Fiction
Ashima, Titip Rindu Untuk Calcutta [1]

25 May 2015


Langit melankolis. Di beberapa titik tepi jalan terbentuk telaga kecil, seperti kubangan kopi creamer keruh kental. Genangan-genangan itu memercik ketika panah-panah air dari langit September menghujam, dan sesekali muncrat ketika terlintasi ban taksi kuning yang melaju cepat.

Taksi itu kini berseliweran di lipatan ingatan Saka. Suara-suara hujan yang tak kunjung reda disertai desau angin basah juga masih dihafal oleh telinga dan kulit ari Saka. Mata-mata hujan begitu bersahaja menerima tatkala perempuan di samping Saka menumpahkan hujan yang lain dari sudut-sudut matanya, waktu itu. Setahun lalu di Calcutta. Di depan rumah pondokan di tepi jalan tak seberapa besar. Pondok batu bata dengan jendela-jendela kecil, beratap agak rendah dan pintu kayu menghadap utara.

“Proyek hidupku sudah selesai, Saka. Aku bercerai dari suamiku bertahun lalu. Anak lelakiku meninggal empat belas bulan setelah kelahirannya di dunia. Ketika itu ia baru bisa berjalan sedikit lebih jauh. Hingga pada pagi itu, usai memandikan dia, aku menyiapkan bubur untuknya. Tiba-tiba dari luar terdengar tangis kesakitan. Suamiku masih tidur dan tidak bangun juga oleh tangis anaknya. Aku tergopoh berlari dan mendapatinya tergeletak. Ia terjatuh dari tangga kayu rumah kami. Kepalanya membentur lantai, dan….” Ashima menahan tangis, tetapi sia-sia. Pecah sudah kaca-kaca di matanya hingga dada Saka turut sesak. Saka mengusap-usap punggung Ashima. Pita suaranya macet. Hanya rangkul dan remasan pada pundak Ashima diharap mengirimkan kekuatan.

“Anakku meninggal di pangkuanku dalam perjalanan ke rumah sakit. Kepalanya  berlumuran darah. Sebuah kematian yang buruk.” Ashima membekap wajahnya dengan dua telapak tangan. Sejenak Saka gugup, tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia belum pernah menghadapi perempuan dewasa menangis di depan matanya.
“Aku turut berdukacita.” Hanya itu yang ia katakan.
Ashima mengangguk lemah.
“Suamiku sangat marah karena kecelakaan itu. Dia berkata buruk sekali tentang aku. Aku sedih dan kesal, lalu membalas kemarahannya. Aku katakana, ‘Ada di mana kamu ketika aku repot di dapur dan mengurus anak pagi itu? Ada di mana kamu ketika aku memandikannya, memasak untukmu dan membuatkan bubur untuknya? Kamu hanya tidur, ‘kan?’ Dan selalu begitu  tiap hari. Wajahnya tetap penuh amarah, tetapi ia tak mendapatkan pembelaan. Bahkan dirinya sendiri tak bisa membela. Ia tetap angkuh mengakui kekeliruannya.”

Saka diam. Ia sudah mengganti posisi duduknya. Menangkup kedua tangan di pangkunya. Pandangannya tak pindah-pindah antara bibir dan mata Ashima.
“Saat pembakaran jenazah anakku, aku ambil sedikit abunya, selebihnya aku serahkan pada keluarga suamiku. Lalu abu yang kuambil sedikit itu, kutabur di Sungai Gangga. Gangga yang telah melahirkan aku. Sambil berharap suatu saat abuku juga ditabur di sana dan menyatu dengan anakku dalam rahim yang sama.”

Saka menatap lebih lama pada mata perempuan di sebelahnya. Mata yang merunduk misterius, mata yang menyerupai kaca-kaca mozaik, yang telah retak dan menumpahkan air yang pastinya asin, seasin air laut yang dua hari lalu ia lintasi. Bukan air Sungai Gangga yang dipercaya membasuh bilur-bilur luka. Genangan air mata itu menjadi pemandangan mistis bagi Saka. Kapan-kapan Saka ingin mencoba mencicipi air mata perempuan itu. Tetapi bukan sekarang. Jadi yang kini ia lakukan adalah mengulurkan saputangan.

