Travel
Berjalan Kaki Di Amsterdam

20 Dec 2013

Sering kali dalam sebuah perjalanan kita tak memiliki kemewahan waktu. Saya hanya punya waktu enam jam di Amsterdam sebelum kembali ke Den Haag. Kawasan sekitar Dam Square menjadi pilihan saya untuk mengenal sisi seni, juga kebebasan di Amsterdam.

Mencari The Irises


Saya beruntung, ketika   berkunjung, museum Van Gogh sedang direnovasi dan sementara dipindahkan ke Museum Hermitage Amsterdam yang terletak di Jalan Amstel. Letaknya tak terlalu jauh dari Dam Square.
   
Melihat langsung lukisan-lukisan karya Vincent Van Gogh sudah menjadi keinginan saya sejak lama. Saya ingin melihat langsung The Irises, lukisan rimbunan pepohonan bunga iris biru keunguan gelap. Saking sukanya, di rumah saya hanya memiliki lukisan repronya.
   
Ternyata, banyak orang yang ingin menyaksikan keajaiban warna-warni goresan cat seniman yang bernasib tragis ini. Antrean di depan tiket mengular panjang, dari anak-anak hingga paruh baya. Meski bukan rumah aslinya, koleksi lukisan di sini cukup lengkap. Presentasi lukisan dibagi dalam beberapa tema: The Modern Portrait, Japan, The Wealth of Nature, Peasant Painter, A Personal Style, The Effect of Colour, dan Practice Makes Perfect.

Pembagian ini terus terang mempermudah saya untuk mengerti Van Gogh, karena memang lukisan sang maestro ini sangat beragam. Pembagian ini juga menjelaskan bagaimana perkembangan pandangan pribadi sang pelukis yang pernah bercita-cita menjadi pendeta ini.
Dalam Peasant Painter misalnya, lukisan-lukisannya bicara tentang kehidupan petani yang diasosiasikan sederhana dan tidak bergegas oleh waktu. Kepada abangnya, Theo, Vincent pernah menulis,  “When I say that I’m a peasant painter, that is really so.”

Di sinilah saya akhirnya bertemu The Potato Eaters, salah satu masterpiece Van Gogh. Berukuran 82 cm x 114 cm. Lukisan ini ditempatkan di satu dinding dengan penerangan yang diatur sedemikian rupa sehingga menimbulkan aura magis. Berwarna dominan cokelat, lukisan ini menggambarkan 5 orang petani yang sedang bersantap malam, diterangi lampu minyak. Sebuah potret kehidupan yang sederhana.

Sambil menikmati dan mengagumi satu demi satu lukisan, saya masih berharap menemukan The Irises. Sayangnya, lukisan favorit saya tak ada di museum ini. Tapi, kekecewaan itu sedikit terobati ketika mata saya menangkap lukisan bunga matahari yang terkenal itu. Lama saya berdiri di depannya, menatap helaian kelopak bunga matahari yang berwarna kuning terang.


‘Bertemu’ Mata Hari

Ditemani seorang teman lama yang bermukin di Amsterdam, M. Amin, saya memulai perjalanan singkat dari Amsterdam Centraal Trail Station. Saya memilih berjalan kaki. Bukannya tak ingin gowes di kota sepeda, tapi, dengan angin musim semi yang dingin menderu-deru, kurang nyaman rasanya untuk bersepeda.
   
Menyeberangi jembatan yang membelah kanal, saya menuju Dam Square, salah satu kawasan favorit turis, yang terletak tepat di depan stasiun pusat. Ini adalah town square dengan berbagai bangunan penting yang mengelilinginya. Di antaranya adalah Royal Palace, Neuwie Kerk (New Church), Madame Tussaud’s Wax Museum, juga monumen Perang Dunia II.

Sekitar 10 menit berjalan, tepatnya di Jalan Damrak, sampailah saya di pintu depan museum yang mungkin membuat telinga memerah. Nama resminya: Sex Museum – The Temple of Venus. Museum ini disebut-sebut sebagai museum seks tertua di dunia. Ini bisa jadi satu bukti negara ini memang pemuja kebebasan. Museum ini milik pribadi, bukan milik negara. Setelah membayar tiket sekitar Rp60.000, bersiaplah Anda mendapatkan rasa campur aduk: penasaran, kaget, lucu, bahkan mungkin sedikit jengah...!
   
Dinding dipenuhi panel-panel yang berisi gambar, foto, piring keramik bergambar, koin, patung kayu maupun logam, kartu, buku, majalah, dan berbagai benda lain yang mendokumentasikan perjalanan seks dalam sejarah peradaban manusia di seluruh dunia. Dari koleksi yang ada, kita bisa melihat seperti apa praktik seks di zaman purba hingga yang terkini, dari yang konvensional hingga menyimpang. Mengejutkan, keris dan kerangkanya ternyata juga salah satu simbol seks.
Jangan kaget kalau Anda tiba-tiba mendengar suara keras memanggil, dan ketika Anda menoleh tiba-tiba ada ‘pria’ tanpa celana yang membuka jas panjangnya untuk memperlihatkan ‘miliknya’….

