Trending Topic
Butuh Kepercayaan

9 Jul 2013

Menurut Catatan Tahunan 2012 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), setidaknya 66% atau 8.315 kasus kekerasan (termasuk kekerasan seksual) terjadi di ranah personal. Artinya, kekerasan dilakukan oleh mereka yang masih memiliki hubungan darah, kekerabatan, perkawinan, atau hubungan intim dengan korban.
   
Sementara kekerasan pada ranah komunitas (majikan, guru, tetangga, teman kerja, atau orang tak dikenal), lebih dari separuhnya adalah kekerasan seksual. Mencapai 59% atau sebanyak 2.521 kasus. 

Psikolog Kristi Poerwandari menjelaskan, ketika pelecehan dilakukan oleh orang yang dekat dengan korban, baik ada hubungan keluarga atau tidak, perasaan teror dan kebingungan yang dialami akan lebih besar. Hal ini membuat korban akhirnya terpaksa memilih bungkam. Apalagi jika ternyata korban bergantung pada pelaku, misalnya secara ekonomi.

Ada dua masalah besar di sini. Pertama, kalau menimpa anak-anak, omongan mereka belum tentu dipercaya orang dewasa. Kedua, kalau mereka dipercaya pun, banyak sekali yang dipertaruhkan di sana. “Kalau pelaku adalah ayahnya, anak ini bisa kehilangan keluarga. Kalau pelaku adalah gurunya, ia bisa dikeluarkan dari sekolah, misalnya,” kata Kristi.

Memang, kepercayaan menjadi kendala yang cukup besar dalam penanganan kasus pelecehan dan kekerasan seksual. Sebab, pandangan negatif tak hanya ditujukan oleh para korban terhadap dirinya sendiri. Tapi, sering kali juga ditujukan oleh orang lain, yang memandang korban dengan bias dan penilaian tertentu. Berdasarkan pengalaman Kristi mendampingi mereka bersama Lembaga Bantuan Hukum APIK dan Yayasan Pulih, banyak yang enggan melaporkan kasus kekerasan seksual karena takut dinilai buruk.

Kristi memberi contoh, pernah ada seorang wanita muda yang datang kepadanya dan menceritakan secara mendetail tentang kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Tapi, begitu kasus ini dibawa ke kepolisian untuk dievaluasi dan diproses hukum, ia bercerita hanya sepotong-sepotong, bahkan menghilangkan beberapa fakta penting dan ujung-ujungnya berbohong.

“Usut punya usut, ternyata ia malu karena berasal dari keluarga broken home. Ia berpikir orang akan menganggapnya pantas terlibat masalah itu. Lalu, karena ceritanya tidak lengkap dan ia ketahuan berbohong tentang beberapa hal, polisi pun jadi tidak yakin bahwa ia mengalami kekerasan seksual. Padahal, kekerasan itu memang betul terjadi,” tutur Kristi, menyayangkan.

Memang, kurang sensitifnya penegak hukum terhadap korban kekerasan seksual diakui Kristi juga menjadi salah satu penyebab mengapa kasus-kasus ini banyak yang tidak terselesaikan. Masih segar dalam ingatan kita ketika seorang calon hakim agung melontarkan gurauan tentang enaknya diperkosa. Kenyataannya, komentar yang katanya hanya sebatas canda seperti itu sesungguhnya membuat banyak wanita sering kali merasa tidak dibela. Untuk apa lapor, kalau nantinya malah disalahkan?

Menurut Kristi, cara berpikir aparat penegak hukum umumnya adalah menginterogasi pelaku, bukan mewawancarai korban. Jadi, pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan malah terkesan memojokkan atau malah menyalahkan, sehingga membuat korban makin enggan untuk bercerita jujur. Padahal, untuk bisa sampai ke kantor polisi saja butuh keberanian yang sangat besar.

PRIMARITA S. SMITA




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?