“Hapus air matamu, Ashima. Kadang-kadang hidup memang tidak adil.” Ia berusaha berempati dengan berkata begitu, meski masih mempertanyakan kalimat klise itu. Sebenarnya siapa yang membuat ketidakadilan?
“Tidak adil pada perempuan,” Ashima menegaskan meski pelan, “perempuan India,” sekali lagi ia menekankan. Lalu ia mengambil saputangan itu. Putih kelabu ada garis-garis biru pada tepinya. Ada setitik yang meluncur sebelum saputangan itu menampungnya. Setitik itu jatuh di punggung tangan kirinya. Saka masih tetap menatap hening perempuan berwarna gelap senja yang terus berkata-kata.
Sejak saat itu hingga jauh sesudahnya, kalimat sedu sedan Ashima terus menggema dalam jagat kecil Saka. Apalagi jika kepalanya nyungsep di bantal tempat tidurnya seperti saat ini, terngiang-ngiang selalu suara Ashima, meski ia terpisah jarak bermil-mil di seberang samudra.

Satu tahun terakhir (belum lagi tahun-tahun sebelumnya) terlalu banyak Saka mendengar cerita kesedihan dari kawan-kawannya, saudaranya, tukang ledeng, tukang AC, sopir bus Trans-Yogya, juga pemilik warung bakmi di ujung jalan itu. Termasuk para guru, dosen, penulis, dan penyair kenalannya pun kerap mengungkap cerita sedih kepadanya. Belum lagi berita di koran, televisi, dan internet. Perbandingan yang sungguh mencolok persentasenya antara kesedihan dan kebahagiaan.

Terlalu emosional kesimpulan Saka bahwa memang sebaiknya masyarakat dunia harus membatasi kelahiran secara ketat agar tak terus bertambah banyak cerita kesedihan. Agar atmosfer tak dipenuhi rintihan dan doa-doa permohonan pertolongan, jerit ketidakberdayaan atau tangis lapar dan kehilangan. Yang lemah akan kalah.
Lalu dirinya sendiri? Seberapa banyak cerita sedih, seberapa banyak cerita bahagia. Ia mencoba menghitung kasar, pada sepanjang ingatannya apa saja yang menyedihkan, apa-apa saja yang menggembirakan. Apa yang paling membuatnya merana, apa yang paling membuatnya merona. Hasilnya tetap sama, terlalu banyak kesedihan meski kini ia memandang dengan cara berbeda. Atau sebenarnya memang kecenderungan manusia yang lebih ‘hadir’ dalam momen kesedihan daripada momen kebahagiaan. Lebih mengingat Tuhan di kala sedih daripada saat bahagia. Entahlah. Yang pasti Saka mendengar dengan hati yang paling hening ketika Ashima berkata-kata. 

“Maaf, kalau kedatanganmu ke negeriku hanya untuk mendengar cerita sedihku.”
Saka menggeleng kecil. Tangannya menepuk punggung tangan Ashima dan ia sudah terbenam pada sepenggal kepedihan perempuan yang memiliki momen perjumpaan begitu unik dengannya di suatu tempat yang sangat jauh. Di seberang benua.  
“Aku turut prihatin, Ashima. Tetapi aku berharap kamu sudah sangat baik saat ini. Tidak terus-menerus diganggu kesedihan karena kehilangan itu.” Susah payah Ashima mencoba tersenyum, mata Saka menangkap getir, ironi.

“Aku sudah lupa kapan aku mengenal kesedihan, pada umur berapa aku belajar bersedih. Hanya saja tahu-tahu aku sangat mahir bersedih.”
“Ah, penderitaan ternyata membuatmu  makin cantik, Ashima. Lihat kerut-merut kecil di sudut matamu dan lengkung bibirmu itu, sangat indah. Kamu terlihat matang dan kuat.” Suara Saka lembut, namun sanggup menggetarkan angin yang lewat membawa butiran kecil air hujan, lalu tersangkut pada anak-anak rambut Ashima hingga seperti bertabur manik-manik permata.

