Fiction
Cinta Seorang Copellia [5]

15 May 2012


Tante, ada Om Hari!” Ranti, keponakan Putri, menjerit dari ruang tamu.


Putri yang sedang mematut-matut diri di cermin, segera keluar kamar. Sejak dari Kya-Kya, Hari jadi sering bertandang ke rumah Putri. Bahkan, hampir setiap hari dia menyempatkan diri datang. Kadang-kadang sepulang dari mengajar atau dari rumah sakit, terkadang sebelum ke tempat praktiknya. Sore ini adalah malam Minggu kedua mereka pergi bersama.

Dibelainya kepala Ranti, ketika melewati gadis kecil yang sedang menyusun puzzle bersama kakaknya. “Thanks, Honey. Teriakanmu terdengar sampai ke ujung jalan.”

Hari, yang sedang duduk di ruang tamu, tersenyum memandangnya. 

“Ayo, kita pergi,” kata Putri, sambil membalas senyum Hari. “Ranti ingin dibawakan apa, nih?”

“Tidak usah. Terima kasih, Tante. Soalnya, Tante Sarah akan datang besok. Katanya, dia mau membawakan hadiah buat Ranti.” Gadis kecil itu berkata penuh keyakinan, sambil menggeser potongan puzzle yang tidak cocok.

“Apakah kamu yang menerima teleponnya kemarin?” Sekarang, mamanya menatap penuh curiga. Ketika gadis kecilnya mengangguk, Nani berkata, “Apa kamu meminta sesuatu?”

“Enggak, kok, Ma. Mama kan sudah bilang supaya aku tidak minta apa-apa pada orang lain.”

“Bagus,” kata Putri. “Aku yakin, Sarah memang berjanji membawakan hadiah karena dia memang baik. Ayo, kita pergi.” Putri mencium pipi keponakannya, lalu melambai pada kakaknya.

Sambil berjalan ke mobil, Hari bertanya, “Sarah itu teman satu apartemenmu, ya?”

“Ya,” jawab Putri, lalu membuka pintu mobil.

“Dia bekerja di mana?” tanya Hari, setelah menjalankan mobil ke luar dari halaman rumah Putri, yang kecil tapi asri, penuh tanaman hijau dan bunga-bunga.

“Dia pengacara,” sahut Putri cepat. “Kita mau ke mana?” 

“Kamu ingin ke mana?” Hari balik bertanya. “Bagaimana kalau kita ke mal saja? Nanti di sana baru kita tentukan mau nonton, makan, sekadar jalan-jalan, atau melihat-lihat buku. Mama kamu bilang kamu sangat suka membaca.”

“Kalau begitu, kita cari mal yang ada tempat biliarnya. Aku pintar main biliar, lho.”

“Betulkah?” tanya Hari, heran.

“Tentu. Karena, aku pernah menjadi penjaga meja biliar.”

“Wow! Pasti itu untuk riset tulisanmu, ‘kan? Kukira, pengalamanmu tinggal di New York pasti sangat mengasyikkan bila dibuat buku.”

“Mungkin benar, tapi mungkin juga tidak,” kata Putri, melamun. “Di sana cerita hidupku merupakan hal biasa dan tidak ada istimewanya.”

“Kalau kuingat-ingat, kamu jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah bercerita tentang kehidupanmu di sana,” kata Hari, sambil mengulurkan uang untuk membayar tol.

“Yah, karena menurutku tidak ada yang istimewa. Jadi, buat apa diceritakan.”

“Betulkah tidak ada yang istimewa? Atau, justru karena ada yang sangat istimewa, sehingga ingin dirahasiakan?” goda Hari. “Mungkin, kamu sudah punya kekasih?”

Putri tertawa. “Khayalan yang bagus sekali, tapi kurang kreatif. Bagaimana kalau kau kembangkan khayalan itu dan jadikan sebuah cerita yang lebih seru. Misalnya, kekasihku itu tampan, tinggi, postur tubuhnya indah bak Hercules, dan punya uang segudang. Sang multijutawan dengan seorang istri yang cantik, namun dingin.”

“Wah, pantas saja kamu masih lajang. Si pria idaman ternyata tak bisa didapat karena dia telah beristri dan punya anak banyak,” sambung Hari.

