naik menuju daratan. Inilah tanah yang dijanjikan. Tanah yang katanya akan memberikan banyak rezeki. Aku hirup udaranya dalam-dalam. Memasukkan partikel-partikel udara ke rongga dadaku. Sejenak timbul rasa hangat segar yang nyaman.
Bang Resok memimpin kami melewati jalanan setapak. Dan sebuah kamp sederhana kami jumpai setelah perjalanan kami yang melelahkan. Kamp itu dibangun dari kayu dengan beratap terpal. Warna terpalnya biru terang. Dibangun sekadarnya untuk tempat istirahat para pengglondong. Tanpa dinding. Mirip dangau di sawah-sawah di Jawa yang kulihat di buku bacaan, namun lebih lebar dan besar. Atau seperti rumah panggung kecil tanpa sekat dan tanpa dinding.   
Di bagian luarnya, tali-temali direntangkan di antara pepohonan. Kain cucian para pengglondong bergantungan di sana-sini. Dan di bawah kamp, di dekat sebatang pohon, perangkat memasak teronggok sekadarnya. Tungku yang dibuat dari batu yang ditumpuk, di atasnya duduk tegak dandang nasi dari aluminium yang besar. Bagian bawahnya sedikit penyok dan menjelaga. Aku berpikir, siapa gerangan yang kebagian tugas memasak. Adakah juru masaknya, atau bergiliran?
Basa-basi sekadarnya diluncurkan dari mulut Bang Resok. Dia segera menunjuk salah satu sudut untuk kami meletakkan barang-barang kami. Di kamp itu, beberapa pekerja tampak sedang beristirahat. Dan kami tiba di sana setelah waktu makan siang mereka.
Keseluruhan kamp itu berisi hal-hal yang asing. Orang-orang Jawa, dua pemuda  yang kurus dekil, dengan topi bulukan. Tiga orang setengah baya yang juga orang Jawa. Serta kami bertujuh, orang-orang Dayak Sungai Barito. Itulah yang akan menghuni kamp ini, paling tidak sampai satu bulan mendatang.
Bang Resok meninggalkan kami bertujuh setelah memberi keterangan sedikit. Dan seorang yang setengah baya, orang Jawa itu, agaknya akan berbaik hati mengajari kami menjadi glondong. Katanya, sudah lebih dari lima tahun dia bekerja mengglondong, meninggalkan keluarganya di Surabaya. Pekerjaannya selama itu, sudah sangat memberinya kemahiran sebagai pengglondong.
“Kalian istirahat saja dulu. Besok baru ikut kami mengglondong dan menengkong.”
Teguh, lelaki setengah baya itu, menyuruh kami mencari sudut sendiri-sendiri di kamp, tempat tersisa yang akan kami jadikan seletak ruangan untuk kami tidur dan mengemas barang-barang.
Dan orang-orang itu kembali bekerja hingga sore. Raungan chainsaw menjadi bunyi yang paling gemerisik di hutan itu. Di tengah belantara. Mengalahkan erangan orang utan dan teriakan bekantan di telinga kami.


