Travel
Berkelana di Kota Kerajaan Lanna-Thai

20 Oct 2011

Kilau keemasan dari puncak pagoda dan ukiran patung pada dinding kuil seakan melemparkan saya, Naomi Jayalaksana, ke era kejayaan Kerajaan Lanna-Thai abad ke-13. Tembok kuno pertahanan kota dan alur parit yang melingkunginya seolah ingin melindungi jejak otoritas Raja Mengrai, pendiri Chiang Mai, dari rangsekan zaman. Namun, harum seduhan kopi Starbucks dan bangunan hotel berbintang lima di seberang gerbang utama kota tua, seketika mengembalikan saya pada kekinian. Harmonisasi ‘old & new’ ini yang membuat saya menyukai Chiang Mai.


Tersesat di Kota Tua

Kota tua yang dibatasi parit seluas 2 km² itu tak ubahnya jantung yang memompakan denyut kehidupan ke seluruh penjuru Chiang Mai. Bermula dari   Wat (Kuil) Chedi Luang, tempat pilar kota berada, menuju ke empat penjuru gerbang kota, dan terus mengalir melalui jalan-jalan Chiang Mai yang mengurat.

Berbekal peta pemberian petugas hotel, saya memulai perjalanan dari gerbang Tha Pae, pintu utama kota tua. Sebenarnya, gerbang asli yang dibangun tahun 1296 itu sudah hancur. Untuk menghidupkan kembali kejayaan silam, pemerintah daerah bekerja sama dengan universitas dan seniman lokal, membangunnya kembali pada 1985. Sisa-sisa kemegahan bangunan asli bisa disaksikan di keempat ujung benteng yang membingkai kota tua.

Memasuki Tha Pae, saya disambut Jalan Rachadamnoen yang membelah kota tua dari arah timur ke barat, dan bermuara di Gerbang Suandork. Ternyata, bagian dalam dari kota kecil ini tidak ‘tua-tua’ amat. Buktinya, saya bisa menemukan deretan kafe internasional, seperti Black Canyon Coffee, dan kafe sejenis yang menjual menu Eropa, Amerika, dan Italia. Agar perjalanan lebih seru, saya mampir ke salah satu persewaan sepeda. Hanya dengan 50 bath (sekitar Rp15.000), saya bisa mengelilingi kota tua dalam setengah hari!

Meski jalan-jalannya tidak terlalu rumit, saya mengalami disorientasi. Sebagian karena salah membaca arah peta, dan sebagian lagi karena saya dibingungkan oleh banyaknya kuil yang bentuk bangunannya mirip. Chiang Mai memiliki 830 kuil, dan lebih dari 30 di antaranya terdapat di bekas pusat kota Kerajaan Lanna ini.

Beberapa yang cukup menarik adalah Wat Chiangmun, kuil tertua yang dibangun oleh Raja Mengrai; Wat Pan Tao, bekas kediaman Raja Lanna ke-6, yang keseluruhan bangunannya terbuat dari kayu jati; Wat Prasingh dengan kompleks belajar dan perpustakaan yang luas; serta Wat Chedi Luang.



Mendaki Bukit di Atas Punggung Gajah
Apa yang terlintas di benak Anda, jika harus menyusuri jalan setapak perbukitan dengan pinggiran jurang di atas seekor gajah berbobot 200 kilogram? Antara ngeri, deg-degan, tapi penasaran. Seperti itulah perasaan saya ketika berada di atas punggung gajah usia 16 tahun, bernama Puneng.


Perjalanan kami berawal dari Maesa Camp, salah satu pusat pelatihan dan konservasi gajah terbesar di Thailand Utara. Di sana, Anda bisa menyaksikan gajah mandi, bermain bola keranjang, melempar dart, dan melukis!

Ternyata, menunggang di atas punggung gajah memberikan sensasi unik. Tubuh kami akan berayun ke kiri dan ke kanan, naik turun, mengikuti gerakan punuknya saat berjalan.  Hanya ada kayu penghalang di bagian depan kursi untuk berpegangan.

Ketika jalanan menanjak, sontak tubuh kami terhuyung ke belakang, dan saat menurun, saya harus menahan kaki di punggung Puneng dan berpegangan erat pada kayu pengunci agar tidak merosot. Nong (26), ‘sopir’ kami, gemar mencari jalan pintas. Kreativitasnya ini sering membuat jantung berdetak lebih cepat. Sebab, ketika yang lainnya menempuh jalan lurus, ia malah mengajak Puneng mendaki melalui jalan setapak yang lebih sempit dan tinggi!

Di tengah jalan, tiba-tiba Puneng membelot dari rombongan. Kali ini atas kemauan sendiri. Gajah betina ini berjalan menuju kumpulan herba yang menjadi makanan favoritnya. Seolah tak sadar sedang membawa beban penumpang di atasnya, ia makin berjalan ke tepi bukit yang curam. Dan, setiap kali belalainya berusaha mencabut rerumputan, badan kami langsung terjungkal ke depan dengan gerakan menyentak.