“Terdengar seperti karakter Copellia, sang penggoda. Tapi, dalam versi Indonesia yang sopan. Karena pria itu punya banyak anak dan karena di sini moral tetap diperhitungkan, maka aku dan playboy itu tidak bisa bersatu. Tetapi, dalam versi aslinya, pernikahan itu tidak harus berarti ada anak-anak. Wanita Manhattan tidak seperti keluarga Braddy Bunch, yang punya tim voli. Lagi pula, para pengejar harta tidak peduli pada perkawinan karena setiap pria akan selalu tampak lajang di mata mereka.”

“Wah, kamu membuatku terkejut. Tapi, itu tidak nyata, ‘kan?”

“Apakah kamu tahu namaku Copellia?” tanya Putri.

Hari mengangguk. 

“Kalau begitu, cobalah cari kisah tentang Copellia. Dengan demikian, kamu akan tahu apa yang diharapkan orang tuaku. Meskipun, untungnya, aku tidak seperti itu.”

”Aku pasti akan mencari kisah itu,” kata Hari, lalu memindahkan persneling mobil. Mobil melaju sangat kencang. “Bersiaplah. Karena aku ingin menguji keandalan mobil ini.”

Mobil menderu halus, meskipun kecepatannya sudah melebihi 100 km/jam. Seperti peluru yang bermata, melaju kencang, namun dengan enaknya berkelit menyalib sana-sini. Seharusnya, dia menjadi pembalap, pikir Putri, yang agak takut kalau nyawanya akan melayang di jalan bebas hambatan ini. Dia tak rela kalau itu terjadi.

Mobil melambat dan kembali pada kecepatan normal, ketika mendekati mulut keluar tol. 

“Asyik, bukan?” Hari memandang Putri, yang tampak agak pucat.

“Betul, sangat asyik,” jawab Putri, yang merasa agak mual.

Hari tertawa. “Kamu berbohong. Kelihatan sekali bahwa jantungmu akan copot.”

“Apa kamu selalu seperti ini?” Putri bertanya.

“Ya, aku sering melakukan hal ini. Ini untuk menguji mobilku, apakah mobil ini memang hebat, sesuai dengan apa yang sudah kubayar. Kamu tahu, aku suka barang bagus. Jika ada yang ingin kumiliki, tapi belum kesampaian, aku selalu ingat sampai kapan pun dan berusaha agar suatu saat bisa kumiliki. Semua milikku barang bagus.”

“Kamu terdengar sombong,” cela Putri.

“Bukan begitu. Aku hanya menjelaskan bahwa aku menyukai barang yang bermutu. Benda-benda itu kubeli tidak sekaligus, tapi kukumpulkan satu per satu. Dan, biasanya, lama baru kuganti. Aku tidak suka barang murah yang cepat rusak, tapi aku suka yang baik dan tahan lama. Kamu tahu, baru-baru ini aku mengganti ponsel yang sudah lima tahun kumiliki. Teman-temanku sering tertawa melihatnya dan mengejek bahwa ponselku keluaran zaman batu. Namun, aku tetap suka. Hanya, sekarang aku perlu yang lebih canggih dengan banyak fasilitas. Bukan untuk mengikuti mode, namun karena kebutuhan. Kamu tahu, banyak orang di Indonesia yang punya ponsel canggih, tapi tidak bisa atau tidak pernah menggunakan kecanggihannya. Mereka itu membeli dan gonta-ganti ponsel hanya demi gengsi.”

“Kalau begitu, apakah semua benda-benda milikmu betul-betul nomor satu?”

“Ya, tapi untuk ukuranku,” Hari menegaskan.

“Bagaimana dengan calon istrimu?” pancing Putri. “Apa dia juga harus nomor satu?”

“Begitulah.” Hari tersenyum. Entah dia serius atau main-main.

“Kalau begitu, seharusnya kamu memilih yang cantik, pintar, kaya, dan baik. Pokoknya, sempurna. Apakah tidak ada ibu dokter yang punya spesifikasi begitu?”

“Aku lebih suka yang lulusan Amerika, lebih bergengsi,” Hari kembali merayu.

“Dokter yang dari Amerika? Wah, itu susah,” balas Putri.

“Jurnalis dari sana pun tak apa.” 

Putri tidak menanggapi ucapan Hari, dia hanya tersenyum dan membatin. Apakah dia barang yang bagus? Jika tidak bagus, bagaimana? Apakah akan dibuang? Enak saja, pikirnya sebal. Dan, mobil terus melaju, menelusuri kegelapan malam.


                                                         cerita selanjutnya >>


Penulis: Lisa Andriyana
Pemenang Harapan Sayembara Mengarang Cerber femina 2005


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?