Tak jauh dari pintu masuk, saya bertemu patung Mata Hari. Sosok penari erotis yang kemudian menjadi mata-mata bayaran Prancis semasa Perang Dunia I berkecamuk di Eropa. Mata Hari (yang nama aslinya adalah Margaretha Geertruida Zelle) yang pernah tinggal di Jawa ini ditangkap pasukan Inggris dan dijatuhi hukuman tembak pada tahun 1910. Di sini ia tampil menggoda. Mengenakan rok putih panjang terbelah di bagian depan (dan dia tidak mengenakan celana dalam), dengan bra penutup payudara dari untaian manik-manik.

Yang juga menarik perhatian saya adalah koleksi pakaian dalam wanita dari masa ke masa. Ada sepasang korset dan bra satin putih berenda dari tahun 1940.  Ada juga korset dengan tali-temali yang biasa dipakai wanita Belanda pada tahun 1930-an hingga 1940-an. Korset bergaya Prancis yang erat memeluk pinggang pemakainya terlihat cantik dengan hiasan renda warna pink!


Makan Siang ala Profesor

Untuk mengisi energi setelah berjalan, Amin mengajak saya makan siang di Cafee De Janer. Menurut Amin, kafe ini adalah favorit akademisi dan mahasiswa, karena lokasinya yang dekat Universitas Amsterdam. Kafe dua lantai ini bersuasana santai. Saya perhatikan, dalam jam makan siang pun para pengunjungnya banyak yang membuka laptop. Banyak juga yang duduk satu meja ramai-ramai sambil membuka laptop masing-masing. Saya   membayangkan, dua pria setengah baya berkacamata yang duduk tak jauh dari saya itu adalah dua orang dosen.

Soal makanan, sebetulnya tak terlalu istimewa. Roti dengan daging ayam dingin atau ham. Juga ada lasagna, yang saus tomatnya bagi saya terasa terlalu kecut. Tapi, saya mengacungi jempol untuk meringue citroen yang menjadi pilihan dessert saya siang itu. Rasa asam campur manisnya pas di lidah. Beginilah rasanya kehidupan seorang dosen di Belanda.


Menemukan Tas di Waterlooplein

Di sebelah utara Sungai Amstel yang membelah Amsterdam, saya menemukan pasar loak Waterlooplein. Pasar loak ini cukup luas. Aneka barang bisa ditemukan di sana. Dari buku-buku, pakaian, aksesori, alat-alat rumah tangga, cendera mata, CD lagu, poster, dan masih banyak lagi. Karena musim dingin baru lewat, banyak dijual boots sampai coat musim dingin yang tebal. Pasar loak ini buka dari Senin-Sabtu, mulai pukul 9 pagi hingga 6  sore.

Di sebuah kios, saya tertarik melihat gunungan handbag. Aduh, rasanya tak tega melihat tas-tas –beberapa di antaranya bermerek-- yang tampak merana itu. Satu tas tangan kulit warna cokelat menarik perhatian saya. Harganya tak sampai Rp100.000. Memang di beberapa bagian tampak mengerut, tapi secara garis besar tas itu masih bagus. Sedikit servis, pasti tampak keren kembali.


Cuci Mata di Red Light District

Good boys go to heaven, bad boys go to Amsterdam. Inilah kalimat yang banyak tercetak di kaus cendera mata dari Belanda. Di Red Light District Amsterdam inilah maksudnya. Segala hal yang di tempat lain dianggap ilegal, di sini jadi legal. Di sini kita akan menemukan apa saja: rumah-rumah yang menyajikan tontonan dewasa secara live, sex toys stores, juga gadis-gadis muda cantik jelita berpakaian minim berjejer di balik kaca. Ada juga deretan wanita bertubuh lebih berisi yang mengerling manja pada orang-orang yang berpotensi jadi kliennya.
Berhubung tiba sore hari, belum banyak toko yang buka. Walau begitu, sudah banyak turis yang datang. Sesekali polisi berkuda melakukan patroli di sepanjang lorong-lorong.
   
Ganja bisa didapatkan bebas di sini. Tapi, dijual bukan dalam bentuk lintingan daun, melainkan dalam bentuk lain, seperti permen, kue brownies, atau minuman dalam kemasan kaleng. Penasaran, saya mencoba permennya. Mungkin karena kadarnya sangat mikro, saya tak merasakan apa-apa.
   
Begitu hari mulai  gelap, kawasan itu makin ramai. Kami pun beranjak pulang. Kami melewati sebuah gereja tua yang masih berada di kawasan Red Light District. Bangunannya berciri gotik, menaranya tegak menuding langit. Malam itu, loncengnya berdentang-dentang, seakan mencoba menarik perhatian orang yang tengah bergembira ria. Sebuah harapan yang sia-sia…



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?