“Terima kasih,” lirih suara itu. Ia menyusut sisa air mata. Ada senyum samar, tetapi senyum itu sungguh indah di mata Saka. Seperti sekuntum lotus sedang mekar.
Ingin rasanya Saka menghapus kesedihan yang disebut-sebut Ashima seperti hujan melenyapkan debu yang menempel pada daun-daun pandan. Dahan-dahan pohon rindang dan tangkai-tangkai perdu di samping pondokan itu.

“Sebenarnya dulu ketika aku mengajukan beasiswa ke Oxford, aku ingin melupakan serangkaian panjang penderitaan batinku. Menyembuhkan sakit karena kehilangan. Lalu mungkin aku akan menetap di sana selama mungkin. Tetapi pada prosesnya, aku justru sangat ingin cepat kembali ke negeriku setelah selesai studiku.”
“Itu bagus. Mestinya begitu. Melakukan sesuatu untuk negeri setelah puas menimba ilmu.”  
“Kupikir, aku terlalu pengecut,” ucapnya datar. “Aku berlindung pada buku-buku. Aku menyelinapkan diri pada misteri pengetahuan, membabi-buta mencari beasiswa dengan harapan tidak terus-menerus meratapi proyek hidupku yang sudah selesai.  Maksudku proyek hidupku yang hancur,” katanya dalam bahasa Inggris yang manis dan dengan nada yang bagi Saka amat seksi.

Seekor cecak mendecak, merayap di dinding tempat Ashima bersandar miring. Ternyata cecak India sama dengan cecak Indonesia, seperti sesuatu yang lembek kelabu menempel rapat di dinding. Tetapi harimaunya lain. Harimau gembong di India sangat tersohor. Bueeesar, menggelegar saat mengaum. Lebih dahsyat dari harimau sumatra. Pasti juga ular-ular kobranya lebih ganas dan…  ah, selalu saja meloncat pikiran konyol melenceng dari pokok pembicaraan, menginterupsi perhatian Saka di saat-saat serius. 

