Fiction
Ashima, Titip Rindu Untuk Calcutta [4]

25 May 2015


<<<<<<<Cerita Sebelumnya


Bagian 4 (tamat)
Kisah sebelumnya

Ashima, wanita muda asal India, dengan masa lalu yang suram begitu menarik perhatian Saka, pria muda asal Indonesia. Mereka bertemu di Oxford. Kepada Saka, Ashima berani bercerita mengenai kepahitan hidupnya sebagai wanita India yang menjadi korban sistem masyarakat yang sangat patriarkat. Ketika Saka mendapatkan tugas ke India, ia sempat bertemu dengan Ashima dan kemudian mendapati kenyataan bahwa ada sesuatu yang menimpa wanita yang ia kasihi itu.

Nesia, dengan kartu jurnalisnya, sangat mudah mencari berita. Ia menghubungi kantor berita India, Samachar. Tak banyak membantu. Justru kesannya orang di sana tak mau direpotkan.
Tetapi Nesia tak hilang akal. Beberapa hari  di sini ia sudah mengenal beberapa jurnalis India. Ia menghubungi salah satu dari mereka. Bahkan ia mendapatkan informasi keterlibatan Ashima dengan gerakan yang intens mengadakan demo menuntut hukuman mati bagi tindak pemerkosaan dan demo-demo sebelumnya dengan kasus berbeda.

“Aku adalah kawan dari kekasih Ashima. Setidaknya dia harus tahu kondisi dan posisi kekasihnya. Dia tidak tahu-menahu soal gerak dan pergerakan kekasihnya. Bahkan, baru pagi ini dia tahu kalau kekasihnya hilang. Dia membaca The Times of India. Dia orang Indonesia yang diundang oleh Universitas Calcutta untuk menghadiri simposium.”

Bagaimanapun, sepak terjang Ashima yang membela hak-hak siapa pun yang menjadi korban ketidakadilan, terutama menyangkut hak perempuan, sangat meresahkan pemerintah yang masih melindungi patriarkat. Baik Nesia maupun Saka, mulai putus asa. Moko terus memantau perkembangan via e-mail. Tak banyak kenalan. Kawan-kawan jurnalis yang dikenal Nesia juga sama bingungnya. Hingga jauh malam.   
Lalu esoknya, tak ada yang bisa dilakukan Saka selain berharap Ashima baik-baik saja. Nesia akan mencari tahu di sisa-sisa waktu tugasnya yang tinggal sehari lagi di India. Telepon Moko dari London tak sanggup mendongkrak semangat Saka. Ia didera khawatir sampai ke ubun-ubunnya.

Pagi itu Saka naik taksi berangkat ke Universitas Calcutta, melaksanakan tujuan intinya. Baru beberapa meter taksi melaju, ia menerima telepon dengan nomor tak dikenal. Saka ragu menjawab, tetapi kemudian ia berpikir mungkin saja itu telepon dari panitia yang ingin memastikan kehadirannya. Suara perempuan. Saka mengenalnya. Ashima. Astaga! Saka menajamkan telinganya.
“Aku baik-baik saja, Saka. Jangan khawatir.”
“Tetapi apakah ada penculik yang baik-baik memperlakukan sanderanya, Ashima? Aku membaca berita di koran. Sekarang kamu di mana? Bersama siapa? Apakah kamu sehat? Jauhkah dari hotel tempatku menginap? Apakah kita bisa bertemu lagi? Aku sedang dalam perjalanan ke universitas.”
“Penculik itu juga perempuan. Mereka adalah kawanku yang peduli pada keselamatanku. Tetapi awalnya aku juga tidak tahu.”
Saka bernapas lega.
“Mereka tahu kalau kemungkinan besar aku sedang dicari sebagai perempuan yang harus bertanggung jawab pada gelombang protes akhir-akhir ini. Kuharap kamu baik-baik saja.”
“Ashima? Jadi kapan kita bisa bertemu? Aku meminta tolong pada Nesia untuk mencari informasi pada kenalannya sesama jurnalis. Tetapi sia-sia.”
“Berhentilah mencariku. Sampaikan pada kawanmu, aku baik-baik saja. Dan secepatnya akan kuusahakan bisa bertemu. Nanti aku hubungi lagi. Selamat bertugas. Sukses untukmu!”
“Ashima! Tunggu!” Tidak langsung terputus, tetapi Ashima berkata untuk yang terakhir. “Waktuku tak banyak.”
Saka harus puas dengan obrolan singkat itu. Tetapi setidaknya dirinya tahu, Ashima baik-baik saja.
Saka menarik napas panjang. Sebenarnya ada banyak yang ingin ia tanyakan secara detail perihal sepak terjang Ashima. Selama ini ia tak pernah mendapat kabar soal aktivitasnya. Hanya yang terakhir, ia sempat cerita soal artikelnya di Hindustan Times tentang diskriminasi pada perempuan mendapat reaksi berlebihan dari pemerintah. Artikel itu memang mengkritik pemerintah yang masih melanggengkan anggapan bahwa perempuan adalah warga kelas dua. Tetapi, Saka tak pernah mendapat cerita bahwa ia adalah singa betina yang mengaum kala memimpin kelompok yang memperjuangkan hak-hak kaumnya.     
Saka segera menghubungi Nesia perihal telepon Ashima pagi itu. Kemudian  menghubungi Moko. Ia berharap bisa menabung semangat untuk hadir pada simposium itu ketika mengetahui ada harapan besar untuk kembali bertemu Ashima.