Pria yang telah menjadi mahout (pawang gajah) selama 6 tahun itu paham, gajah yang sedang lapar tidak bisa diganggu. Kalau diganggu, suasana hatinya bisa rusak. Wah, saya langsung diam dan mencoba duduk setenang mungkin. Untung, di saat yang sama, saya mengalihkan pandang ke hijaunya lembah Maesa yang kami lewati, dalam perjalanan menuju Desa Baan Tong Luang, tempat bermukim beberapa suku pegunungan di Chiang Mai.

Butuh waktu sekitar sejam perjalanan untuk menuju desa di kaki bukit itu. Begitu sampai di 'halte' gajah, saya langsung turun dan meluruskan kaki yang tegang karena terlalu sering menahan agar tidak melorot. Tetapi ketegangan otot itu terbayar oleh pengalaman seru menunggang gajah. Sebagai salam perpisahan, Puneng mengayunkan belalainya ke atas, berteriak nyaring, dan menepuk kepala saya dengan ramah. Bye, Puneng!



Pagoda Negeri di Awan
Saya melanjutkan perjalanan menggunakan red cab, ke arah utara puncak, tempat pagoda Napamaytanidol dan Phra Mahatat Bhumisiri berada. Dua pagoda ini merupakan kado Angkatan Bersenjata Kerajaan Thailand kepada raja dan ratu di hari jadi mereka yang ke-60. Memandang deretan pegunungan dan awan yang berarak di sekeliling pagoda, membuat saya merasa seperti sedang berada di negeri atas awan!


Kedua pagoda berbentuk stupa ini berada dekat dengan puncak Doi Inthanon, yaitu pada ketinggian 2.280 meter di atas permukaan laut. Pagoda Napamaytanidol yang diperuntukkan bagi Raja Bhumibol berwarna cokelat, dibangun pada tahun 1987. Sedangkan pagoda untuk Ratu Sirikit, yang hanya terpisah 100 meter dari pagoda Raja Bhumipol, memiliki stupa berwarna ungu, dibangun pada tahun 1992. Stupa ini dikitari oleh dinding berelief yang menceritakan perjalanan Sang Buddha. Sayangnya, karena mengejar waktu, saya hanya bisa menengok pagoda Napamaytanidol.

Dalam perjalanan pulang, saya menyempatkan diri untuk mampir sebentar ke air terjun Wachiratan. Dari ketinggian 750 meter, air terjun terlihat seperti lambaian kain sutra halus berwarna putih bersih. Sayang sekali, pengunjung tidak boleh nyemplung dan menyegarkan badan di situ. Tetapi, semburan halus titik-titik airnya yang dingin dan segar sudah cukup ampuh mengembalikan kelembapan kulit yang kering karena sengatan udara dingin.

Kalau Anda masih ingin memanjakan mata dengan warna-warni tanaman dan bunga, berkunjunglah ke Kebun Botani Ratu Sirikit. Kebun seluas 1.000 hektare ini terletak tak jauh dari Taman Nasional Doi Suthep-Pui. Di dalamnya terdapat kompleks rumah kaca yang memamerkan delapan koleksi tanaman, tiga di antaranya yang menarik adalah koleksi tanaman anggrek dari segala jenis dan warna, hutan hujan tropis lengkap dengan air terjunnya, dan Arid House, rumah kaca yang memuat berbagai jenis tanaman kaktus yang tumbuh di iklim gurun (Arid) yang membuat Anda seolah sedang berada di Meksiko.



Seribu Mawar Ungu
Chiang Mai juga menyuguhkan keindahan alam yang memikat. Keelokannya membuat kota ini mendapat julukan ‘Mawar dari Utara’. Kota yang terletak 700 km di utara Bangkok ini dikelilingi oleh pegunungan. Pada masa-masa tertentu, seperti November-Februari, kisaran suhu beberapa daerah wisata di dataran tinggi bisa mendekati 12 derajat Celsius sampai minus 8 derajat Celsius di tengah hari.


Saya diajak mengunjungi Taman Nasional Doi (gunung) Inthanon. Daerah pegunungan yang berlokasi di selatan Chiang Mai itu berada pada ketinggian 2.565 meter di atas permukaan laut. Dengan meniti jalan setapak dari papan kayu, saya menyusuri hutan hujan tropis dengan koleksi vegetasinya yang khas.

Pepohonan di taman seluas 482 km² ini mengingatkan saya pada hutan-hutan di cerita dongeng peri. Batang-batangnya yang tebal berwarna hijau gelap oleh rambatan lumut dan paku-pakuan yang menjadikannya tanaman inang. Tanaman rambat menjuntai tebal di mana-mana, menyerupai tirai.

