Trending Topic
Belajar Mandiri

14 May 2014

Mengejar mimpi dan cita-cita boleh saja. Hanya, kata Monica Kumalasari, relationship rsychotherapist & coach, perlu diingat bahwa keputusan menjalani pernikahan jarak jauh harus atas dasar kesepakatan bersama dan bukan sepihak. Selain itu, suami-istri perlu mendiskusikan kesiapan dan komitmen yang akan dijalani, sehingga keduanya siap menghadapi konsekuensinya. Salah satunya adalah siap hidup sendiri.
Tak adanya suami di sisi, akhirnya menuntut wanita jadi lebih mandiri. Menurut psikolog sosial Dra. Ratna Djuwita Chaidir, Dipl. Pschy.,  wanita sekarang memang jauh lebih mandiri ketimbang 20 tahun lalu. Pendapat psikolog sosial ini didukung oleh hasil survei Mastercard Worldwide Index of Women’s Advancement (2009), yang menyatakan bahwa 59,6% wanita Indonesia berperan sebagai pembuat keputusan akhir dalam rumah tangga. Jadi, tak ada suami yang mendampingi, bukan lagi masalah.

Untungnya, paradigma sosial kini mulai berubah. Masyarakat, terutama di perkotaan, tak lagi ribut jika seorang wanita hidup tanpa didampingi suaminya atau justru meninggalkan keluarga sementara waktu untuk pengembangan kariernya. Bahkan, masyarakat justru siap menjadi support sistem selain keluarga yang bisa diandalkan. Misalnya saja, saat ia sakit dan tak ada asisten rumah tangga, tanpa diminta  tetangga Mirna mengirimkan makanan dan membantu merawat bayinya.

Salah satu konsekuensi yang harus dipikirkan dalam menjalani pernikahan jarak jauh adalah celah masuknya orang ketiga dalam pernikahan. Jika jauh dari pasangan, celah untuk dekat dengan orang lain akan terbuka. Di sinilah proses yang disebut ‘proximity’  --di mana kita cenderung secara emosional merasa dekat dengan seseorang yang sering kita temui-- dapat terjadi, dan bisa berakhir dengan perselingkuhan.
Sebetulnya, menurut Monica, anggapan bahwa hidup berjauhan itu rentan godaan, tak bisa dianggap benar atau salah. “Nyatanya, banyak pasangan hidup serumah tetap melakukan perselingkuhan,” tandasnya. Hanya, rasa sepi bisa lebih mendorong terjadinya affair. Bagaimanapun, kebutuhan akan seks, perhatian, kedekatan emosional, sentuhan fisik adalah kebutuhan dasar  tiap manusia. Kehangatan pun sulit dipertahankan jika berpisah dalam waktu lama. “Ukuran lama itu relatif. Tapi, menurut saya, jika perpisahan lebih dari satu tahun, salah satu pasangan sebaiknya ada yang mau mengalah untuk bisa hidup bersama,” saran Ratna.

Ketika seseorang telah mapan, kebutuhan yang dicari bukan lagi sekadar makan, tapi perhatian. Baik pria maupun wanita itu butuh diperhatikan untuk hal-hal sepele, seperti ditanyakan kesehatannya, sudah makan atau belum, kegiatannya hari itu, cerita tentang perkembangan anak, dan sebagainya.
“Yang repot jika sama-sama sibuk dan lupa memberi perhatian. Lalu ada orang ketiga yang memberi perhatian secuil saja, wah, itu akan berdampak besar sekali bagi pasangan yang sedang sendiri dan kesepian!” kata Monica. Jika yang tinggal sekota saja bisa jatuh dalam perselingkuhan, apalagi yang jarak jauh. Di situlah tantangan terberatnya.
    Dalam kehidupan nyata, perhatian kecil dilupakan. Sementara di media sosial   orang saling menyapa, pasangan justru tidak menyapanya. “Itu sebabnya, teknologi terkadang juga bisa memancing terjadinya perselingkuhan. Karena mereka saling terkoneksi terus-menerus dengan mudah sehingga emosi pun bisa terbangun,” kata Monica. (REYNETTE FAUSTO)

Baca juga: Perkawinan Jarak Jauh
  


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?