                    ***
Ashima menepati janji ketika tinggal dua hari lagi Saka harus pulang ke tanah air. Melalui telepon, ia meminta Saka datang ke suatu tempat. Ia akan dijemput.

Sore itu Saka dijemput mobil, melaju mengarah ke selatan. Mungkin berjarak sekitar dua puluh kilometer, mobil masuk perkampungan riuh. Banyak anak-anak berlarian di gang-gang hingga Saka khawatir mobil itu akan menabrak seorang di antaranya. Pengemudi itu cukup lihai menghindar, lalu membelokkan mobil ke sebuah gang. Pondok sederhana. Ashima ada di balik jendela, menyambutnya. 

Ashima segar bugar ketika ditemui Saka. Sopir itu segera pergi meninggalkan mereka. Tak ada siapa-siapa di pondok itu. Saka langsung mencengkeram pundaknya.
“Kau tak apa-apa?” Ashima mengangguk meyakinkan.  
“Maafkan kalau aku dan negeriku menyambutmu dengan insiden semacam ini.” “Aku sangat mengkhawatirkanmu. Apa yang terjadi padamu?” bertanya Saka tak
sabar, Ashima menutup pintu, tenang dan pelan-pelan.
“Siang ketika aku menjemputmu, aku sedang ada rapat dengan kawan-kawanku.
Tetapi mereka tak keberatan ketika kukatakan akan menjemput kawan dari Indonesia di Stasiun Howrah. Lalu aku menemani kamu hingga malam. Aku menduga, orang itu sudah memata-matai kita. Sehingga, begitu kamu pergi, aku langsung disergap seseorang. Semua berlangsung begitu cepat. Mereka membawaku dengan mobil. Tetapi, ketika sudah cukup jauh, mereka mengatakan tentang identitasnya.” Ashima tersenyum, tetapi Saka masih tampak khawatir.
“Lalu ketika kamu meneleponku pada malam itu, aku sudah tidak ada di rumah. Aku sudah berada di markas. Maaf aku tak ceritakan padamu.”
“Aku mengetahui tentangmu ketika pada paginya aku membaca koran. Kamu diculik pada malam yang sama ketika aku bersamamu. Hanya selang beberapa jam. Itu mengerikan sekali, sehingga aku langsung menghubungi Nesia dan berusaha mencari tahu tentang kamu. Bagaimana kronologinya? Dan mengapa kamu tak pernah ceritakan tentang aktivitasmu?”
“Maaf, akan lebih nyaman kalau kita ngobrol langsung. Tetapi aku memutuskan untuk menceritakan lusa saja, bukan pada saat kamu baru saja tiba di negeriku.”
“Oh,” Saka mengangguk mengerti, ia menghela napas, dan menerima ketika Ashima menawarkan air putih. 
“Sebelum artikelku membuat berang para pejabat, aku sudah menulis tentang tuntutan hukuman mati pada seseorang. Jadi awalnya kawanku menemukan seorang perempuan diperkosa hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Korban segera mendapat perawatan dan bisa diselamatkan nyawanya. Tetapi tidak jiwanya. Ia terus berteriak-teriak ketakutan hingga menguat dugaan ia sakit jiwa.
Apa yang akan terjadi pada negeri ini kalau hal semacam itu terus dibiarkan? Kami harus memutusnya. Kami menuntut huluman mati sebagai ganti kematian semangat hidup dan jiwa perempuan muda itu. Aku tak sendiri, kawan-kawanku dari Oxford mendukung, kawan-kawan perempuan dan laki-laki yang peduli dari berbagai universitas dan instansi yang mendukung gerakan ini juga memberikan support.