Tetapi, kesan suram ini berubah romantis saat menyaksikan bunga ‘seribu mawar’ atau rhododendron warna ungu dan merah muda menyembul di pekatnya jalinan akar dan dedaunan. Melihat ada bangku kayu kosong, saya duduk, menikmati udara segar dan siraman sinar matahari lembut yang menerobos dari sela-sela daun pepohonan berusia ratusan tahun.
 

Ngobrol Dengan Biarawan Chedi Luang
Di Wat Chedi Luang, yang artinya pagoda besar, saya ngobrol dengan biarawan. Mereka adalah mahasiswa Mahamakut Buddhist University yang kampusnya sehalaman dengan Wat Chedi Luang. Di tengah waktu santai, mereka dengan senang hati menemani tamu mengobrol. 

 “Di pertengahan abad ke-14, Chedi Luang menjadi tempat persinggahan Raja Lanna. Tapi, sejak 300 tahun lalu fungsinya berubah menjadi kuil. Sayang, gempa pada sekitar tahun 1500-an membuat bagian puncak pagoda runtuh hingga tersisa dua pertiga bangunan,” jelas Keo (24), biarawan yang tengah menempuh ilmu manajemen pendidikan. Kini, demi alasan keselamatan, orang tidak lagi boleh naik ke atas pagoda. Hanya biarawan yang boleh menaiki undakan untuk membersihkan ruang dalam di puncak pagoda, yang menyimpan patung, gambar, dan relief gigi Sang Buddha.

Ia menambahkan, selain menjadi lokasi Inthakin (bangunan pilar kota), Chedi Luang pernah menjadi tempat bersemayamnya patung Emerald Buddha dalam posisi semadi yang tersohor itu. Kini, benda pusaka religius Thailand itu tersimpan aman di Istana Bangkok.
Saat sedang asyik ngobrol, iseng saya bertanya, apa aktivitas favoritnya di waktu luang? Apakah ia punya waktu jalan-jalan ke mal, misalnya? Mendengar pertanyaan saya, pria yang telah 14 tahun menjadi biarawan itu tertawa geli. “Sejak usia 10 tahun saya sudah tinggal di kuil. Saya hanya tahu night club atau diskotek dari layar TV saja. Tapi, kalau bisa memilih, sesekali saya ingin seperti para biarawan di Bangkok yang bisa shopping setiap waktu,” jawab Keo, lugu.

Namun, biarawan beraliran Theravada itu mengaku lebih nyaman mengisi waktu luang dengan bermeditasi atau merapalkan ayat kitab suci. “Kebahagiaan sejati hanya tumbuh dari hati dan pikiran yang damai,” ungkapnya, mengutip salah satu ajaran Sang Buddha.


Shopping Seru

Bagi yang gemar belanja, Chiang Mai tak kalah heboh dari Bangkok. Ada banyak pasar di Chiang Mai, termasuk pasar Sabtu, pasar Minggu, dan pasar malam. Berikut ini tempat belanja wajib kunjung:


1. Anusarn Market. Berlokasi di Khlan Road, sebelah timur kota tua. Buka pukul 18.00-00.00. Di pusat jajanan ini Anda bisa menemukan berbagai menu, dari makanan lokal, Cina, dan beberapa kafe yang menjual bir. Di bagian tengah, deretan lapak menawarkan berbagai barang kerajinan, aksesori, tas, dan busana tradisional warna-warni khas suku pegunungan.

2. Saturday Market Wua Lai. Berlokasi di sepanjang Jalan Wua Lai. Buka setiap Sabtu, pukul 16.00-00.00. Banyak barang antik dari perak bisa ditemukan di sini, seperti aksesori, jam bandul, atau tatahan aluminium dengan berbagai corak. Tidak hanya itu, di sini Anda akan melihat para seniman memamerkan kebolehannya memainkan alat musik atau melukis.

3. Warorot. Berlokasi di Jalan Warorot, dekat Mae Ping (Sungai Ping). Buka setiap hari dari pagi hingga sore. Di pasar serba ada ini Anda bisa menemukan beragam buah dan sayuran segar, bumbu herba tradisional, keramik, ukiran kayu, aksesori, sutra, sepatu, baju, sampai barang elektronik.

4. Kad Suan Kaew. Berlokasi di Jl. Huay Kaew. Mal terbesar di Chiang Mai ini terhubung langsung dengan Hotel Pang Suan Kaew. Toko-tokonya sering menggelar diskon. Dengan bermodalkan 600 bath (sekitar Rp180.000), saya bisa menenteng tiga flat shoes lucu! Tapi, yang paling oke dari tempat ini adalah bazar makanan tradisional (buka dari sore hingga pukul 22.00) di teras depan mal. Anda bisa menemukan laksa khas suku Yuan, pat thai, seafood segar bakar, dan manisan buah. Favorit saya adalah sai ua bakar, sosis tradisional Chiang Mai yang pedas.

Naomi Jayalaksana











 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?