Fiction
Cinta Kala Senja [1]

3 Mar 2012

Lana tercenung memandangi cincin berlian yang terpasang indah di jari manisnya. Perlahan dilepaskannya cincin itu. Namun, hanya dalam beberapa detik dikenakannya kembali. Baru empat bulan yang lalu dia mengenal Surya. Hanya dalam waktu sesingkat itu pula dia menerima lamaran Surya untuk menikah dengannya.

Seandainya saja dulu dia menolak lamaran itu.

Tapi, saat itu Lana memang tidak menahan keinginannya untuk segera menikah. Usianya sudah tiga puluh tujuh. Sampai usia setua itu, Tuhan belum juga memberikannya jodoh. Ketika cinta datang, Lana tidak kuasa menolak.
Namun, kini dia menyesal. Seandainya saja dulu dia tidak bertemu dengan Surya. Seandainya dulu dia tidak ketinggalan pesawat.

“Ibu, di mana sekarang, Bu ?” suara Fero terdengar panik. 

Hanya kurang dari satu jam lagi pesawat akan berangkat. Namun, tidak dilihatnya Lana di sana. Bahkan, Lana tidak memberikan kabar sedikit pun. Berkali-kali dia mengecek jadwal penerbangannya. Tapi, tidak ada yang salah dengan itu. Tanggal, jam, nomor pesawat, bahkan ruang tunggu, semuanya itu sudah sesuai dengan jadwalnya.

Lana, yang baru saja terbangun karena bunyi telepon dari asistennya itu, langsung melonjak kaget sampai kepalanya terasa sakit, saat menyadari bahwa seharusnya dia sudah berada di bandara sekarang. Otaknya langsung berputar cepat. Dia berdehem. 

“Fer, baru saja saya ada urusan mendadak sekali. Sorry, saya nggak sempat mengabari kamu. Kamu berangkat dulu, saya menyusul di penerbangan selanjutnya, oke?” Lana berusaha keras agar Fero tidak menangkap suaranya yang baru bangun tidur.

“Hmm, oke…,” Fero menyahut dengan bingung. 

Tidak seperti bosnya yang biasa. Apa yang terjadi pada Lana? Seingatnya, Lana selalu merencanakan segala sesuatunya dengan sangat matang. Setahunya, bosnya itu paling tidak bisa menoleransi perubahan rencana di detik terakhir. Lagi pula, ada urusan mendadak apa di pagi buta seperti ini? 

“Saya akan segera memberi kabar pada Amy tentang perubahan jadwal kita dan saya akan minta bantuan dia untuk mengaturkan segala sesuatunya untuk kamu,” kata Lana, dengan suara semantap biasanya. “Kamu cek sekali lagi sampel yang akan kita bawa meeting. Pastikan semuanya tidak ada yang tertinggal. Oke, Fer?”

“Oke…,” suara Fero terdengar mengambang. 

Tiba-tiba saja dia merasa mulas. Perjalanan ini akan menjadi mimpi buruk baginya. Ini perjalanan dinasnya yang pertama ke London, dan dia harus mengawali semuanya sendirian? Tidak ada satu orang pun yang dikenalnya di sana, bahkan Amy yang bertugas menjemputnya di bandara. Dia hanya pernah berbicara beberapa kali dengan Amy di telepon dan melakukan kontak lewat e-mail, tapi mereka belum pernah bertemu. Fero juga sama sekali tidak tahu, seperti apa wajah orang yang akan menjemputnya itu. Tapi, tanpa diberi tahu pun Fero sudah tahu, untuk hal ini bosnya tidak akan mengizinkannya untuk berkata ‘tidak bisa’. 