Mereka memiliki kakak dan adik perempuan, mereka memiliki anak perempuan. Mereka tak ingin anak-anak atau saudari mereka mengalami nasib sama. Sehingga gerakan kami kuat. Tetapi aku yang berasal dari kasta rendah, dan mungkin bagi mereka juga paling berbahaya, maka aku juga yang paling pertama untuk dilenyapkan.” Ashima tersenyum tipis. Saka pun teringat negerinya.
“Baiklah, Ashima. Aku hanya ingin jiwa dan ragamu selamat. Aku mencintaimu, terlalu mencintaimu. Jujur aku akui, aku takut kamu mati.” Hening.
“Terima kasih, Saka. Tetapi kamu tahu kan, siapa yang kaucintai?”
Saka menggenggam tangan Ashima, ia berharap perempuan itu tidak melukai dirinya sendiri akibat masa lalu dan perlakuan yang diterimanya selama ini.
“Aku seorang harijan, Saka. Aku milik para harijan, Saka.”
“Harijan berhati ningrat. Aku tak peduli. Aku mencintaimu.”
“Tak ada yang salah dengan cinta. Bahkan sejujurnya aku pun mencintaimu, Saka. Tetapi sudah kukatakan, proyek hidupku yang berhubungan dengan lembaga pernikahan sudah selesai. Aku sudah memiliki proyek yang lain.”
“Kamu mengambil keputusan untuk tidak menikah lagi?”
Ashima mengangguk.  
“Kamu takut? Kamu menganggap mengemban kutuk sehingga tak akan memiliki anak berumur panjang seperti yang distempelkan pada ibumu?”
Ashima diam.
“Pernikahan bagiku bukan sekadar memproduksi anak, Ashima. Aku ingin kamu mengerti. Dan menikah tak harus di negerimu, atau negeriku. Kita bisa menikah di mana saja kamu mau.”
“Bukan. Bukan itu.”
“Lalu apa?”
“Aku sudah mengucap janji di tepi Sungai Gangga, bahwa aku tak akan menikah sebelum perjuangan kami berhasil. Kuucapkan setelah aku menabur abu anakku.”
“Apa yang kalian perjuangkan? Hukuman mati bagi….”
“Bukan hanya itu. Ada banyak. Tetapi penjelasannya sangat panjang.”
“Itu alasan yang kamu cari-cari. Baiklah, Ashima. Aku tahu, dengan siapa aku berhadapan kini. Baiklah, aku doakan semoga kamu selalu sehat. Dan perjuangan kalian memberi hasil yang baik, demi perubahan dan perbaikan hidup negerimu. Terutama hidupmu sendiri.” 
Mata Ashima berkaca-kaca, tetapi ia berjuang menahan agar tak pecah dadanya hingga meluap air matanya.
“Terima kasih, Saka. Terima kasih untuk dukungan dan doamu. Aku ingin kamu tahu, kalau aku juga mencintaimu.”
“Lalu?”
“Janji harus kutepati.”
Sudah selesai. Jadi hanya seperti ini. Kalimat itu terus bergema dalam batin Saka hingga sampai waktunya harus pulang ke tanah air. Ia menimbang, apakah perlu pamitan pada Ashima? Atau pergi begitu saja? Akhirnya ia hanya menulis pesan: “Aku pulang.” Tak ada pertemuan lagi.
Ketika menerima pesan dari Saka, Ashima langsung meneleponnya. 
“Tetap kutunggu kabarmu. Kirimlah e-mail sesering mungkin,” pinta Ashima sebelum Saka memutuskan sambungan. Ia hanya mengatakan, “Ya”, tetapi hatinya tawar. Ia malas basa-basi berkenes-kenes dengan sesuatu yang semu. Itu hanya akan menambah luka hatinya.