“Tetapi saat kita bertemu dulu, kamu tampak sebagai gadis muda yang cakap, yang bernafsu pada ilmu pengetahuan. Bukan gadis yang menyimpan akar kepahitan dan sedang dalam pelarian. Siapa pun akan sepakat denganku jika bertemu kamu. Aku yakin Moko juga berpendapat begitu,” kata Saka setelah decak cecak berhenti.  
“Itu karena kita bertemu pada masa akhir studiku. Kita bukan bertemu pada awal kedatanganku ke negeri itu.”
“Oh, bisa jadi. Tetapi, sudahlah! Bukankah sekarang kamu sudah mempunyai proyek hidup yang baru? Bekerja di lembaga dengan bidang perhatian yang sangat kamu suka. Aktivis lingkungan antikekerasan. Pengamal pemikiran Gandhi. Hebat! Tentu bukan sebuah dosa bila kamu telah memulainya dengan mencari perlindungan pada buku-buku. Kalaupun itu sebuah dosa karena pelarian, kurasa itu dosa kecil saja. Dosa yang tak pantas diperhitungkan.”
“Terlalu menyedihkan,” desisnya, seolah ia bisikkan pada sebuah masa entah kapan. Saka menolehnya. Mereka beradu mata. Ashima mengamati rahang Saka yang dicukur licin.  
“Kamu boleh bercerita dan membagi beban kepadaku jika kamu mau, Ashima.”
“Ceritaku sangat panjang, Saka. Sepanjang kain Drupadi yang dipakai saat ia dipermalukan oleh begundal Kurawa juga Pandawa sebagai taruhan judi.”
“Ya sudah.” Saka tak memaksa. Jawaban yang disampaikan Ashima cukup membuat Saka tahu, Ashima tak ingin masa lalunya terusik. Ia mengambil saputangan dari tangan Ashima. Perempuan itu agak kaget. Saka menyadarinya.
“Maaf, aku ambil. Itu artinya kamu tak boleh menangis lagi.” Tetapi justru air mata Ashima seperti diperas, mengucur lagi. Saka gelagapan. Sebenarnya bukan itu maksud sesungguhnya ketika Saka mengambil saputangan. Ada alasan lain. Tapi, ya sudah. Sudah telanjur.
“Ok, ok. Menangislah. Tapi, tak boleh lama.”
Perempuan itu malah menyeka air matanya. Satu pelajaran moral bagi Saka, bahwa perempuan (mungkin bukan hanya perempuan India) kalau dilarang malah akan melanggarnya. Tetapi, jika dipersilakan malah menahan. Perempuan memang labirin membingungkan.
“Tak ada baiknya kalau terus menangis.”
Ashima menyusut air mata dengan telapak tangannya. Menolak saputangan yang diberikan Saka. Apa boleh buat. Saka lekas menyimpan lagi saputangannya, ia takut lupa. Inilah alasan utama dia mengambil saputangan itu: takut lupa. Karena di kampungnya di Demangan (mungkin juga kampung-kampung lain di Jawa Tengah), saputangan hanya diberikan kepada para pelayat sebagai tanda perpisahan, saat upacara pemakaman. Dan saat ini ia tidak sedang melayat, juga tidak menginginkan perpisahan dengan perempuan itu. Tetapi ia sedang bersama perempuan antropolog yang dia kenal pada pertengahan tahun lalu. Di Oxford. Tempat ia mengambil studi pustaka untuk mempertahankan tesisnya. Tentang keberpihakan sastra pada kaum kecil.

“Kunikahi dia karena kami dijodohkan sejak bayi. Dan kami bayar ia  dengan mahar yang tinggi karena keluargaku menganggap kami utang nyawa pada kakeknya yang telah mengusulkan sekaligus melakukan pembasuhan diriku di Sungai Gangga.” Perempuan itu menghela napas. Saka menatapnya, lebih karena tak percaya kalau akhirnya Ashima bersedia membagi masa lalunya.
Memang benar, sebaiknya, menghadapi perempuan tak perlu dikekang-kekang, tak perlu dilawan. Cukup diberi ruang dan pilihan, niscaya ia akan bermurah hati karena memang pada dasarnya perempuan itu pemurah.  
“Setahuku itu hal lumrah di negerimu? Lalu?”
“Perjodohan memang tak selamanya menjadi sebuah keburukan. Dan memang kami memiliki tradisi perjodohan itu turun-temurun dari leluhur kami. Tetapi…,” Ashima menarik napas panjang.
“Seandainya para orang tua itu menjodohkan ketika kami dewasa lalu kami sama-sama menerima, kemudian hubungan itu terjalin, itu lain soal. Tetapi, perjodohan di mana masing-masing kami masih kanak-kanak, belum paham diri, tepat di situ aku tak setuju. Saat kami belum mengerti apa-apa, kami sudah diatur dan tidak diberi pilihan. Sementara kita tahu, pernikahan adalah persoalan penting. Sebuah pilihan yang memerlukan pertaruhan-pertaruhan dan keberanian. Tetapi kami tidak diberi itu. Semua sudah diatur dan disiapkan jauh-jauh tahun sebelum kami tahu apa itu kesedihan. Apa itu kebahagiaan.”
 “Lalu dengan suamimu?”   
“Jauh sebelum aku dan laki-laki itu dinikahkan di depan madhuparka –api suci, aku sudah melihat kalau aku akan menghadapi tantangan berat. Tetapi, tak tersedia pilihan mudah bagi perempuan di sini. Aku menikah saat usiaku masih sangat muda. Delapan belas tahun.” Ashima berkisah dalam bahasa Inggris yang dicampur India, luwes sekali. Ia langsung memberi padanan dalam bahasa Inggris jika ia berkata bahasa India.  
“Hingga akhirnya kami sampai pada upacara ladies, penyerahan pengantin perempuan kepada pengantin pria oleh keluarga perempuan. Setelah menikah, aku dan suamiku pindah ke New Delhi. Di situlah kehidupanku yang sebenarnya sebagai perempuan dewasa sedang dimulai. Aku menyesal.”

