Fiction
DENSEMINA [2]

15 Jun 2012


Sementara itu para wanita yang tadi berjalan bersamanya tengah sibuk mengerumuni batang pohon matoa yang tergeletak di atas tanah. Minggu lalu para wanita yang sama itu sepakat menebang sebuah pohon matoa yang telah berusia lanjut. Setelah menebangi seluruh ranting-ranting dan membawanya pulang, mereka meninggalkan satu pokok batang matoa yang lumayan besar di sana. Batang matoa yang sama inilah yang kini mereka kerumuni. Batang matoa itu perlu dibelah-belah terlebih dahulu, sebelum bisa dimasukkan ke keranjang anyaman pandan, sehingga gampang untuk dibawa pulang.


Para wanita itu ternyata sudah terbiasa dengan parang dan, luar biasanya, terampil betul menggunakannya. Parang yang besar dan panjang itu maksudnya. Parang yang umumnya hanya dipakai oleh kaum pria. Beramai-ramai mereka membelah bonggol matoa dengan parang menjadi potongan-potongan kecil, sebelum memasukkannya ke dalam keranjang anyaman yang mereka bawa.

Tak jauh dari sana, dua gadis cilik yang tadi berjalan di ekor barisan sibuk bermain-main. Permainan yang paling mereka sukai adalah bergulingan di hamparan rumput liar sambil memandangi puluhan kupu-kupu. Sementara para ibu mereka telah memasukkan masing-masing lima sampai tujuh potongan kecil kayu matoa ke dalam keranjang-keranjang kecil milik mereka. Nantinya keranjang-keranjang kecil berisi potongan-potongan kayu itu akan mereka angkut dan bawa pulang. Sungguh. Benar-benar tak ada tenaga yang dibiarkan menganggur di tempat itu. 

Tapi, itu masih nanti. Saat menunggu, keduanya sibuk mengejar kupu-kupu yang beterbangan di sekeliling hutan. Ada puluhan kupu-kupu hutan yang bagus bentuknya. Kupu-kupu hutan yang menambah keindahan hutan Papua yang sudah kaya dan indah itu.

Secara tak sengaja kedua gadis cilik itu berlari ke tempat Harjoyo berada. Pemuda kota ini tengah duduk di atas rerumputan dengan lidah setengah menjulur keluar. Saat itu tak terlintas dalam benaknya untuk membantu para wanita menebangi kayu. Kalaupun ingin membantu, hal itu tak mungkin dilakukannya. Rasa haus dan letih membuatnya hanya bisa bersandar di sepokok pohon sagu, sambil bernapas panjang pendek.

Kedua gadis cilik itu tertawa cekikikan, mengamati Harjoyo yang tengah sibuk mengatur napas. Tapi, tunggu dulu. Rasanya ada yang aneh. Harjoyo cepat melihat ke arah para wanita yang tengah sibuk menebangi kayu. Ia tak melihat tanda-tanda adanya botol minum atau tabung berisi air. Tidak ada. Jadi? Mereka ternyata tak membawa bekal minuman. Ini gila. Pikirnya. Ini benar-benar gila.

Kedua gadis cilik itu memandang ke arah Harjoyo dengan senyum malu-malu. Sebelum beranjak pergi, keduanya menggeleng-gelengkan kepalanya tanda heran. Kemudian, keduanya berlari mendapati ibu mereka yang tengah sibuk bekerja di dekat bonggol matoa. Keduanya saling berbisik, menyampaikan sesuatu, entah apa, kepada para wanita di sana.

Sejak tadi ada seorang gadis muda yang terus mengawasi Harjoyo. Ia tahu pemuda itu kehausan. Tapi, ia tak mungkin meninggalkan parangnya begitu saja. Setelah membelah-belah pokok pohon matoa sebanyak yang bisa diangkutnya, segera diletakkannya parangnya di atas rerumputan. Dan dengan langkah pasti, didekati­nya pemuda itu.

Harjoyo mendapati seorang gadis muda berjalan di dekatnya. Gadis itu begitu muda. Tubuhnya tinggi dan kuat. Umurnya mungkin enam belas tahun. Matanya yang besar dan jernih memandang lurus ke arahnya. 

Harjoyo belum mengucapkan sepatah kata pun. Belum sempat. Saat gadis muda itu membungkuk ke tanah. Ia sibuk mengamati ilalang yang banyak tumbuh di sana dengan cermat dan teliti. Ilalang itu ilalang biasa. Bentuk daunnya lurus, kecil dan panjang. 

Dengan cekatan gadis muda itu menarik satu daun ilalang di bagian tengah, bagian yang paling muda. Warna daun muda itu hijau kekuningan. Lantas, dibawanya batang ilalang muda itu ke arah Harjoyo. Harjoyo terpana. Ia tak mampu menduga apa pun atas perbuatan yang tengah dilakukan gadis muda itu.

“Isap di sini,” kata gadis muda itu, sambil menjulurkan batang ilalang muda kepada Harjoyo. 