Jika Ashima ingin berkeras dengan organisasi dan pekerjaannya, Saka akan beradaptasi. Jika ia takut dengan anggapan ada ‘kutukan’ bawaan dari ibunya, Saka cukup amunisi untuk menghadapi. Tetapi, ketika ia bersumpah  di Sungai Gangga yang dipercayai oleh Ashima sebagai yang sakral untuk tidak menikah lagi?
Saka tahu, anak kunci sudah dikubur, pintu tak bisa dibuka olehnya, selain Ashima menarik janjinya entah dengan apa. Saka menyesal, karena Ashima terlalu emosional ketika itu. Mengapa ia tak belajar dari ayahnya? Mengapa ia begitu mudah mengucap supata? Entah, entah, Saka lelah. Ia ingin pulang dengan kuat. Membiarkan semua mengalir seturut arus menuju muara.   

                    ****
Saka masih sesering dulu menerima e-mail dari Ashima. Menceritakan hal-hal lucu, sedih, gembira. Ia juga mengatakan betapa sangat suka mengenakan kain motif sekar jagad pemberian Saka. Tetapi selalu Saka menjawab dengan kalimat pendek-pendek saja.

Bukannya Ashima tak tahu. Ia sangat tahu, sehingga merasa perlu untuk memberi penjelasan yang lebih rinci, detail dan mencoba bijaksana. E-mail itu ia tulis ketika Saka mulai menunda membalas e-mail-nya. Ia curahkan segala isi hati, segala gejolak pikirannya, segala harapannya, segala cita-citanya dan perjuangannya. Tetapi, dengan keteguhan hati yang masih sama. Ia tetap pada garis perjuangannya.

Dalam hal ini, Saka begitu bangga mengenal perempuan seperti Ashima. Tetapi pedih kala mengingat Ashima memiliki keputusan yang nyaris membuatnya putus asa. Tetapi ada hal yang membuatnya bahagia. Ia teringat Moko dan Nesia yang tahun depan akan melangsungkan pernikahan.

Hari ini ada 21 pemberitahuan di inbox. Saka meneliti. Ada dari Nesia. Ia membuka dan membacanya. Nesia masih saja menanyakan bagaimana kelanjutan cerita cintanya dengan Ashima. Rasanya tak akan lelah ia bertanya, meski ia mengatakan Ashima adalah fatamorgana. Ia dan Ashima tidak terjalin apa pun seperti yang dimaksudkan dan yang sesungguhnya mereka harapkan.

Yang terakhir, e-mail dari Ashima. Baru masuk dua jam lalu. Ada rasa pedih. Lalu  dengan malas Saka membuka. E-mail yang cukup panjang. Batin Saka: Paling-paling isinya sama seperti e-mail-e-mail yang lain, menceritakan organisasinya, kebijakan-kebijakan negerinya dan segala tetek bengek. Disisipi alasan keputusannya, lalu cita-citanya. Dan menyertakan doa-doa agar Saka tetap bahagia dan segera menemukan perempuan yang memiliki lapang hati dan cinta untuk membina sebuah keluarga. Tiba-tiba Saka kehilangan nafsu untuk membaca e-mail panjang itu.
Ia mengarahkan krusor, klik reply dan menuliskan:
“Ashima, titip rindu untuk Calcutta.” Send! (TAMAT)

**************
Indah Darmastuti


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?