Saat itu Fero sama sekali tidak tahu, bahwa di sebuah kamar apartemen sejauh lima puluh kilometer dari Bandara Soekarno Hatta, Lana yang masih mengenakan baju tidurnya bergerak panik, sambil memaki-maki dirinya sendiri karena terlambat bangun. Dia buru-buru menelepon Amy, wanita muda cerdas berkebangsaan Jepang yang akan menjadi rekan kerjanya selama di London nanti. Dengan cepat ia memberi kabar bahwa dia akan datang terlambat. Kemudian, dia juga segera menelepon petugas bandara, sambil dalam hati berdoa agar hari ini masih ada penerbangan lain ke London. 

Lana merasa kepalanya berdenyut. Sampai pukul empat pagi dia tidak bisa memejamkan matanya. Sudah beberapa minggu ini dia menderita insomnia, tanpa tahu penyebabnya. Dia jatuh tertidur beberapa saat setelah memutuskan untuk tidak tidur sama sekali, mengurangi risiko bahwa dia akan terlambat bangun, karena pesawatnya akan berangkat pada pukul tujuh pagi. Namun, tidak seperti biasanya, begitu nyenyaknya dia tertidur, sampai-sampai tidak didengarnya suara alarm jam wekernya.

Lana tertinggal pesawat untuk pertama kali dalam hidupnya.

Ia menghela napas lega, saat petugas bandara mengatakan bahwa hari itu masih ada satu lagi penerbangan ke London. Beruntung, masih ada kursi kosong, meskipun dia harus mengalami keterlambatan 10 jam dari jadwalnya semula. Dia pun harus merogoh koceknya sendiri untuk itu, karena satu-satunya kursi yang tersisa hanyalah kursi di kelas satu.

Hari sudah hampir senja, ketika Lana melangkahkan kakinya di bandara. Seperti langkahnya yang biasa, dia berjalan dengan cepat, sambil menarik koper kecilnya. Koper yang berisi kerja kerasnya selama satu bulan ini untuk pertemuannya dengan kliennya di London.

Sementara menunggu, Lana mengeluarkan notebook dari dalam tas kecilnya. Dipelajarinya sekali lagi bahan yang akan dipresentasikannya pada meeting nanti. Dipastikannya sekali lagi, tidak ada satu barang pun yang tertinggal.
Seharusnya tidak akan ada masalah, ujarnya dalam hati. Tidak boleh ada kesalahan. Sedikit pun tidak boleh. Dia sudah mempersiapkan dirinya dari jauh-jauh hari untuk meeting ini dan dia tidak boleh gagal. 

Kondisi pabrik garmen yang dipegangnya sudah di ujung tanduk. Perusahaannya benar-benar akan terjatuh, jika dia tidak berhasil mendapatkan order pada meeting kali ini.

Lana mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang tunggu. Ternyata, bukan hanya dia yang melakukan perjalanan ini sendirian. Dilihat dari pakaian yang dikenakan, mungkin kebanyakan dari mereka melakukan perjalanan ini untuk bisnis, termasuk pria yang tertidur yang duduk di sampingnya. Di pangkuannya tergenggam erat sebuah tas kerja dan sebuah jas.

Pria itu masih tertidur, ketika panggilan masuk ke pesawat sudah berulang kali terdengar.

Dalam kondisi biasa Lana akan membiarkan saja pria itu tertidur. Pria itu, toh, bukan urusannya. Dan lagi, sudah pasti nanti akan ada petugas bandara yang membangunkannya. 

Namun, simpatinya muncul, mengingat kejadian yang dialaminya tadi pagi. Lana pun menghampiri pria itu.

Pria itu langsung tersentak bangun, saat Lana menepuk lengannya.

“Pesawatnya sudah datang, Pak.” Lana tidak dapat menyembunyikan senyumnya melihat wajah bingung pria itu.

“Ah, ya, ya. Saya ketiduran. Terima kasih, terima kasih.” Pria itu tertawa kecil, sambil buru-buru berdiri dan membereskan barang-barangnya. “Silakan,” dengan sopan pria itu mempersilakan Lana jalan duluan.


Penulis: Yesi Marianti


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?