Harjoyo hanya bisa melongo. Ia tak siap dengan yang baru terjadi di depan matanya. “Apa?”

“Ada air di sini,” kata si gadis, sambil meyakinkan pemuda itu. 

Mata gadis itu mengarah persis ke pangkal batang ilalang muda. Di situlah letak tetes air itu tersimpan.

Spontan diambilnya helai daun yang diulurkan gadis muda itu. Dibawanya pangkal daun ilalang itu ke mulutnya dan segera diisapnya dengan rasa ingin tahu yang sangat. Ajaib. Ternyata ada setetes air di sana, persis seperti yang dikatakan gadis muda itu. 

Oh, air kehidupan. Pemuda itu segera bangkit dari duduknya dengan harapan baru memenuhi dadanya. Sementara si gadis sudah kembali ke pokok pohon matoa, pemuda itu sibuk mencabuti helai-helai daun ilalang muda dan mengisap tetes demi tetes air dari sana.

Bau laut yang begitu segar menerpa hidungnya. Bau laut yang sama yang selalu hadir dalam kesehariannya di masa kecil dulu. Bau itu membangkitkan kerinduannya untuk menikmati pantai, berjalan-jalan, berenang, bergulingan di sana. Apa saja. Dan Harjoyo tahu. satu-satunya tempat yang bisa memuaskan kerinduannya. Pantai Base-G. Meski lebih dari satu dekade tak menjejakkan kaki ke tempat ini, ia bisa membayangkan setiap jengkal pantai ini. Betapa pasir yang putih bersih, begitu lembut ketika dijejak. Juga airnya. Airnya putih transparan dan perlahan berubah kebiruan di sisi luarnya. Meski pantai ini merupakan bagian dari lautan teduh tapi ombaknya tidaklah ganas.

Harjoyo cepat-cepat menutup buku besar milik ibunya. Diliriknya jam dinding. Masih pukul sepuluh pagi. Selama seminggu penuh sejak kepulangannya, ibunya telah memintanya membereskan administrasi perusahaan. Ibunya adalah pemborong besar. Beliau sering mendapatkan proyek dari pemerintah untuk merenovasi jalan, jembatan, atau pengaspalan jalan. Sebagai pengusaha, ibunya tahu betul memanfaatkan siapa saja. Karenanya, tak heran saat putranya pulang, ia melihat sang putra sebagai tenaga tambahan yang perlu segera dikaryakan.

Harjoyo menggeliat. Capek juga sepagian menghitung ulang perencanaan pembangunan rumah sakit militer di Dosai. “Besoklah kuteruskan urusan hitung-menghitung ini. Sebaiknya aku pergi ke rumah Albert sekarang. Siapa tahu, dia mau kuajak berenang ke Pantai Bes-Ji.”

Harjoyo melihat keluar, menembus jendela kaca ke arah permukiman nelayan di belakang rumah ibunya. Kampung, baru, wilayah kediamannya, sudah banyak berubah. Di belakang rumah ibunya, telah berdiri puluhan rumah panggung milik para pendatang. Rumah-rumah panggung itu dibangun berimpitan satu sama lain. 

Diamatinya puluhan rumah pangung yang belum sebanyak itu, saat ia pergi dulu. Begitu padat. Begitu kumuh. Tapi, ia tak akan pernah lupa jembatan kecil yang menuju rumah Albert. Jembatan itu ada di sana. Rumah itu pun tetap ada di sana. 

Rumah sahabatnya berada di luar impitan perumahan para pendatang. Setelah sekian tahun berlalu, rumah tua itu masih tetap seperti saat Harjoyo pergi. Dinding-dinding rumahnya yang hanya separuh masih tetap seperti itu. Berandanya juga sama saja. Masih seperti dulu, separuh kayunya telah lepas-lepas. Demikian juga perabotan yang ada di dalamnya. Masih sama. Tungku masaknya yang hanya dialasi selembar seng tua, masih berada di sudut yang sama pula.

Saat melongokkan kepalanya ke dalam rumah yang hampir tak memiliki perabotan itu, pandangan matanya tertuju pada potongan-potongan kayu matoa yang ditumpuk di dekat tungku. Itu adalah tumpukan potongan kayu matoa yang baru diambil oleh para wanita tempo hari. Di depan tungku, membelakangi pintu, seorang wanita tengah memasak. Entah siapa. 

Ia baru berada di tempat ini selama seminggu. Tak mungkin menghafal atau menebak jati diri seseorang, hanya dengan melihat sosoknya dari belakang. Karenanya, ia sengaja batuk-batuk beberapa kali untuk menunjukkan kehadirannya. Batuknya mengundang perhatian wanita di depan tungku itu. Wanita itu menoleh. 

Harjoyo langsung menangkap tatapan mata besar dan jernih dari seorang gadis muda. Ingatannya berputar cepat ke hutan kecil di atas bukit. Gadis ini adalah gadis yang memberinya sebatang ilalang muda di hutan kecil tempo hari. 


                                                                                 cerita selanjutnya >> 


Penulis: Nunuk Y. Kusmiana
Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerber femina 2007


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?