Saka menyamankan duduknya, ketika perempuan itu meraih gelas, menyeruput sari jahe yang sudah dingin. Rambut ikal panjangnya tergerai jatuh di lengan. Dan bulu matanya yang lentik hitam legam melengkung nyata sekali saat matanya terpejam menikmati jahe dingin itu. Mungkin bulu mata itu akan sanggup menahan sebatang tusuk gigi yang diletakkan di atasnya. Nantilah, kapan-kapan bisa dicoba, pikir Saka.
“Aku dilahirkan di Varanasi,” kata Ashima usai meletakkan kembali gelasnya di atas meja. “Sebuah tempat yang akan membuatmu kapok jika kamu adalah manusia yang menyukai kebersihan.” Sebentar Ashima menoleh pada lelaki di sampingnya, ingin melihat reaksinya. Biasa saja.
“Jika kamu melewati gang-gang di sana, pasti kamu akan melangkah dengan  berjingkat.

 Gang-gang kecil licin becek apalagi di musim hujan. Lumpur melimpah bercampur kotoran sapi dan air seni. Bau sekali. Seperti berkarung-karung makanan busuk ditumpahkan di daerah itu. Sampah teronggok di pinggiran gang. Tak jauh beda dengan di sini, pemerintah menyediakan sumur dan bak-bak mandi di pinggir jalan. Itulah yang membuat jalan-jalan dan gang-gang selalu becek. Apalagi saat musim moonson, musim hujan yang mengakibatkan banjir. Parah sekali. Pascabanjir lebih menyedihkan lagi. Sama menyedihkan dengan kondisi para gelandangan, kaum harijan.”

Saka mengangguk mengerti. Lalu pikirnya: apakah di sana juga jamak dijumpai ironi? Di antara langkah perempuan dan laki-laki yang berbusana bagus, wangi dan indah, berkeliaran kaum harijan anak-anak dekil berdaki tanpa baju, bahkan tak sedikit yang tidak lengkap anggota badannya. Buntung tangan atau kaki. Bawaan lahir atau memang sengaja dibuat seperti itu oleh oknum-oknum yang menganggap pemandangan seperti itu mempunyai nilai ekonomi. Saka menepis bayangan itu. Ia ingat negerinya: Indonesia. Pengemis dan gelandangan yang terorganisasi dengan rapi. Dari mana mereka datang lalu ke mana mereka pergi? Siapa saja mereka? Entahlah, hanya tiba-tiba saja manusia-manusia itu membeludak mengabdi pada kebodohan dan menyintai kemiskinan laten.
“Jika longgar sempatkan datang ke Agra dan Varanasi. Agra yang memiliki Taj Mahal di tepi Sungai Sakral Yamuna, lalu sandingkan dengan Varanasi, dengan Sungai Gangga-nya.” Saka diam. Ia menyesal karena kunjungan saat itu sangat terbatasi waktu. Memburu literatur.
“Varanasi sangat kotor. Karena tiap tahun didatangi manusia-manusia dari berbagai penjuru untuk berbasuh mandi menyucikan diri di Sungai Gangga. Jadi justru karena kunjungan besar-besaran itulah Varanasi menjadi kotor.”
Masuk akal, pikir Saka. Ia tahu, Taj Mahal juga dikunjungi  tiap tahun, tapi kunjungan di sana banyak sekali aturan. Jangankan berdagang atau membawa makanan, kasut, sepatu, dan berfoto saja di dalam bangunan itu ada peraturan.
“Saka, kau lelah mendengarku?”
Buru-buru Saka menggeleng.
“Aku hanya berpikir, negerimu tak jauh beda dengan negeriku, Ashima. Martabat manusia entah tergeletak di mana.”