                ******
MALAM hari aku tidur berselimutkan kain sarung. Nyamuk-nyamuk rimba yang besar berdengung di antara tubuh para pengglondong. Kami bertujuh yang baru datang, merasakan siksaan tidur di alam terbuka. Meski para leluhur kami dahulu adalah para penguasa rimba,   generasi kami sekarang adalah generasi Dayak yang tidak lagi nomaden. Suku kami adalah suku Dayak yang telah memilih tepian sungai untuk menetap dan berbiak. Menjejakkan kebudayaan dan peradaban baru di sepanjang Sungai Barito.
Lima pengglondong yang satu kamp dengan kami, tidur luar biasa nyenyaknya. Mereka benar-benar letih sampai tidak merasakan gangguan nyamuk lagi. Tubuh-tubuh mereka menjadi santapan nyamuk hingga menggendut dan sulit terbang. Jika mereka membalikkan badan, maka nyamuk-nyamuk itu akan mati tergencet, menimbulkan bekas di baju. Bekas yang bercampur dengan noda getah pohon.
Aku masih tidak bisa tidur. Kain sarung kusingkapkan dan kusampirkan melingkar antara leher dan pinggang. Lalu aku turun dari kamp. Aku mengambil air minum dari cerek aluminium penyok yang teronggok di atas tungku. Berdiri tegak dalam kesendirian. Lalu meneguk beberapa tetes air.
Aku naik lagi ke atas. Tetapi aku hanya duduk saja di kapling tidurku. Angan-angan berhamburan keluar dari otakku, seolah mengisi segenap ruangan di hutan itu. Hutan terasa riuh.  
Aku memikirkan pekerjaan yang kujalani ini. Apakah keputusanku benar-benar tidak keliru? Mengapa aku yang mengantongi ijazah SMP masih juga bekerja sebagai cecunguk, kacung, atau kuli di tengah hutan? Bekerja dengan orang-orang satu sukuku yang memang tidak bisa baca tulis? Bukankah ada hal yang lebih baik yang bisa kukerjakan, misalnya menjadi pegawai kantoran?
Tetapi, hal itu menjadi hal yang sulit bagiku. Pos-pos pegawai di kantor-kantor dengan hierarki mulai dari kecamatan terus ke atas, nyaris semuanya diduduki orang-orang Jawa. Orang-orang yang lebih pintar dan lebih beradab. Setidaknya begitulah stereotip yang dilekatkan. Orang Jawa yang pintar dan santun. Dan orang Dayak yang pemalas serta kasar. Meskipun aku berani menjamin, suku kami pun tak kalah pintar. Juga ramah. Maka stereotip itu seharusnya dikaji ulang.
Aku merenung. Tak ada gunanya berkeluh kesah. Meski aku memiliki ijazah SMP, ijazah tertinggi di antara anak-anak suku kami,   apalah artinya tanpa kesempatan dan koneksi.
Lewat rerimbunan pohon yang tegak menjaga kamp, sinar bulan menyelinap di antara dedaunan. Sepertinya saat ini hampir bulan purnama. Sinarnya terlihat kuat, meski aku tidak bisa melihat raut wajah bulan yang menggantung di angkasa. Pandanganku terhalang terpal kamp, juga pucuk-pucuk pepohonan yang melingkupi kamp.
*******

 SUARA pepohonan yang tumbang oleh sentuhan chainsaw di tanganku, berderak laksana raksasa yang tersungkur. Berdebum. Aku menjauhi arah tumbangnya. Lalu pepohonan berikutnya, dengan chainsaw yang kusentuhkan setinggi perutku, hanya dalam hitungan menit, berderailah ia menyusul pohon sebelumnya. Aku menemukan keasyikan saat bisa mengoperasikan chainsaw. Rasanya, seperti gagap. Dan kegagapan itu membuatku ingin segera menumbangkan pohon-pohon lainnya. Atau sebetulnya bukan gagap, lebih tepat jika disebut kecanduan.
“Hati-hatilah memilih.” Teriakan Teguh setengah menyadarkanku. “Cari ramin dulu, jangan tebang yang lainnya sebelum ramin habis. Harga raminlah yang paling tinggi.”
Benar, ramin dulu. Seperti kata Bang Resok. Tapi di dekat sini, nyaris tak ada lagi ramin. Maka, aku berjalan agak jauh dan mulai meneliti berjenis-jenis kayu. Kalau kudapatkan sebatang ramin, segera kutandai. Tidak boleh menebang kayu yang sudah ditandai pengglondong lainnya.
Mudah saja bagiku membedakan jenis-jenis kayu di hutan Borneo. Aku sudah bergelayutan di tiap cabang pohon sejak bisa berjalan. Dan moyangku sangat mengenal jenis-jenis kayu. Bahkan hanya dengan sekerat kulitnya, tertebaklah jenis kayu itu. Keahlian mereka laksana katalog hidup bagi berbagai jenis kayu hutan hujan tropis Borneo.
Aku berjalan  makin jauh. Memasuki wilayah hutan yang lain. Wilayah ini asing bagiku. Tanpa sadar, aku telah melangkah terlalu jauh hingga tak tampak lagi teman-teman pengglondong lainnya. Dan, tiba-tiba!
Aku melihat sebilah papan yang bertuliskan angka-angka. Apa itu? Aku membacanya perlahan. Batas wilayah hutan konservasi Taman Nasional Tanjung Puting. Aku tak tahu, apakah aku berada di dalam atau di luar batas wilayah. Hanya saja, di depanku terbentang jaring besi yang sepertinya sengaja dibuat untuk pembatas. Khawatir terlalu jauh melangkah, aku kembali lagi. Namun, pertanyaan-pertanyaan masih menggantung di benakku. (Bersambung)

*******
Irine Rakhmawati
Pemenang II Sayembara Menulis Cerber 2014


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?