Saka sudah banyak mendengar gambaran tentang India, tetapi yang dilihatnya kala pertama menginjak tanah Mahatma itu, ia kaget juga. Jauh lebih menyedihkan dari yang dibayangkan. Tak risi orang-orang dewasa mandi, mencuci, lalu menjemur baju-baju di tepi jalan. Tetapi, bukan main, di tempat seperti itulah dunia mendapatkan hadiah istimewa: Jawaharlal Nehru, Mahatma Gandhi, Gayatri Spivak, Arundhati Roy, dan…. Ashima. Lalu dunia dan kehidupan menghadiahkan yang tak kalah indah untuk Calcutta: Bunda Theresa, manusia berhati ningrat dari Albania yang menjadi malaikat bagi kaum harijan India. Lalu seperti apakah Agra? Varanasi?

Tetapi, Saka mengakui dan mengagumi, transportasi umum di India amat mudah yang tercukupi. Tak banyak mal atau supermarket atau minimarket seperti di negerinya. Bahkan di Yogya, kota tradisional yang melahirkan dan mengasuhnya, sudah ada banyak mal. Di kota-kota, apalagi desa-desa di India, semua bahan kebutuhan tersedia di pasar tradisional. Napas kehidupan yang sebenarnya. Menyenangkan sekali, setidaknya bagi Saka yang tak menyukai mal. 

“Yeaah... di tempat kotor dan berantakan seperti itulah aku lahir dan dibesarkan. Dan di tempat itu juga penderitaanku berawal.”  
Saka mengerut kening. Mengapa Varanasi menjadi tempat derita Ashima? Mengapa tanah yang paling keramat di India itu telah menjadi ruang kepedihan Ashima? Saka bungkam oleh kelindan pertanyaan.

“Ibuku perempuan sederhana, Saka.” Ashima melakukan manuver pembicaraan dengan cakap. “Ayahku seperti kebanyakan para ayah di negeriku, sangat keras dan mendominasi. Keluarga kami memiliki sejarah yang buruk. Tiga kakakku, semua meninggal beberapa hari setelah dilahirkan. Maka, ketika aku lahir dan umurku belum genap satu hari, atas seizin ayahku, seorang tetangga membawaku turun ke Sungai Gangga dan aku disucikan di sana. Agar segala hal buruk yang menyertai kelahiranku, terbuang dan hanyut dibawa arus sungai itu.

Sekeluar dari sungai itu ayahku berjanji, jika aku selamat sampai dewasa, maka aku akan dinikahkan dengan cucunya yang sudah lahir empat tahun sebelum aku.” Saka mengangguk-angguk. Dari awalan kisah Ashima, ia bisa memahami ketika Ashima berkata cerita hidupnya sepanjang kain Drupadi. Tetapi bukankah ini bonus indah dari tujuan utamanya?  
“Seperti Bisma, ayahku terikat supata. Sumpah harus ditepati jika tak ingin celaka siapa pun di antara kami. Maka, sejak berusia satu hari, aku sudah memiliki calon suami. Nasib dan masa dewasaku sudah ditentukan oleh para orang tua itu.
Dulu aku memercayai kalau hidupku harus ditebus dengan perjodohan. Dipaksa percaya bahwa jika aku tak dibasuh di Sungai Gangga dan ayahku tak menyatakan sumpah, aku akan mati juga seperti tiga kakakku. Entahlah, apakah jika aku melanggarnya (bukan ayahku) maka kami akan tertimpa bencana. Yang pasti aku harus menikah dengan laki-laki itu. Menepati janji adalah harga diri keluarga kami.” Ashima mengambil napas, diembus pelan.

“Namanya Vikram. Bekerja di perusahaan makanan ringan saat kunikahi. Sedikit pendiam dan cenderung menyelesaikan persoalan dengan tindakan. Maksudku, jika aku melakukan sesuatu yang baginya keliru, maka tak segan ia memukulku. Ketika aku memberikan alasan yang aku lakukan, ia diam saja. Berlalu pergi meninggalkan aku. Yang lebih menyebalkan, ia sering keluar rumah entah ke mana hingga jauh malam. Kebiasaan seperti itu membuatku tidak kerasan tinggal di rumah, sehingga aku memutuskan kuliah ilmu sosial pada siang hari, dan malamnya aku bekerja di restoran masakan Eropa yang buka pada sore hingga malam. Pulang selalu larut. Sudah pasti itu membuat Vikram tak suka dan terus didera curiga, cemburu, marah, dan menuduhku membangkang.”

Saka meneliti, sudah tak ada lagi sisa air mata di paras Ashima.
“Aku bisa membayangkan bagaimana geramnya suamimu, Ashima. Tetapi aku berani katakan, betapa tangguh dan hebatnya kamu.”  
“Tidak mudah aku melaluinya, Saka. Berat. Berat sekali. Tetapi aku harus bertahan. Aku harus sanggup mengatasinya. Demi hidupku.”
“Ya. Aku paham. Aku menaruh hormat yang tinggi pada keputusanmu. Tetapi dengan mengambil kuliah, tentu suamimu merasa kamu menjadi ancaman baginya.” Saka berkata sambil menekuk-nekuk jari-jari tangannya.
“Apalagi, aku tak kunjung hamil. Aku dianggap gagal memenuhi harapan keluarganya. Yang kurasakan kemudian, keluarganya mulai mencampuri urusan kami. Menyakitkan sekali tuduhan yang ditudingkan kepadaku. Mereka menganggap aku utang nyawa pada keluarganya sehingga mereka punya alasan untuk sewenang-wenang memperlakukan aku. Bukankah ini keterlaluan?
Ayah dan ibuku tahu, tetapi seperti Bisma, apa pun yang terjadi, sumpah harus digenapi dan risiko harus ditanggung sampai kesudahannya. Aku berusaha sabar dan mempertahankan yang sudah kami bangun. Lalu pada tahun kedua pernikahan, aku hamil. Tetapi, aku tak mengatakan perihal kehamilanku, sampai usia kandunganku memasuki tiga bulan, bertepatan dengan selesainya ujian akhirku. Aku takut jika terlalu cepat menyampaikan perihal kehamilan itu, ia akan menghentikan kuliahku yang tinggal sejengkal. Karena aku berharap, dengan ijazah sarjana, aku bisa mendapatkan pekerjaan lebih baik dan nantinya bisa menghidupi anakku karena bagiku Vikram tak bisa kuharapkan.

Aku lulus. Tetapi aku memutuskan untuk tetap bekerja di restoran sampai nanti mendekati persalinan. Baru setelahnya, aku akan mencari pekerjaan yang lebih baik. Kemudian, ketika tiba aku melahirkan, semua waswas. Terutama ibuku yang memiliki trauma dan kenangan buruk sehubungan dengan peristiwa kelahiran. Maka, ketika anakku masih bernapas saat lewat satu hari, kekhawatiran kami berkurang sejengkal. Hingga berminggu lalu berbulan. Sampai pada hari nahas itu.”
Dalam remang itu, paras Ashima makin tampak sendu. Lampu-lampu jalan sudah menyala, dan angin berembus lebih banyak dari sebelumnya. Saka menyangka Ashima akan menangis lagi. Tetapi tidak. Bahkan wajahnya sedingin patung Shiwa.
“Sudah beranjak gelap. Di luar banyak angin. Kita masuk ke dalam saja!”  kata Ashima. Mereka beranjak. Ashima menuju saklar lampu, sejurus ruang menjadi terang. Tampak di dekat meja, sebuah kalender dengan banyak angka dilingkari warna hitam.
Duduk bersebelah tanpa kata-kata. Sosok Ashima begitu mistis dan memikat bukan hanya secara fisik, tetapi kecantikan yang terbentuk dari penderitaan dan perjuangan berat. Seketika itu terbit dari dalam hati Saka, ia ingin melindungi perempuan itu. Oh, maksudnya mendampingi.

“Ashima, bolehkah aku memelukmu?” Bibir Ashima diam. Tetapi Saka tahu, mata Ashima mengizinkannya. Maka ia rentangkan tangan dan meraih perempuan indah itu.
“Lanjutkan ceritamu!” pinta Saka, lalu ia sematkan kecupan di kening Ashima.
“Vikram dan keluarganya menuduh aku memiliki dosa bawaan dari ibuku, Saka. Kata mereka aku menggendong sial.”
Saka menatap dalam-dalam mata perempuan yang hanya sejarak beberapa senti saja dari hidungnya. Ashima merasakan tatapan itu sungguh menggetarkan. Ia menunduk, Saka merapatkan lagi kepala itu pada dadanya.
“Teruslah berkata-kata sampai hatimu puas,” bisik Saka.
“Vikram dan keluarganya khawatir, aku sama seperti ibuku, tak akan bisa melahirkan anak-anak yang memiliki umur panjang. Makin sewenang-wenang mereka perlakukan aku. Lalu aku memikirkan gugatan cerai ketika pada suatu malam aku mendengar keluarganya berencana mencari istri lagi bagi Vikram.” Ashima menarik napas. Anak-anak rambutnya bergerak-gerak menyapu bibir dan pipi Saka ketika angin bertiup menerobos kisi jendela.

“Ibu menangis waktu itu. Menangisi nasibku. Sama seperti pihak Vikram, ibuku merasa aku membawa dosa turunan darinya. Lalu ayahku datang kepada keluarga Vikram meminta maaf karena sumpahnya telah membuat anak mereka tak bahagia, dan kehilangan keturunannya. Maka, Ayah meminta kepada keluarganya untuk diizinkan menarik sumpah itu. Semua demi kebaikan Vikram. Tetapi keluarga Vikram meminta ganti rugi. Dan Ayah menyetujui.” Suara Ashima parau. Ia menahan tangis lagi.
“Kau tahu betapa sakitnya hatiku, Saka? Kau tahu betapa tak berharganya aku bagi keluarga Vikram dan aku direndahkan oleh ayahku sendiri.”
Saka mengangguk.
“Yang lebih menyakitkan lagi, Ayah mengusirku karena aku dianggapnya petaka. Diiringi tangis Ibu, aku meninggalkan rumah. Tujuanku sudah kutetapkan: ke restoran milik orang Inggris tempat aku pernah bekerja.

Pada penderitaan batin itulah aku memutuskan untuk pergi sangat jauh untuk menyembuhkan hati. Atas saran pemilik restoran, aku mengajukan beasiswa dan disetujui. Putri sulungnya membantuku. Dia sudah menikah dan tinggal di London.
Karena aku memiliki status baru sebagai janda dan tidak dikehendaki keluarga, aku pergi tanpa berpamitan kepada dua orang tuaku.”

Saka mengusap rambut ikal perempuan itu, ujung-ujungnya saling menjalin. Lalu beralih pada pangkal lengannya yang terbuka. Cokelat liat. Mengilat oleh lotion pelembap. Dan Saka menempelkan bibirnya di sana. Di pangkal lengan cokelat itu.
“Tentu kamu tahu, intan yang indah tersimpan di dalam kerasnya tanah. Perlu perjuangan yang tidak mudah untuk mendapatkannya, Ashima.”

Perempuan itu mengangguk, masih di dada Saka.
“Selama aku belajar di Oxford, aku terus berusaha mengatasi penderitaan dan berdamai dengan masa lalu. Waktu dan pengalaman selalu menjadi sahabat yang baik dan ampuh untuk menyembuhkan luka. Hingga aku bertemu kamu di negeri jauh itu.”


**************
Indah Darmastuti


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?